Perburuan Demi Ekspor dan Kuliner Ancam Populasi Kodok Indonesia

Kasus perburuan satwa untuk memenuhi sumber protein bagi manusia, terutama satwa liar semakin mengancam populasi berbagai jenis satwa yang berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem.  Tak hanya satwa besar, namun berbagai jenis reptil kecil yang ada di sekitar kita. Salah satunya adalah kodok.

Berbagai jenis kodok di alam liar Indonesia, kini menjadi salah satu sumber protein yang digemari oleh penikmat kuliner di berbagai belahan penjuru dunia. Seperti yang dilansir dalam sebuah laporan yang dilakukan oleh www.news.com.au, sebuah media online dari Australia. Media ini melakukan investigasi terhadap para pencari kodok di kawasan Bogor, Jawa Barat.

Pasangan suami istri Sri Mulyani  dan suaminya Suwanto adalah salah satu pemburu kodok liar untuk dijual di pasar memenuhi tingginya permintaan pasar terhadap daging reptil kecil ini. Dalm sehari pasangan ini bisa meraih sekitar 500.000 rupiah dengan menjual daging kodok ke beberapa restoran di Bogor dan kepada para perantara yang melakukan ekspor daging kodok ini.

Indonesia, adalah negara pengekspor daging kodok terbesar di dunia. Sebagian besar, atau sekitar 80% ekspor daging kodok Indonesia dikirim ke beberapa negara Eropa, seperti Perancis, Belgia dan Luxemburg. Dan sebagian besar kodok ini, ditangkap di alam liar oleh para pemburu seperti Suwanto.

Namun, sejumlah pakar lingkungan mulai mengkhawatirkan kebiasaan makan daging kodok orang-orang di Eropa ini karena dinilai mulai membahayakan keseimbangan ekosistem. Kodok dikenal sebagai pemakan serangga, salah satunya adalah nyamuk, yang menekan ledakan penyakit yang disebabkan oleh nyamuk. Sementara berudu kodok, memiliki kemampuan untuk menstabilkan kondisi lingkungan perairan.

Persiapan daging kodok untuk diekspor. Foto: Kevin Ponniah/www.news.com.au

Permintaan terbesar untuk daging kodok setiap tahunnya datang dari negara Perancis. Diperkirakan sekitar 80 juta daging kodok dikirim ke negeri Napoleon Bonaparte ini setiap tahun. Sementara untuk menangkarkan kodok demi memenuhi kebutuhan orang Perancis, negeri ini sudah melarang peternakan kodok dan perburuan daging kodok sejak tahun 1980. Lalu mereka berupaya mendapatkan daging kodok dari India dan Bangladesh, sampai akhirnya kedua negara di Asia Barat Daya ini juga melarang ekspor daging kodok pertengahan 1980an, setelah populasi kodok di kedua negeri ini menyusut drastis. Lalu, permintaan pun dialihkan ke Indonesia hingga saat ini, dimana perdagangan dan perburuan daging kodok belum dilarang.

“Kami khawatir setelah bertahun-tahun diburu populasi kodok akan berkurang, setidaknya beberapa jenis kodok berbadan besar akan berkurang,” ungkap Sandra Altherr dari organisasi Jerman bernama Pro Wildlife, yang telah menulis sebuah laporan tentang perdagangan daging kodok tahun lalu. “Sejarah sudah memberi banyak pelajaran kepada manusia, dan kita harus belajar dari sana.”

Namun bagi orang-orang seperti Suwanto, berburu kodok tak hanya soal penghasilan, namun juga seperti bagian dari hidupnya. “Saya sudah berburu kodok sejak tahun 1992, dan ayah saya juga  sebelumnya adalah pemburu kodok,” ungkap Suwanto.

Para pemburu kodok biasanya mulai melakukan aktivitas mereka pada malam hari, mulai pukul delapan. Dengan bertelanjang kaki, menggunakan penerangan seadanya, mereka menembus persawahan untuk menangkap kodok-kodok yang mulai aktif dengan menggunakan jaring bergagang bambu.

Seiring dengan keahlian para pemburu kodok yang meningkat sesuai jam terbang mereka, seorang pemburu yang sudah ahli biasanya bisa mendapat antara 50 hingga 70 kg kodok setiap malam. Sebagian besar ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik, yang diperkirakan antara dua hingga tujuh kali jumlahnya dibandingkan jumlah kodok yang diekspor. Umumnya restoran yang menyajikan hidangan ala Cina atau chinese food menyediakan menu berbahan dasar kodok ini.

Para ahli lingkungan seperti Altherr berharap, isu kodok in bisa menjadi sebuah isu yang mengemuka dalam pembahasan Konferensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) yang berlangsung di Bangkok, dan melindungi beberapa spesies kodok yang jumlahnya semakin menyusut akibat perburuan manusia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,