Laporan: Usai Asia Tenggara, Kelapa Sawit Siap Mangsa Hutan Tropis Benua Afrika

Ekspansi industri perkebunan kelapa sawit mulai marak di benua Afrika, setelah selama ini kuat menancapkan kuku mereka di Indonesia dan Malaysia. Namun seiring dengan hal itu, ekspansi kelapa sawit ini membawa kekhawatiran baru di benua hitam tersebut. Terutama terkait dengan masalah deforestasi dan konflik sosial yang ditimbulkan akibat perkebunan kelapa sawit ini.

Sebuah laporan yang baru dirilis oleh The Rainforest Foundation UK (RFUK), berjudul The Seeds of Destruction, menyebutkan bahwa sebuah perkebunan sawit baru akan dibuka di hutan tropis di kawasan cekungan Kongo seluas setengah juta hektar, atau hampir seluas negara bagian Delaware di Amerika Serikat. Namun belajar dari berbagai kasus yang sudah terjadi di Asia Tenggara, laju perkembangan perkebunan kelapa sawit ini berpotensi membawa bencana bagi hutan, satwa liar dan warga setempat.

“Pemerintah di negara-negara di cekungan Kongo nampaknya sangat mudah menyerahkan hutan tropis mereka untuk diubah menjadi perkebunan kelapa sawit dengan perhatian yang sangat kecil atau bahkan tidak ada samasekali terhadap dampaknya terhadap lingkungan atau orang-orang yang selama ini hidup tergantung dengan hutan,” ungkap Simon Counsell, Direktur Eksekutif The Rainforest Foundation UK.

Konsesi perkebunan milik Atama Plantation SARL di Republik Kongo. Klik untuk memperbesar peta.

Pohon kelapa sawit, aslinya memang barasal dari Afrika, jadi produksi minyak kelapa sawit di Kongo ini jelas bukan hal baru. Namun kelapa sawit dalam bentuk industri raksasa yang melibatkan perkebunan dalam skala raksasa adalah sesuatu yang baru bagi kawasan ini. Pola pendekatan, jika mengacu dengan apa yang dilakukan di Asia Tenggara, telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan para aktivis lingkungan yang selama ini dinilai membawa bencana bagi Indonesia dan Malaysia. Apalagi, dari hasil penelitian ilmiah ditemukan bahwa 86% deforestasi yang terjadi di Malaysia antara tahun 1990 hingga tahun 2000 disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit.

Perusahaan terbesar yang akan mengembangkan perkebunan sawit di Kongo adalah perusahaan Malaysia bernama Atama Plantation SARL, yang saat ini tengah mempersiapkan pembukaan lahan seluas 180.000 hektar di Republik Kongo. Namun aktivitas perusahaan ini tertutup oleh ketidaktransparanan dalam operasi mereka, ungkap laporan ini.

“Tidak ada peta konsesi yang bisa diakses oleh publik, namun bukti-bukti menunjukkan bahwa hutan yang akan digunakan untuk perkebunan ini adalah hutan alam yang menjadi habitat alami dari satwa-satwa yang dilindungi seperti simapnse dan gorila. Batas wilayah perkebunan ini, bahkan ada di dalam wilayah yang direncanakan menjadi taman nasional,” ungkap laporan RFUK tersebut. Saat ini proses penebangan telah dilakukan di kawasan konsesi tersebut.

RFUK juga mempertanyakan apakah alasan pembukaan lahan untuk kelapa sawit ini menjadi dalih untuk menebang kayu-kayu yang ada di hutan alami tersebut, yang memiliki cadangan kayu yang sangat signifikan.

Selain di cekungan Kongo, perkebunan kelapa sawit juga akan dibuka di Kamerun, yang saat ini mendapat tekanan dari berbagai organisasi lingkungan dunia dan lokal. Perkebunan yang akan dibuka oleh perusahaan bernama Herakles Farms di Amerika Serikat ini seluas 60.000 hektar di hutan yang berbatasan dengan empat kawasan lindung, namun reputasi perusahaan ini nampaknya akan dipertaruhkan seiring dengan kerasnya tentangan yang muncul dari berbagai organisasi lingkungan, salah satunya Greenpeace. Tahun lalu, 11 pakar biologi terkenal dunia mengirimkan surat kepada Herakles untuk menghentikan proyek mereka ini.

Peta konsesi milik Herakles Farms di Kamerun. Klik untuk memperbesar peta.

Namun seperti biasa, pihak perusahaan seperti Herakles ini selalu berdalih bahwa mereka membawa kemajuan ekonomi bagi benua yang terkenal miskin ini.

Namun laporan RFUK mencatat bahwa dalam banyak kasus pihak pemerintah nampaknya tidak berupaya keras untuk menjalin hubungan yang menguntungkan dengan perusahaan sawit bagi semua pihak. “Kontrak yang ditandatangani antara pihak perusahaan dan pemerintah bersifat rahasia, tidak transparan dan secara demokratis tidak memiliki akuntabilitas. Kontrak-kontrak itu menjadi kontrak yang sangat menguntungkan bagi perusahaan dan tidak membawa keuntungan ekonomi bagi pemerintah dengan cara memberikan insentif pajak selma 10 hingga 16 tahun dan bisa menggunakan lahan secara ‘gratis’ atau dengan diskon yang sangat tinggi,” ungkap laporan ini.

Selain itu, berbicara soal perkebunan kelapa sawit juga terkait dengan konflik lokal dengan pemilik tanah dari kalangan masyarakat adat, seperti banyak kasus yang terjadi di Malaysia dan Indonesia. Para warga lokal seringkali tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terhadap tanah mereka, dan dalam banyak kasus tanah adat ini disewakan dalam jangka yang sangat panjang, seperti yang dilakukan oleh Herakles yang mendapat ‘sewa tanah’ dari pemerintah Kamerun selama 99 tahun.

“Perkebunan kelapa sawit dalam skala besar adalah ancaman utama bagi warga masyarakat, kehidupan dan keragaman hayati di cekungan Kongo,” ungkap Samuel Nguiffo, Direktur dari Center for Environment and Development (CED), Kamerun. “Ini jelas bukan jawaban yang tepat untuk mengatasi ketahanan pangan dan pembukaan lapangan kerja yang dihadapi oleh negara-negara ini. Memberikan dukungan terhadap pertanian skala kecil adalah jawaban yang lebih baik.”

Bahkan di Asia Tenggara, setelah berbagai hujatan dan kritikan tajam yang banyak diterima oleh pihak perusahaan kelapa sawit, pihak industri dan aktivis lingkungan harus membuat lembaga yang mengawasi perusahaan kelapa sawit bernama RSPO atau Roundtable on Sustainable Palm Oil di tahun 2004 untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan yang mncul terkait produksi minyak kelapa sawit.

Belajar dari apa yang sudah terjadi di Asia Tenggara, kawasan cekungan Kongo harus belajar banyak dari kegagalan ini terkait ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,