,

Aneh, Bayar Pungutan Hutan tapi Golden Agri Ngaku Tak Berkayu Komersil

PT Smart TBK dan induk perusahaan, Golden Agri Resouces (GAR) pada 21 Desember 2012 mengeluarkan pernyataan resmi mengaku keliru dan bertanggungjawab karena membuka lahan seluas 2.449 hektar tanpa izin pemanfaatan kayu (IPK). Alasannya, tidak ada kayu komersil pada lahan-lahan di luar IPK itu. Anehnya, dalam rentang waktu itu ada pembayaran dana reboisasi (DR) dan  provisi sumber daya hutan (PSDH).

Kejadian itu antara Januari 2011 hingga Mei 2012 di tiga konsesi milik GAR di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar) atas nama PT. Kartika Prima Cipta (KPC), PT. Paramitra Internusa  Pratama (PIP) dan PT. Persada Graha Mandiri (PGM).

Demikian diungkapkan Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia dalam surat terbuka organisasi ini pada Senin(21/1/13).  “Greenomics telah mempresentasikan fakta-fakta hukum kepada GAR maupun PT Smart Tbk dan The Forest Trust. Dalam respon terbuka ini, kami menjelaskan satu contoh fakta-fakta hukum terkait operasi KPC,” katanya di Jakarta, dalam rilis kepada media.

Menurut dia,  dari fakta-fakta terlihat operasi KPC hingga masa berlaku berakhir IPK antara lain, KPC, tampak dua blok IPK sebagian besar masih tampak cukup utuh, tidak tampak aktivitas pembukaan lahan selama periode Januari 2011-Mei 2012.

Namun, fakta menunjukkan KPC membayar DR dan PSDH pada 23 November 2011. Pembayaran itu sesuai surat penagihan pembayaran (SPP DR dan PSDH) tertanggal 3 November 2011 atas laporan hasil produksi (LHP) dari hasil pembukaan lahan hutan alam di konsesi KPC.

Pernyataan GAR, membenarkan tiga perusahaan mereka telah membuka lahan pada di luar blok-blok IPK, namun tidak mengakui ada kayu komersil di kawasan  itu. “Siaran pers itu menimbulkan tanda tanya serius secara hukum, mengingat ada penerbitan SPP DR dan PSDH kepada KPC pada 3 November 2011 dan penyetoran pembayaran 23 November 2011.”

Kedua fakta ini, ucap Elfian, bukti berkekuatan hukum KPC membuka lahan hutan alam di luar blok-blok IPK. Sebab, di kedua blok IPK KPC, tidak terjadi aktivitas pembukaan lahan untuk kepentingan program konservasi hutan (PKH).

“Jika GAR tetap tidak mengakui membuka lahan ada kayu komersil, mengapa SPP DR dan PSDH terbit dan KPC membayar dua pungutan itu?”  Padahal, SPP DR dan PSDH hanya bisa terbit setelah ada LHP yang dibuat sendiri oleh perusahaan. “Pembayaran DR dan PSDH tanpa penyampaian LHP adalah pelanggaran kehutanan.”

Pada 24 Mei 2012, ternyata terbit lagi SPP DR dan PSDH atas LHP dari hasil pembukaan lahan hutan alam di konsesi KPC. Namun, lagi-lagi, pada dua blok IPK KPC masih tetap tidak ada aktivitas pembukaan lahan. “Artinya, SPP DR dan PSDH tahap kedua itu terbit setelah ada LHP dari pembukaan lahan pada hutan alam yang memiliki kayu komersil di luar dua blok IPK KPC itu.”

Elfian mengatakan, aktivitas pembukaan lahan hutan alam KPC pada tahun pertama (Februari 2011-Mei 2012)  implementasi PKH, melibatkan penebangan kayu komersil hampir 17.000 pohon. Fakta spasial menunjukkan, pada dua blok IPK KPC tidak terjadi aktivitas pembukaan lahan. Artinya, KPC menebang di luar blok-blok IPK KPC yang memiliki kayu komersil. “Ini dibuktikan terbitnya SPP DR dan PSDH serta pembayaran atas SPP DR dan PSDH itu.” Secara otomatis, fakta-fakta hukum ini menyimpulkan, pernyataan GAR tidak sesuai fakta yang dilakukan ketiga perusahaan sawit itu.

Dalam laporan Greenomics Indonesia 24 Mei 2012, disebutkan lebih dari 40.000 pohon komersil ditebang oleh ketiga perusahaan sawit GAR selama implementasi PKH tahun pertama. Perhitungan ini, berdasarkan, pembayaran DR dan PSDH tahap pertama (23 November 2011) atas pembukaan lahan hutan alam berkayu komersil oleh ketiga perusahaan GAR.

Setelah memperhitungkan pembayaran DR dan PSDH tahap kedua, oleh ketiga perusahaan GAR pada 31 Mei 2012 maka jumlah pohon komersil yang ditebang total mencapai 80.000 pohon dalam periode pertama implementasi PKH GAR.

Menurut Elfian, laporan Greenomics pada Mei tahun lalu itu, untuk mengobservasi implementasi PKH pada anak-anak perusahaan GAR terkait operasi pembukaan lahan pada areal bertutupan hutan rawa sekunder. PKH GAR diluncurkan 9 Februari 2011, mendapatkan dukungan dari TFT dan Greenpeace.

Di tiga konsesi itu terlihat ada upaya konservasi hutan alam dalam pembangunan perkebunan sawit. Upaya  ini, antara lain, dapat dilihat dari pengalihan areal pembukaan lahan dari areal masih bertutupan hutan rawa sekunder yang telah ada IPK ke lahan relatif tidak bertutupan hutan alam atau bertutupan hutan alam, namun relatif kurang kompak dalam luasan tertentu.

Fakta lain menunjukkan, dua perusahaan GAR itu tetap membuka lahan pada sebagian areal bertutupan hutan rawa sekunder pada blok-blok IPK. Kondisi ini memperlihatkan, deforestasi nihil (zero deforestation) terbukti belum dapat dilakukan dalam pembangunan perkebunan sawit di Indonesia.

Greenomics meminta,TFT dan Greenpeace, merekomendasikan GAR segera mencabut siaran pers karena tak sesuai fakta. GAR pun perlu menanam pohon komersil spesies Kalimantan, sedikitnya 80.000 pohon. “Ini sesuai jumlah pohon yang ditebang pada tahun pertama penerapan PKH.”

Dalam rilis Smart dan GAR pada 21 Desember 2012, mengakui pembukaan lahan seluas 2.449 hektar tanpa mendapatkan IPK, antara Januari 2011 hingga Mei 2012 di tiga konsesi milik GAR. Daud Dharsono, Direktur Utama PT Smart dalam pernyataan itu mengatakan, perusahaan bertanggung jawab atas kekeliruan dan telah berkonsultasi  serta menon-aktifkan staf yang terlibat.

Menurut dia, dalam praktik, sebelum pembukaan lahan, Smart menandai area yang akan dikembangkan dan  mengajukan permohonan IPK kepada Dinas Kehutanan Kalbar. Smart juga akan mengajukan IPK untuk area-area yang akan dikembangkan jika diperlukan. Proses permohonan IPK memerlukan waktu sekitar enam  bulan. Selama proses ini, pejabat lokal akan survei lahan untuk mengidentifikasi potensi kayu yang masih bernilai komersial. Jika ada kayu komersial, IPK diperlukan. Smart pun akan membayar semua biaya perizinan.

Pada November 2010, Smart memohon IPK. Berdasarkan permohonan ini, Dinas Kehutanan Kalbar mengirimkan surat rekomendasi menyatakan, IPK diperlukan untuk sebagian area sementara sisa area lain yang diajukan tidak perlu. Berdasarkan surat rekomendasi  itu, Smart membayar biaya perizinan IPK dan melanjutkan proses persiapan lahan di area-area yang tidak memerlukan IPK.

Di luar area IPK yang diajukan November 2010, ada area lain seluas 2.449 hektar. Pada lokasi ini, staf Smart survei untuk mengidentifikasi potensi kayu komersial. Berdasarkan pengalaman dari survei IPK sebelumnya oleh Dinas Kehutanan Kalbar, terkait kondisi vegetasi di area yang tak perlu IPK, para staf Smart mengambil kesimpulan tidak ada kayu komersial.

Smart pun memutuskan membuka lahan tanpa IPK kepada Dinas Kehutanan Kalbar. Pada Mei 2012, Smart menyadari pembukaan lahan tanpa IPK merupakan kekeliruan. Lalu, segera mengajukan permohonan IPK kepada Dinas Kehutanan Kalbar.

Dinas Kehutanan Kalbar mengirimkan tiga tim untuk mensurvei area 2.449 tersebut dan menyimpulkan tidak ada kayu komersial saat area dibuka.“Walaupun survei telah mengkonfirmasi IPK tidak diperlukan, kami menyadari hal ini bukan berarti membenarkan pembukaan lahan tanpa IPK yang sudah dilakukan perusahaan,” ucap Daud.

Untuk itu, perusahaan menyatakan bertanggung jawab atas kekeliruan karena proses IPK dan standard operating procedure (SOP) perusahaan tidak ditaati. “Kami akan memperketat SOP memastikan ketaatan perusahaan secara tegas.”

Smart, katanya, akan menerapkan SOP ketat untuk memberikan arahan dan kejelasan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pembukaan lahan.  “Ini akan diturunkan ke seluruh jajaran organisasi. Smart akan adakan training untuk memastikan pengertian akan SOP ini. Juga menggunakan kesempatan ini mengingatkan kembali seluruh pejabat lapangan kami mentaati SOP dan melaksanakan pemeriksaan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,