,

Pengelolaan Lingkungan di Jambi Masih Tersisih Eksploitasi Alam

Berbagai persoalan lingkungan masih terus mewarnai tanah Sumatera sepanjang tahun 2012. Kali ini catatan khusus dari Jambi seperti dirilis oleh lembaga KK Warsi, yang menorehkan beberapa catatan kelam pengelolaan kebijakan lingkungan di propinsi Jambi. Berbagai masalah mulai dari pembalakan liar, kasus kebakaran hutan, konflik manusia dengan satwa, hingga hak-hak penduduk asli terus terjadi di sepanjang tahun ini.

Dari catatan KK Warsi berbagai aktivitas eksploitasi lahan dan hutan masih menjadi sumber utama berbagai persoalan lingkungan yang muncul, terutama lemahnya penegakan hukum dan peraturan, serta tata guna lahan yang semrawut memicu berbagai pelanggaran di lapangan dan membawa dampak lingkungan yang tidak sedikit.

Tingkat deforestasi yang parah, masih menghiasi hutann Jambi tahun ini. Foto: Lili Rambe

Melihat kondisi sumber daya dan pengelolaan yang dilakukan pemerintah saat ini sudah seharusnya dilakukan pembenahan yang lebih terpadu dan berkelanjutan serta tidak bersifat keproyekan. “Seperti banjir dan kabut asap yang merupakan bencana tahunan Jambi, selama ini penangannya merupakan jangka  pendek, mengevakuasi warga yang terkena dampak, memberi bantuan pangan, menyiramkan garam di udara dengan nilai milyaran rupiah, merupakan langkah jangka pendek,”sebut Direktur KKI Warsi, Rakhmat Hidayat dalam rilisnya.

Sebagai perbandingan pengusaaan lahan di Provinsi Jambi oleh HTI sudah mencapai 687.234 hektar dan HPH 72.095 hektar. HGU Untuk perkebunan kepala sawit mencapai 171.08,421 hektar. Sedangkan untuk pengakuan hak kelola masyarakat melalui skema hutan desa yang sudah disahkan menteri baru 54 ribu hektar.  “Kesenjangan inilah yang kemduian memicu banyaknya konflik lahan ditengah masyarakat dengan perusahaan. Seharusnya pemerintah sudah mulai melakukan kalkulasi dan memberikan ruang kepada masyarakat khususnya masyarakat asli marginal,”sebut Rakhmat lebih jauh.

Beberapa adalah catatan kasus-kasus utama yang terjadi di Jambi:

Penggundulan hutan di Jambi. Foto: Lili Rambe

Penebangan Liar Masih Terus Rugikan Negara

Sepanjang tahun 2012, terjadi 38 kasus illegal longging dengan jumlah temuan sekitar 904,5 kubik (kayu jenis meranti, pulai, marsawa), 928 batang kayu bulian serta 579 keping kayu dari berbagai jenis kayu hutan. Kerugian akibat aksi illegal logging ini diperkirakan lebih dari 12,1 miliar.

Upaya evakuasi dua anak harimau yang memasuki kawasan manusia. Foto: Lili Rambe

Konflik Satwa Terus Terjadi

Ketidakseimbangan ekosistem ini juga telah menyulut konflik antara masyarakat dengan satwa. Tahun ini masih ditemukan 21 kasus yang menyebabkan 8 orang korban tewas. “Ini menandakan habitat satwa sudah semakin sempit sehingga berkonflik dengan manusia,”sebutnya.

Sedangkan korban luka terdiri dari satu  orang diserang harimau, dua orang diserang beruang, dua orang diserang babi, dan 1 orang diserang buaya. Selain itu juga ditemukan sejumlah jejak harimau disejumlah tempat yang menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Konflik dengan satwa ini juga menyebabkan korban dari satwanya sendiri. Dari data yang kami himpun terdapat tiga anak harimau yang ditangkap warga, satu diantaranya tewas beberapa hari kemudian, juga ditemukan harimau dahan yang mati di kebun warga serta satu macan dahan yang masuk perangkap.  Serta ditemukannya 58 burung murai batu yang akan diperdagangkan secara illegal. Juga ditemukannya seekor paus mati di pantai timur.

Tingginya konflik dengan satwa ini menandakan keseimbangan ekosistem sudah mengalami gangguan.  Harimau yang merupakan hewan soliter sudah masuk ke perkebunan  masyarakat ini menadakan habitannya sudah rusak parah. Analisis yang dilakukan warsi harimau yang menyerang warga di Merangin disebabkan ditemukannya pembukaan areal baru untuk Hutan Tanaman Industri.

Harimau yang kini statusnya merupakan hewan dilindungi karena statusnya yang hampir punah, di Sumatera konsentrasi terbesarnya ditemukan di TNKS.  Data yang dihimpin dari Balai Besar TNKS menyebutkan terdapat 166 ekor harimau di tanamn nasional yang berada di 4 provinsi ini. Keberadaan harimau di TNKS ini juga tidak aman, karena masih banyanya terdapat perburuan. Balai TNKS menangkap tiga pelaku penangkapan harimau di TNKS.

Kebakaran hutan yang terus berulang setiap tahun, timbulkan berbagai kerugian materil, ekologis dan kesehatan warga. Foto: Lili Rambe

Kabut Asap Timbulkan Kerugian Ekologis dan Materil Terus Berulang

Hal yang sama juga terjadi dengan penanganan kabut asap yang menjadi penyakit tahunan di propinsi ini. Kebakaran lahan di tahun 2012 ini menyebabkan 1.300 ha  termasuk Taman Nasional Berbak hangur terbakar.  Jambi menjadi empat besar propinsi yang paling banyak memiliki titik panas se-Indonesia dengan jumlah titik api 2.282. Akibat Kebakaran lahan ini menyebabkan kualitas udara di Jambi menjadi sangat buruk dengan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) mencapai 109 yang berarti kualitas udara sangat buruk, sehingga Pemerintah Kota Jambi mengambil tindakan untuk meliburkan murid TK dan SD kelas 1-3. Buruknya kualitas udara ini juga menyebabkan meningkatnya penderita Infeksi Saluran Pernafasan hingga mencapai 168.516 kasus.

Kabut Asap juga menyebabkan gangguan penerbangan, bahkan Penerbangan Garuda dari Jakarta ke Jambi di pagi hari dihapuskan selama satu minggu. Selain itu, kabut asap juga menyebabkan penundaan penerbangan sejumlah maskapai. Tahun ini pemerintah harus mengeluarkan uang untuk penebaran benih hujan senilai Rp3,42 M. Musim kemarau yang akan datang pemerintah  harus mengeluarkan jumlah uang yang sama jika tidak melakukan perbaikan yang signifikan dalam tata kelola.

Orang Rimba Semakin Terdesak

Sementara itu, hak-hak hidup Orang Rimba yang menjadi penduduk asli di hutan Jambi, tak mengalami peningkatan, bahkan bisa dikatakan jalan di tempat. Sepanjang 2012 Warsi mencatat angka kematian dan kesakitan pada Orang Rimba masih sangat tinggi. Hal ini disebabkan semakin terbukanya hutan yang menjadi gantungan kehidupan Orang Rimba yang berimpilkasi pada kesulitan pangan. Persoalan ini semakin diperburuk dengan kesulitan Orang Rimba untuk mengakses pelayanan kesehatan publik akibat ketidakadaan biaya.

Data yang dihimpun Warsi menyebutkan sepanjang September-Oktober 2012 terdapat 6 kasus kematian orang rimba yaitu 5 balita kelompok Ngrip dan 1 balita kelompok Marituha.  Kematian ini disebabkan penyakit yang tidak biasa dikalangan Orang Rimba seperti batuk pilek dan deman tinggi.

Pada Orang Rimba juga ditemukan kasus gizi buruk yang menghampiri Orang Rimba. Dari pendataan yang dilakukan Warsi kasus gizi buruk ini ditemukan di Kelompok Berating 15 kasus, Kelompok Ninjo 10 kasus dan Kelompok Marituha 12 kasus. “Perubahan lingkungan yang terjadi pada Orang Rimba menyebabkan beragamnya penyakit yang menyerang Orang Rimba, di sisi lain tumbuhan rimba yang bisa digunakan untuk mengobatan semakin sulit ditemukan karena terbukanya hutan,” sebut Rakhmat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,