, ,

Agus Purnomo: Semua Pekerjaan Kami akan Dapat Dinilai di Tahun 2014

Moratorium (penundaan penebangan) di hutan alam primer dan lahan gambut telah menjadi pilihan politis pemerintah Indonesia dibawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  Tuntutan agar pemerintah melakukan moratorium pembalakan hutan telah lama disuarakan oleh berbagai kalangan LSM sejak era 1990-an yaitu periode dimana pemberian konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) diberikan oleh pemerintah secara masif.

Pembicaraan negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan negara lain telah menghasilkan kesepakatan perjanjian kerjasama, termasuk salah satunya adalah dengan kerajaan Norwegia yang telah menghasilkan komitmen pendanaan sebesar 1 miliar dollar (sekitar Rp 9 triliun) bagi pihak Indonesia jika berhasil melakukan skema moratorium dengan baik.  Di balik itu semua masih terdapat pro-kontra baik dari kalangan bisnis maupun LSM yang menyangsikan keberhasilan rencana dan kebijakan moratorium ini.

Adalah seorang Agus Purnomo, Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Sekretaris Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD), sekaligus Staf Khusus Presiden, sosok yang dipercayakan untuk melakukan negosiasi kerjasama antara Indonesia dan Norwegia oleh Presiden SBY. Sebelum bekerja dalam pemerintahan, ia telah aktif dalam berbagai kelompok kerja di forum-forum masyarakat sipil.

Dalam sebuah wawancara ekslusif dengan Mongabay-Indonesia dikantornya di akhir bulan Desember 2012, Agus Purnomo, -akrab dengan panggilan Pungki,- mengungkap berbagai peristiwa yang ia alami dan rasakan.  Pungki juga menjelaskan tentang maksudnya untuk menuliskan berbagai pengalaman tersebut  seperti yang terangkum dalam bukunya yang berjudul Menjaga Hutan Kita: Pro Kontra Kebijakan Moratorium Hutan dan Gambut.

Mongabay-Indonesia (MI): Apa yang mendorong anda menulis buku ini?

Agus Purnomo (AP): Saya ingin membuat catatan karena banyak kesimpangsiuran, banyak tuduhan salah karena sebagian pihak masih menganggap dana dari Norwegia adalah hutang. Jadi sifatnya adalah klarifikasi, termasuk tentang rencana-rencana yang kita sepakati. Buku ini memuat berbagai harapan, keinginan dan komitmen untuk melakukan perubahan, dan tidak ada perubahan-perubahan itu yang dapat selesai dalam 2 tahun, atau 5 tahun.  Saya berharap buku ini dapat menjadi referensi, suatu saat di masa depan orang siap melangkah lebih lanjut lalu butuh catatan.  Semacam dokumen perencanaan dan kumpulan pemikiran yang dapat digunakan di masa yang akan datang.

(MI): Dalam buku anda terdapat dialog dengan Presiden, apakah ini dirancang atau memang ini bagian dari catatan harian atau berdasarkan ingatan anda?

(AP): Beberapa hal terkesan mendalam, sehingga saya ingat, tentunya ingatan saya tidak akan akurat dalam jangka panjang, mumpung masih segar, sehingga saya tulis.  Basis dari tulisan ini adalah catatan e-mail yang dapat saya lacak. Disana kita bisa cek rekonstruksi dari berbagai dokumen dan komunikasi.  Ditambah juga dengan pemberitaan media.  Tidak ada desain di awal, ini sesuatu yang terjadi setelah kejadian berlangsung.

(MI): Dalam buku ada juga drama, pro kontra antara masyarakat sipil, kalangan bisnis dengan pemerintah, dimana anda berdiri dalam dalam penulisan ini?

(AP): Saya berdiri dalam posisi saya sekarang, yaitu saya di DNPI dan saya Staf Khusus Presiden.  Waktu saya ke Oslo untuk negosiasi terakhir, saya mendapatkan amunisi dari Presiden kalau perlu melakukan tindakan moratorium. Saya bukan berasal dari Kemenhut, sehingga saya perlu mengajak pejabat senior Kemenhut untuk ikut negosiasi, saya bukan bagian dari birokrasi Kemenlu, sehingga saya perlu mengajak Dubes dan Direktur yang menangani Lingkungan Hidup dari Kemenlu untuk ikut negosiasi pula.

Saya bagian dari pemerintah sekarang, sehingga saya akan dikritik oleh LSM dan pengusaha.  Saya bercerita apa yang saya alami.  Saya berharap catatan ini menjadi catatan pelaku.  Orang mungkin akan berubah pendapat, itu sah-sah saja, tapi paling tidak kita mencatat posisinya saat itu.  Pihak lain dapat mengamati kalau ada perubahan posisi.  Itu harapan dari saya, orang yang membuat buku.

Cover buku Menjaga Hutan

(MI): Komitmen dari Presiden SBY untuk mengurangi emisi karbon ke angka 26% pada tahun 2020 dan 41% dengan bantuan luar negeri.  Bagaimana kelanjutan komitmen ini sampai saat ini?

(AP): Sejauh ini hasil yang paling memberikan gambaran adalah ketika laporan Indonesia ke UNFCCC yang berjudul The Third National Communication  selesai dibuat, karena dalam laporan tersebut akan diukur besaran potensi dan pelepasan emisi Indonesia.  Dari sana akan ketahuan apakah Indonesia akan berhasil menurunkan atau tidak. Pembuatan dokumennya sendiri dimulai sekitar bulan April 2013, dari pengalaman kita butuh 1-2 tahun, dan mudah-mudahan tahun 2014 akan selesai. Kalau 2014 selesai datanya adalah untuk tahun 2009 dan 2010, atau setahun hingga 2 tahun setelah Presiden mencanangkan moratorium itu akan terlihat apakah trendnya menurun atau tidak.

(MI):  Bagaimana pemahaman masyarakat Indonesia saat ini tentang perubahan iklim, menurut anda bagaimana komitmen ini dapat dilanjutkan pasca 2014? 

(AP): Dapat dilihat jika dibandingkan sebelum 2007, perubahan iklim itu menjadi istilah yang sering sekali disebut  dan orang jadi akrab sekali dengan kata tersebut.  Orang bahkan akrab sekali dengan kata “kita harus menurunkan emisi”.  Semua orang sepakat bahwa kita semua memiliki emisi dan sepakat untuk kita dapat turunkan emisi.  Keberhasilan mengubah paradigma itu sebetulnya terjadi.  Apakah perubahan paradigma dari pemerintah yang sekarang menjabat seterusnya menjadi permanen dan dimiliki oleh staf pemerintah atau oleh masyarakat? Kita tidak tahu.

Jadi indikator keberhasilan pemerintah (saat ini) dalam melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) isu ini adalah dari kebijakan yang akan diambil pemerintah setelah tahun 2014.  Seharusnya komitmen Presiden SBY untuk melakukan pengarusutamaan dapat diteruskan oleh siapapun Presiden setelah tahun 2014.

(MI): Kalau tadi disebut pengarusutamaan (mainstreaming) di tingkat masyarakat, sampai sejauh mana mainstreaming itu ditataran masyarakat?

(AP): Masih jauh, masalah kita disini adalah perubahan iklim sulit sekali dipahami karena aspek ilmiahnya sangat kental.  Istilah ilmiah membuat sangat sulit disampaikan dalam waktu 90 detik.  Kalau kita presentasi tentang perubahan iklim dalam 30 menit, kalau seseorang boleh memilih, ia akan memilih untuk tidak mendengarkan.  Tantangan terbesar dari mainstreaming adalah mengencerkan kadar topik perubahan iklim ke kadar yang dapat diserap oleh masyarakat.  Ini yang sulit.  Belum ketemu caranya, mudah-mudahan ketemu nanti, sehingga jangan sampai menjadi isu yang rumit.

Agus Purnomo
Agus Purnomo menulis pesan di dalam bukunya. Foto: Ridzki R. Sigit

(MI): Banyak pihak mengatakan Indonesia selalu menjadi negara dengan konsep extra ordinary body, dimana muncul pembentukan badan-badan negara baru padahal sudah ada instansi formalnya, termasuk badan dimana saat ini anda bekerja. Menurut anda sejauh mana pembentukan badan khusus diperlukan?

(AP): Banyak instruksi presiden yang harus dilaksanakan dan tidak semua instruksi tersebut dapat dijalankan karena kerja kongkrit bagi penerima instruksi itu amat berat.  Saya percaya DNPI tidak perlu ada, kalau instansi bersangkutan sudah siap.  Tadi saya katakan The Third National Communication, Kemen LH belum lakukan sendiri perhitungannya, yang lakukan adalah konsultan yang ditunjuk, namun tentunya tidak mungkin sesuatu yang harus dikerjakan rutin dilakukan oleh konsultan.  Karena kalau diperlukan konsistensi, kalau konsultannya ganti maka jadinya bingung.  Jadi DNPI, berupaya mendukung dan membujuk LH untuk siap melakukannya.

Untuk pengelolaan hutan, kita dorong Kemenhut agar berubah,  misalnya perijinannya.  Sebagian sudah mulai terlihat, kita push terus, tidak ada niatan menempatkan DNPI sebagai lembaga permanen.  DNPI hadir karena Bapak Presiden ingin memimpin sendiri, karena beliau melihat keterlibatannya secara langsung itu diperlukan.  Presiden sudah mengamati bahwa kalau dilepas, ini akan mati.  Presiden menjadi ketua dan memberi arahan, dan 2014 berakhir era presidentialnya.  Disitu akan ada sebuah milestone yang dapat dipertimbangkan oleh presiden berikutnya apakah hal ini masih diperlukan dipegang oleh presiden sendiri atau sudah dapat dijalankan oleh anggota kabinet.

(MI): Apa yang paling menarik dari hasil pertemuan para pihak tentang perubahan iklim di Doha pada Desember 2012 yang lalu?

(AP):  Doha berhasil menyepakati kelanjutan dari protokol Kyoto, disatu sisi, itu harus disyukuri karena upaya-upaya pengurangan emisi yang dibiayai melalui komitmen Protokol Kyoto, termasuk Clean Development Mechanism (CDM) dapat berlanjut.

Disaat bersamaan, saya harus memberikan catatan yang tidak menggembirakan karena komitmen pengurangan emisi negara-negara maju melalui Periode Kedua Protokol Kyoto jumlahnya kecil, sehingga harapan pasar karbon untuk menyediakan pendanaan yang mencukupi terlihat sulit tercapai.  Bahkan harga ton emisi yang akan dikurangi di pasar karbon itu jatuh.  Tidak sampai setengah dollar, dari tadinya, -tergantung lokasi,- dapat belasan euro atau dollar.  Jadi jatuhnya harga merupakan sebuah catatan negatif dari ketidakmampuan negara-negara untuk menyepakati pengurangan emisi yang lebih ambisius di Doha.

Demikian pula, komitmen pengurangan emisi dari negara maju banyak yang diulur dan ditunda karena alasan krisis ekonomi dan keuangan.  Ini tentunya mengecewakan, banyak negara kecil yang terancam tenggelam, masyarakat di pantai terancam, masyarakat yang hidup tergantung dari alam yang ramah terancam, karena alam berubah menjadi tidak ramah.

(MI): Ada hal lain yang ingin anda sampaikan kepada pembaca Mongabay?

Banyak gagasan yang bernas, yang baik yang coba diwujudkan dalam upaya reformasi kehutanan, seperti moratorium, pemberian perijinan baru, sampai hal-hal lain itu tidak akan selesai dalam 1 masa periode administrasi pemerintahan.  Pemerintah berganti tiap 5 tahun, tapi gagasan yang bernas itu harus terus diwujudkan. Saya dengan buku ini dan pekerjaan sampai beberapa tahun kedepan, ingin menitipkan, mimpi dan harapan untuk turut bersama mewujudkannya di masa depan.  Saya berharap para pembaca Mongabay inilah yang akan menjadi penjaga dan pengawal agar dapat diteruskan di periode berikutnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,