,

Rimba Raya Belum Dapat Izin Tangani Proyek REDD+ di Kalteng

Klaim Rimba Raya mendapatkan izin hampir 80 ribu hektar pun dinilai tak berdasar.

Awal Desember lalu, dari Doha, diberitakan sebuah proyek besar menekan deforestasi dan degradasi hutan disepakati Pemerintah Indonesia: Rimba Raya Biodiversity Reserve. Proyek akan dijalankan di dekat Taman Nasional Tanjung Puting, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan luas hampir 80.000 hektar. Tujuannya, melindungi hutan gambut kaya karbon dari ekspansi perkebunan sawit.

Disebutkan, kesepakatan ini telah ditandatangani Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan akhir November, dan diumumkan di sela-sela Konferensi Perubahan Iklim di Doha, Qatar.

Entah kesalahan anggapan berawal darimana, namun surat yang ditandatangani Zulkifli Hasan buat PT Rimba Raya, tertanggal 29 November 2012, menyebutkan, “…areal permohonan IUPHHK-RE, An PT Rimba Raya Conservation…dengan ini kami sampaikan bahwa permohonan saudara telah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis dan saat ini dalam proses penyelesaian.”  , Jadi belum ada persetujuan atau keputusan dalam surat ini.

Greenomics Indonesia dalam laporan berjudul Indonesia’s First REDD+ Project Not a Done Deal, Despite Promoter’s Claims mengungkap fakta legal, bahwa belum ada persetujuan resmi bagi PT Rimba Raya Conservation (RRC) untuk menggarap proyek REDD+ di Indonesia.

Dalam laporan Greenomics menyebutkan, proyek RRC belum menerima persetujuan hukum atau izin restorasi ekosistem untuk proyek REDD+ seluas hampir 80 ribu hektar di Kalteng, mengacu pada surat Menteri Kehutanan.  Greenomics meminta, proyek ini tak mengganggu  Taman Nasional Tanjung Puting.

Tak hanya itu. Klaim pengelolaan kawasan sekitar 80 ribu hektar juga disoroti Greenomics. Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, mengatakan, klaim lahan PT RRC dan Infinite-Earth dalam siaran pers berjudul Indonesia Approves Landmark Forest Conservation Project, tak berdasar.

“Tak ada fakta hukum yang membuktikan jaminan izin oleh Menteri Kehutanan untuk PT RRC dengan hampir 80 ribu hektar,” katanya dalam laporan yang dirilis 14 Desember 2012 itu.

Fakta hukum yang ditemukan Greenomics adalah surat Dirjen Planologi tertanggal 13 November 2012, yang menyebutkan,  kawasan yang dipertimbangkan untuk operasi restorasi ekosistem PT RRC  sekitar 56.925 hektar. Lahan itu terdiri dari kawasan konservasi 17.256 hektar, hutan produksi tetap 21.963 hektar, hutan produksi konversi 11.741 hektar dan bukan kawasan hutan 5.965 hektar.

Surat dirjen itu menyebutkan, dengan mengikuti ketentuan hukum dan peraturan berlaku, maka daerah konservasi harus dikelola bersama PT RRC dan manajemen Taman Nasional Tanjung Puting, serta hutan produksi tetap dikelola berdasarkan lisensi restorasi ekosistem. Lalu, hutan produksi konversi yang akan dikelola berdasarkan izin restorasi ekosistem serta non-kawasan hutan harus dikelola berdasarkan izin restorasi ekosistem. Juga tunduk pada rekomendasi Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk penunjukan sebagai hutan produksi permanen.

Berdasarkan fakta hukum itu,  hanya 21.963  hektar akan langsung dipertimbangkan masuk  izin restorasi ekosistem PT RRC  tanpa perlu terlebih dulu mengubah status atau fungsi hutan.  “Jadi jelas, klaim yang menyatakan izin pada hampir 80 ribu hektar tak berdasarkan pada perspektif hukum sama sekali,” ucap Elfian.

Dalam laporan Greenomics juga mencantumkan tanggapan dari Dirjen Planologi, Bambang Soepijanto, terkait surat Menteri Kehutanan (Menhut): S.546/MENHUT-VII/2012 tertanggal 29 November 2012 itu.

Bambang mengatakan, surat Menhut itu jelas bukan sebuah izin. “Tidak juga merupakan jaminan izin akan keluar. Ini tak lebih dari konfirmasi tentang,” saat ini dalam proses penyelesaian.”

Dia menjelaskan, penggunakan kata “saat ini masih proses penyelesaian” itu menandakan, sementara proses sedang berlangsung. Masih ada proses hukum yang harus ditempuh untuk mengubah fungsi hutan di wilayah lisensi yang diusulkan. “Terutama hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi hutan produksi tetap, dan penunjukan non-kawasan hutan sebagai hutan produksi tetap.”

Bambang juga menekankan, klaim proyek REDD+ hampir 80 ribu hektar  itu jelas tak memiliki dasar hukum.

Jim Procanik, dari InfiniteEARTH lewat surat elektronik kepada Mongabay, mengatakan, pernyataan kepada media itu diperoleh dari pemerintah Indonesia saat UNCCC di Doha.

Pemerintah RI menyebutkan secara jelas, proyek itu sudah disetujui Menteri Kehutanan, bahkan dia telah mengumumkan sendiri. Menurut Procanik, meskipun izin final belum diberikan, semua persyaratan sudah memenuhi dan izin akan segera keluar.

RRC, katanya, didesain untuk menyediakan banyak kebutuhan habitat orangutan. Ia membantu melindungi taman nasional dengan menyediakan cadangan dana yang baik sambil membantu masyarakat sekitar mengembangkan  pembangunan berkelanjutan melalui pengenalan bentuk-bentuk baru penghidupan. “Kami berharap semua pihak yang berkepentingan akan terus mengikuti perkembangan RCC sebagai proyek percontohan bagi Indonesia dan proyek bertujuan membuat “praktik terbaik” untuk proyek-proyek REDD + di seluruh dunia.”

Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,