,

Tarik Ulur Luasan Hutan Aceh dalam Rencana Tata Ruang

Rencana Pemerintah Aceh mengurangi luas kawasan hutan melalui rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang baru mengkhawatirkan masa depan hutan dan lingkungan daerah itu.

Ketua Panitia Khusus RTRW Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Teungku Anwar menyatakan, saat ini era Gubernur Zaini Abdullah sepakat luas kawasan lindung 46 persen. Di zaman Gubernur Irwandi Yusuf, luas kawasan lindung Aceh justru ingin diperbesar hingga 68 persen.

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM Zulfikar, informasi pengurangan luas hutan Aceh masih simpang siur. Sampai sekarang pembahasan RTRW Aceh terkesan tertutup. “Kami mempertanyakan hutan mana yang dikurangi. Apa alasan pemerintah Aceh mengurangi luasnya?” kata TM Zulfikar di Banda Aceh, Minggu (20/1/13).

Dia mengatakan, usulan perubahan fungsi kawasan hutan di RTRW Aceh tidak terlepas banyaknya kepentingan ekonomi atas sumber daya alam. Jika dilihat dari program master plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3I), Aceh menjadi fokus sasaran pengembangan sawit dan tambang.

Menurut Zulfikar, sejumlah kelompok masyarakat sipil Aceh saat ini memantau proses penyusunan RTRW itu. Mereka sedang memeriksa peta usulan perubahan tata ruang Aceh ini dan mencocokkan dengan beberapa areal konsesi tambang, hak guna usaha (HGU) sawit, maupun pembangunan jalan yang hendak membelah hutan Aceh.

“Kami kawatir sekali proses penyusunan tata ruang yang tertutup ini ada hubungan dengan kepentingan konsesi. Kami mendorong pansus membuka RTRW Aceh ke publik. Kalau begini prosesnya Walhi siap mensomasi.”

Teungku Anwar membantah ada kepentingan konsesi tambang dan HGU sawit dalam penyusunan pola ruang Aceh. “Kebijakan Gubernur Zaini Abdullah tidak lagi merekomendasikan tambang dan HGU untuk Aceh.”

Anggota dewan dari Partai Aceh ini memastikan tidak ada pengurangan kawasan hutan secara besar-besaran dalam usulan RTRW. Luas hutan Aceh tidak berbeda jauh dengan yang ditetapkan Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan No. 170/Kpts-II/2000.

“Pengurangan luas kawasan lindung hanya 2,6 persen dibanding SK 170. Nanti luas kawasan lindung di Aceh berkisar 46,6 persen. Sisanya kawasan budidaya termasuk hutan produksi,” kata Teungku Anwar, Sabtu (19/1/13).

Dalam draf RTRW Aceh, Zaini Abdullah didukung DPRA, mengusulkan menghilangkan luas kawasan lindung Aceh 71.587 hektar, mencakup hutan lindung dan konservasi. Sebagian besar kawasan yang hendak dialihfungsikan statusnya itu di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Ini sebuah bentang hutan yang sangat kaya dengan spesies flora dan fauna. Dalam Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 KEL sudah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional (KSN) yang harus dilindungi dan dilestarikan.

Yayasan Leuser Internasional (YLI) mengingatkan, Pemerintah Aceh harus memperhatikan status KEL sebagai KSN dengan menjaga fungsi sebagai penyeimbang ekosistem dan memelihara keunikan di dalamnya. Selain itu, dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2006, Pemerintah Indonesia telah memberikan kewenangan pengelolaan KEL kepada Pemerintah Aceh untuk melindungi, melestarikan, merehabilitasi kawasan dan memanfaatkan secara lestari.

“Pemanfaatan ruang di KEL harus sesuai fungsi. Dengan kondisi sekarang KEL terus mengalami tekanan. Apalagi jika kawasan lindung makin dikurangi,” kata Syahrul dari YLI.

KEL terdiri dari beberapa kawasan yang mempunyai fungsi berbeda-beda seperti hutan lindung, konservasi dan areal penggunaan lain (APL). Banyak hotspot keragaman hayati tersebar di APL terutama di dataran rendah. Jika kawasan ini jadi lahan budidaya khawatir konflik manusia dengan beberapa satwa seperti gajah dan harimau makin meningkat.

Sebenarnya, ada harapan meningkatkan status kawasan yang belum dilindungi itu. Di masa Gubernur Irwandi Yusuf, tim teknis Aceh Green yang menyusun redesain tata kelola hutan Aceh, mengusulkan penambahan kawasan hutan hingga 800 ribu hektar. Namun usulan yang masuk draf RTRW Aceh tidak pernah mendapat dukungan dari DPR dan banyak kabupaten.

“Bayangkan saja dari 23 kabupaten di Aceh, 21 kabupaten dan kota ada hutan, kecuali Banda Aceh dan Lhokseumawe, hutan ditambah. Lantas dimana rakyat bisa mengusahakan ekonomi kalau semua dijadikan hutan lindung?” kata Teungku Anwar.

Proses penyusunan RTRW dimulai sejak rehabilitasi Aceh pasca tsunami tahun 2005. Sejak 2010 draf RTRW masuk pembahasan ke DPRA. Karena tak kunjung dicapai kata sepakat antara legislatif dan eksekutif di masa Gubernur Irwandi, Pansus RTRW mengambil alih proses. Mereka membuat draf qanun tandingan dengan mengakomodir usulan kabupaten yang ingin melepas kawasan hutan.

Gubernur Irwandi dikenal sebagai gubernur hijau dengan misi Aceh Hijau yang terkenal. Sejak dilantik menjadi Gubernur Aceh, Irwandi yang berlatar belakang dosen kedokteran hewan di Universitas Syiah Kuala dan pernah bekerja di LSM lingkungan, mengeluarkan kebijakan penting untuk tata kelola hutan Aceh. Setahun setelah dipilih, dia mengelurkan instruksi agar seluruh Aceh berlaku jeda tebang (moratorium logging) tanpa batas waktu. Lalu membentuk tim Aceh Green yang menyusun redesain tata kelola hutan Aceh.

Di tingkat internasional, Aceh masuk ke Task Force Governor Climate Forum bersama 18 provinsi lain dari Indonesia, Brazil, Amerika Serikat, Mexico, Spanyol dan Peru, sebagai bentuk komitmen mereka mengurangi perubahan iklim. Aceh juga bernisiatif menjadi pilot pasar karbon melalui skema REDD di Indonesia. Ini semua tak lepas dari potensi hutan Aceh yang masih berkualitas bagus di Indonesia.

Hampir setengah tutupan hutan di Sumatera, yang masih terjaga ada di Aceh. Di Aceh terdapat dua blok hutan sangat penting, yakni Ekosistem Leuser seluas 2,6 juta hektar dan Ekosistem Ulu Masen seluas 730 ribu hektar. Hutan Aceh merupakan tempat terakhir dimana empat satwa langkah endemik Sumatera masih ditemukan seperti orangutan, badak, gajah dan harimau.

Kegiatan eksploitasi tambang biji besi dekat hutan lindung Manggamat Kabupaten Aceh Selatan. Foto: Chik Rini

Dalam draf RTRW Aceh versi DPR Aceh ini, kawasan lindung Aceh ditetapkan seluas 2.649.072 hektar (46,66 %) dan kawasan budidaya 3.027.742 hektar (53,34 persen).

Berdasarkan citra landsat 2009 Aceh, masih memiliki tutupan hutan 3.223.635 hektar. Kondisi ini memperlihatkan masih banyak hutan Aceh dalam posisi terancam karena berada di luar kawasan lindung.

RTRW Aceh sudah siap secara subtansi dan segera dibawa ke sidang paripurna DPRA dalam waktu dekat. Saat ini, peta usulan perubahan sudah diserahkan Gubernur Aceh kepada Menteri Kehutanan. “Usulan itu akan dikaji oleh tim terpadu yang dibentuk Menteri terdiri dari LIPI, pemerintah pusat dan daerah,” kata Kepala Bidang Planologi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Saminuddin B Tou.

Menurut Saminuddin, dari usulan pengurangan kawasan hutan sekitar 71.587 hektar, paling luas hendak dikurangi hutan lindung mencapai 60.900 hektar tersebar di berbagai tempat. Hutan lindung terluas dialih fungsikan menjadi APL di Kecamatan Leuser Antara, Kabupaten Aceh Tenggara seluas 13 ribu hektar.

Beberapa tahun lalu pemerintah Aceh Tenggara membangun pemukiman dalam hutan lindung ini. Kini mereka mengusulkan mengubah status hutan yang sudah menjadi kecamatan. Selain itu, beberapa kawasan konservasi juga diusulkan diciutkan seperti Suaka Margasatwa Rawa Singkil dikurangi dari 102.370 hektar menjadi 75.000 hektar.

Cagar Alam Janto dikurangi dari 16.940 menjadi menjadi 311 hektar, sebagian besar diubah menjadi Kawasan Wisata Alam. Taman Buru Lingga Isaq di Aceh Tengah dikurangi dari 86.704 menjadi 86.320 hektar.

Saminuddin mengatakan, pemerintah menyesuaikan kondisi faktual di lapangan. “Penetapan kawasan hutan Aceh berdasarkan SK Menhut No. 170 tidak seluruhnya tepat. Ternyata ada hutan lindung di dalamnya terdapat pemukiman definitif, harus dikeluarkan.”

Pihaknya, mengecek batas Suaka Margasatwa di lapangan ada ketidaksesuaian kondisi di peta dan lapangan.” Saat batas kawasan Suaka Margasatwa ditetapkan tahun 2000, ada pemukiman di Kota Subulussalam dan HGU perkebunan sawit juga masuk kawasan konservasi. “Ini kesempatan kita mengeluarkan kawasan HGU dan pemukiman yang terlanjur masuk di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, hingga luas terlihat berkurang.”

Saminuddin mengungkapkan, kawasan konservasi lain seperti taman nasional dan taman hutan raya, bertambah luas. Kawasan hutan yang diubah fungsi dialihkan menjadi beberapa kawasan lain seperti taman wisata alam, hutan produksi dan APL. “Kalau dihitung perbedaan luas hutan Aceh di SK Menhut dan draf RTRW hanya ada pengurangan hutan sekitar 28 ribu hektar. Ini sebenarnya kecil sekali dibanding luas hutan Aceh.”

Pembukaan kawasan hutan untuk pemukiman di Beutong Ateuh, Nagan Raya. Foto: Chik Rini
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,