Tolak Tambang Pasir Besi, 15 Warga Jepara Terancam Jeruji Besi

“Kami bukan Kriminal, Kami adalah Korban,” begitulah sepenggal judul pembelaan (Pledoi) yang dibuat dan disampaikan lima belas nelayan korban kriminalisasi di depan persidangan  pada kamis, pertengahan Februari 2013 di Pengadilan Negeri Jepara silam. Lima belas warga Bandungharjo tersebut menjadi terdakwa dan di dakwa melanggar pasal 170 KUHP. Mereka dituntut enam bulan penjara dengan masa percobaan sepuluh bulan. Nur hadi selaku ketua Forum Nelayan dan sesepuh di dukuh Mulyorejo, Bandungharjo kepada Mongabay Indonesia mengatakan bahwa hal ini adalah akibat dari penolakan mereka terhadap keberadaan tambang pasir besi di Pantai Bendungharjo yang dilakukan CV Guci Mas Nusantara.

Berdasarkan penuturan warga, mereka sebenarnya telah melakukan upaya-upaya pengaduan ke pemerintah mulai dari petinggi desa Bandungharjo, Camat, Badan Lingkungan Hidup (BLH), DPRD Jepara dan Pemkab Jepara. Namun pemerintah tidak menanggapi berbagai pengaduan warga tersebut. Sampai pada tanggal 30 April 2012 ratusan warga nelayan berduyun-duyun hadir ke lokasi penambangan bermaksud meminta CV untuk menghentikan aktivitas penambangan  yang berakhir pada kriminalisasi 15 warga nelayan Bandungharjo.

Suasana persidangan 15 warga yang menolak pertambangan pasir besi. Foto: LBH Semarang

Pembelaan yang dibacakan di depan persidangan oleh salah satu korban kriminalisasi, Sudarni, menguraikan kondisi masyarakat nelayan Bendungharjo yang selama ini hidup tenang mulai terusik saat muncul aktivitas pertambangan. “Lalu kami harus mengadu pada siapa lagi jika orang-orang yang kami pilih tidak berpihak pada kami? Apakah salah jika kami menjaga lahan penghidupan kami dengan cara yang kami pahami? Lantas apa lagi yang harus kami lakukan, setiap hari didepan mata kami mereka mengeruk dan merusak pantai kami?” begitu bunyi sepenggal Pledoi yang dibacakan oleh Sudarni.

Misbakhul Munir selaku pendamping hukum dari lima belas warga mengatakan bahwa apa yang disampaiakan warga dalam pembelaanya adalah suatu bentuk kondisi nyata yang dirasakan oleh masyarakat nelayan pada umumnya. “Masyarakat adalah korban, korban dari Malpraktek perizinan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Jepara. Jadi pantas saja jika pemkab jepara enggan menanggapi pengaduan warga,” tegas Munir.

Lebih lanjut Munir menyampaikan dugaan malpraktek perizinan oleh Pemkab Jepara ini dapat dilihat jika kita datang kelokasi penambangan dan faktanya lokasi penambangan hanya berjarak kurang lebih 10 meter dari laut. Padahal jika kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, sangat jelas disampaikan bahwa daratan sepanjang tepian yang panjangnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat, dan disebut sebagai kawasan sepadan pantai, yang merupakan kawasan lindung dan tidak diperbolehkan adanya kegiatan budidaya di tempat tersebut. Namun, dalam persidangan yang menghadirkan pemilik CV. Guci Mas Nusantara, penambangan yang dilakukan telah memperoleh izin sejak 2008. “Ini sangat aneh, dan kalaupun itu benar,  ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah Kabupaten Jepara telah melanggar berbagai aturan dalam menerbitkan izin tersebut,” jelas Munir.

Selain itu, Slamet Haryanto selaku kuasa hukum dari LBH Semarang, seperti dikutip dalam rilisnya menyampaikan bahwa, lima belas warga ini adalah korban kriminalisasi. Hal tersebut mengacu pada keterangan para saksi yang di hadirkan oleh JPU yang tidak melihat langsung kejadian, padahal di KUHAP jelas menyebutkan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik penuntut dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. “Meskipun ada beberapa saksi yang hadir dilokasi juga sangat meragukan keteranggannya karena dilokasi ada sekitar 500-an warga yang tidak mungkin bisa di identifikasikan satu-satu terkait apa yang dilakukan saat kejadian berlangsung,” kata Slamet. 

Lebih lanjut Slamet Haryanto menuturkan ini adalah perkara pidana, seharusnya aparat penegak hukum yang diberikan kewenangan dalam sistem peradilan pidana bisa lebih teliti lagi dalam menetapkan seseorang menjadi tersangaka atau terdakwa. Karena ini menentukan nasib warga. Bukan hanya itu, penetapan tersebut juga bisa berdampak secara psikologis terhadap keluarga dan anak korban kriminalisasi. “Jadi kami sangat berharap pada sidang putusan yang akan di gelar kamis depan di PN Jepara, hakim dapat memutus perkara ini dengan putusan yang seadil-adilnya dengan menggunakan hati nurani,” tutup Slamet.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,