,

Mengintip Primata-primata Sitaan di Pusat Rehabilitasi Ciwidey

Lutung Jawa penghuni salah satu kandang di kawasan Karantina The Aspinall Foundation, Ciwidey Bandung itu tampak biasa. Tak nampak keanehan sedikit pun pada Neneng, lutung berusia tiga tahun itu. Ia terlihat lincah bergelayutan pada ranting pohon di kandang besi berukuran lima kali dua meter persegi itu. Namun, Neneng tak bisa dilepasliarkan kembali alam. Mengapa? Ternyata lutung yang diambil dari hasil sitaan itu mengidap virus Simian Retro Virus (SRV).

Made Wedana, Direktur Eksekutif The Aspinall Foundation Indonesia mengatakan, SRV sejenis virus penyerang sistem kekebalan tubuh pada hewan. “Sama seperti virus HIV yang menyerang manusia,” katanya, pertengahan Januari 2013.

Awalnya, Lutung Jawa, di sana ada empat ekor. Karena semua satwa itu pengidap SRV, hingga mati satu per satu, tersisa hanya Neneng. “Kalau dilepasliarkan ke alam, nanti bisa menularkan ke lutung Jawa yang lain. Jadi Neneng tidak bisa dilepasliarkan. Seharusnya disuntik mati agar tidak menularkan ke satwa lain, tapi kami tidak tega.”

Made mengatakan, euthanasia belum bisa dilakukan karena tak ada tim yang membahas  persoalan teknisnya. Padahal bahasan mengenai masalah ini sudah muncul sejak 2000. Kementerian Kehutanan berencana membentuk tim terdiri dari asosiasi dokter hewan, peneliti LIPI dan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), hingga kini belum terealisasi.

Primata di penghuni rehabilitasi ini ada 13 owa Jawa,  satu surili dan empat lutung Jawa. Primata ini hasil sitaan dari penjual atau pemelihara oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan lembaga lain  sejak 2011. “Hampir semua primata sitaan punya penyakit. Di sini hampir semua hepatitis B. Yang terbebas penyakit hanya dua ekor jadi sulit dilepas kembali ke habitat asli,” ucap Made.

Sebenarnya, jika primata sitaan terbebas penyakit, proses rehabilitasi untuk dilepasliarkan ke alam tidak memerlukan waktu lama, sekitar 3-6 bulan latihan perilaku.

Saat ini, pusat rehabilitasi ini melakukan penelitian guna mengetahui apakah di alam terdapat hepatitis B atau tidak lewat media kotoran. “Ada teknik baru dikembangkan di Inggris untuk bisa mengecek hepatitis B primata dari kotoran.”

Penelitian mengenai keberadaan hepatitis B di alam sangat penting. Jika ternyata ditemukan ada hepatitis B di alam, primata di pusat rehabilitasi yang sudah terkena bisa dilepas. Penelitian ini terobosan baru karena selama ini jika ingin memeriksa darah  satwa di alam, harus ditembak dan dibius. “Tindakan menembak, dibius dan diambil darah pada saat primata aktif di alam sangat sulit dan mempunyai risiko sangat besar. Karena itu, penelitian ini sangat penting.”

Metode ini sudah dicoba tahun lalu dengan mengambil sampel kotoran owa Jawa. Menurut Made, ada kemungkinan bisa dilakukan di Indonesia, meski masih harus ada berbagai penelitian kembali memastikan keakuratan. “Proses terus berlangsung. Sampel akan dites.”

Owa jawa di pusat rehabilitasi-3
Owa Jawa (Hylobates moloch), hasil sitaan di pusat rehabilitasi di Ciwidey. Foto: Ridzki R Sigit
Pusat rehabilitasi primata tampak pagar depan
Satwa-satwa hasil sitaan yang masuk rehabilitasi ini mayoritas dalam keadaan sakit hingga sulit dilepasliarkan. Foto: Ridzki R Sigit
Owa jawa di pusat rehabilitasi
Ada 13 owa Jawa di pusat rehabilitasi Ciwidey, sebagian mengidap hepatitis B. Foto: Ridzki R Sigit
Saat ini pusat rehabilitasi Ciwidey, meneliti keberadaan penyakit hepatitis B di alam, guna menentukan langkah penanganan bagi satwa, seperti owa Jawa, yang menderita penyakit ini. Beberapa sampel kotoran owa Jawa sudah diambil dari beberapa tempat. Foto: Ridzki R Sigit
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,