, ,

Pembabatan Hutan Mangrove Marak di Berbagai Daerah

Dari Kalimantan, Sumatera,  Sulawesi sampai Papua, hutan mangrove mengalami kerusakan. Mayoritas mangrove dibabat  dengan alasan pembangunan, dari perumahan, pelabuhan, pabrik, sampai tambak. Kondisi ini, bisa dilihat di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Sekitar 100 hektar lebih dari 1.300 hektar hutan mangrove rusak dibabat dan ditimbun perusahaan maupun warga untuk industri dan pemukiman.

Lis Darmansyah, Wali Kota Tanjungpinang, dikutip dari Antara, prihatin dengan kerusakan mangrove yang terjadi. Pada Jumat(22/2/13), dia mengecek langsung kerusakan dengan mengelilingi perairan Sungai Jang dan Pulau Dompak. “Sebagian hutan mangrove dan pantai hingga kedalaman laut dua meter sudah ada sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional,” katanya di Tanjungpinang.

Lis mengatakan, jika tidak ada penataan dengan baik, Tanjungpinang bisa tenggelam akibat abrasi karena hutan mangrove habis. Dia berjanji meninjau ulang sejumlah izin penimbunan yang diberikan Wali Kota Tanjungpinang sebelumnya.”Saya minta Lurah Sungai Jang menginventarisir berapa luas bakau yang dibabat dan ditimbun.”

Sebagian besar mangrove atau bakau yang dibabat dan ditimbun berubah jadi perumahan dan menjadi penyebab banjir di sejumlah daerah di Tanjungpinang. Perusahaan tambang bauksit juga menimbun mangrove untuk membuat pelabuhan tempat tambat kapal tongkang pengangkut bauksit.

Kabid Pertambangan dan Kehutanan Dinas Kelautan Perikanan Pertanian, Kehutanan dan Energi (KP2KE) Tanjungpinang, Zulhidayat mengatakan, tak ada data terbaru kerusakan mangrove. Data dari 1986 sampai 2011 lebih dari 100 hektar rusak berdasarkan foto udara.

Kerusakan hutan mangrove tak hanya di Tanjungpinang. Di Cagar Alam Tanjung Panjang, Gorontalo, hutan mangrove juga mengalami kerusakan masif.  Diikutip dari Kompas, dari luas Cagar Alam Tanjung Panjang 3.000 hektar, 2.500 hektar untuk tambak .

Kementerian Kehutanan (Kemenhut) siap membebaskan Cagar Alam Tanjung Panjang dari aktivitas tambak. Melalui Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara meminta Ditjen Planologi memprioritaskan rekonstruksi batas cagar alam, hutan lindung, dan area peruntukan lain di Tanjung Panjang.

Mangrove di Kalimantan Barat (Kalbar), juga mengalami hal serupa. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan, perusakan mangrove berpotensi di Kabupaten Kubu Raya, Kalbar karena  investor tambak masuk membuka 7.000 hektar hutan mangrove.

Di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim),  kerusakan hutan mangrove pun terus terjadi. Pada awal Februari 2013,  Stanislav Lhota, dalam surat elektronik kepada media, mengatakan, baik PT Pelindo (Persero) maupun PT Mekar Bumi Andalas (PT MBA), anak usaha Wilmar Grup, masih terus merusak mangrove. Stan, begitu dia biasa panggilan, adalah ilmuwan dari Departemen Zoologi, Universitas South Bohemia Republik Chechnya, dan menjadi peneliti bekantan di Balikpapan, sejak 2005.

Stan mengatakan, Pelindo tidak merespon protes para aktivis lingkungan dan melanjutkan penutupan hutan mangrove Solok Puda untuk memperluas lokasi pelabuhan peti kemas ke arah utara.  “Di hulu Solok Puda, Pelindo telah mendorong dan menimbun tanah sampai ke bibir sungai. Sudah dua anak sungai tertutup penimbunan tanah oleh Pelindo.”

PT MBA pun, memagari lahan rawa mangrove yang diambil secara ilegal. Sebagian lokasi PT MBA, yang terletak di pinggiran Sungai Berenga Kanan,  sudah dipagari.  “Sebagian besar dikonversi ilegal karena kondisi awal rawa hutan mangrove,” ucap Stan.

Padahal, berdasarkan peraturan daerah (perda) tata ruang kota dan hukum nasional, daerah ini dilindungi serta tidak bisa dijadikan kawasan industri.  “Para peduli lingkungan telah meminta Wilmar meninggalkan lahan yang awalnya rawa mangrove ini tetapi tidak merespon. Sebaliknya, mereka malah memagari lahan itu.”  Kasus ini, katanya, akan dibawa ke Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Wilmar salah satu anggota RSPO.

Di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kaltim, pelabuhan-pelabuhan kecil pun terus bertambah. Di Kawasan Pulau Kwangan dan sekitar dulu direncanakan sebagai wisata, karena lokasi sangat indah.  Namun, keindahaan wilayah ini hilang terkena kegiatan perusahaan-perusahaan pertambangan batu bara di sepanjang pantai yang berdekatan dengan Pulau Kwangan. Pada Januari ada pembukaan dua pelabuhan baru ke arah utara dari Kampung Pantai Lango.

“Kemungkinan besar pembukaan itu untuk terminal batu bara, meskipun sudah ada beberapa terminal batu bara pada lokasi hampir sama. Makin banyak izin diberikan makin banyak pula perusakan pantai dan hutan mangrove, karena setiap perusahaan membuka pelabuhan sendiri,” kata Stan.

Begitu pula di hulu Pulau Balang, di sekitar Air Putar Kecil, ada perintisan lahan seluas kurang-lebih satu hektar. Kabarnya, ini akan dijadikan pelabuhan (terminal) penumpukan barang yang memerlukan lahan empat hektar.

Berpindah pulau, di Padang, Sumatera Barat (Sumbar), kerusakan hutan mangrove juga meluas, antara lain sekitar 25 hektar hutan mangrove di Aie Bangis, Pasaman Barat, untuk pembangunan pelabuhan minyak sawit mentah.

Dikutip dari Kompas, Eni Kamal, Ketua Pusat Studi Pesisir dan Kelautan Universitas Bung Hatta,  mengatakan, terjadi koordinasi tak sinergi. “Pengelolaan kawasan hutan mangrove di Dinas Kehutanan, sementara pemanfaatan di Dinas Kelautan dan Perikanan,” katanya.

Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Hendri Octavia mengatakan, lima tahun terakhir tak ada permohonan izin baru penggunaan hutan mangrove. Untuk pembangunan pelabuhan di Pasaman Barat, tidak sampai menggunakan kawasan hutan mangrove.

Lahan reklamasi rawa mangrove yang dipagari PT MBA. Foto: Stanislav Lhota
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,