, ,

Terancam RTRW, Selamatkan Hutan Aceh!

Rencana tata ruang wilayah(RTRW) yang diusulkan Pemerintah Aceh, saat ini menimbulkan banyak kekhawatiran. Dari hasil analisis, alih fungsi kawasan dan peruntukan hutan dalam RTRW mengancam lingkungan, manusia dan habitat satwa langka di daerah ini. Aceh, merupakan satu-satunya daerah di dunia yang memiliki satwa sekaligus: gajah, harimau, badak dan orangutan, dalam satu kawasan. Hutan Aceh harus diselamatkan. Namun, bukan berarti alih fungsi kawasan hutan total ‘haram’ tetapi harus melalui pengkajian matang dan mendalam serta melibatkan komponen masyarakat sipil. Demikian benang merah pemaparan hutan Aceh terkait usulan RTRW dari Pemerintah Aceh di Jakarta, Rabu(13/3/13).

Efendi Isma Ketua Koalisi Penyelamat Hutan Aceh (KPHA) mengatakan,  menyikapi RTRW usulan Pemerintah Aceh, pada 7 Maret 2013, sekitar 18 organisasi non pemerintah lokal dan internasional mengirimkan surat kepada Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dengan tembusan ke berbagai kementerian, lembaga negara dan kedutaan-kedutaan. Mereka meminta Kemenhut, tak menyetujui usulan itu.

Dia mengatakan, dari analisis usulan RTRW menyimpulkan beberapa hal, seperti perubahan fungsi kawasan lindung menjadi areal penggunaan lain (APL).  “Ini sangat bikin kita sedih. Apakah mereka tak baca regulasi. Karena kawasan lindung itu, kawasan yang dilindungi untuk lindungi masyarakat itu dan satwa-satwa jadi tak boleh diganggu gugat,” katanya.

Dengan ada perubahan peruntukan begitu luas menilmbulkan pertanyaan. “Ada apa? Untuk apa?” Memang, ada perubahan kawasan lindung karena ada pemukiman. “Itu ga masalah, di-enclave. Namun, perubahan fungsi dengan luasan besar, malah jadi pertanyaan.”

Pelanggaran tata ruang, katanya, selama ini hampir tak ada tindakan hukum. “Jika terjadi akan makin luas dan hancur hutan. Ini mengkhawatirkan kita semua.” Dia mencontohkan perubahan peruntukan dalam usulan RTRW itu. Cagar Alam Jantho menjadi wisata alam. “Ini downgrade. Mengapa status turun, dari kawasan konservasi ke wisata alam. Ada apa ini? Kita jadi berpikir, fungsi cagar alam ke taman wisata alam karena kepentingan pengusaha. Karena kalau cagar alam tak bisa  berbuat apa-apa, kalo wisata alam, pengusaha bisa masuk.”

Belum lagi, Suaka Marga Satwa Muara Singkil yang berubah menjadi area penggunaan lain (APL). “Suaka marga satwa boleh jadi hutan produksi, tapi kalo APL berbahaya. Aneh suaka marga satwa ke APL.”

Dalam usulan RTRW itu juga tak ada pengakuan KEL tetapi menjadi Taman Nasional Gunung Lauser. Padahal, tata ruang ditetapkan secara nasional, namun KEL tidak diakomodir. “Tambah curiga saja.” Rawa Tripa, juga tak masuk dalam hutan lindung.

Selain, perubahan peruntukan kawasan hutan yang menimbulkan banyak pertanyaan, kata Efendi, RTRW juga tak transparan dan tak melibatkan komponen masyarakat sipil. Padahal, dalam aturan disebutkan wajib pelibatan masyarakat. “Untuk akses dokumen saja kita kesulitan.”  Hingga, di beberapa lokasi perubahan peruntukan dan fungsi kawasan masyarakat tak tahu sama sekali. “Kita khawatir, dengan perubahan ini satu saat, masyarakat bisa saja terusir. Mungkin kepentingan korporat,” ucap Efendi.

Ian Singleton, Direktur Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), mengatakan, hutan Aceh begitu kaya keragaman hayati.  Ada orangutan, gajah, harimau sampai badak. Aceh bisa dikatakan ibukota terbesar di dunia untuk orangutan dengan populasi delapan orangutan per kilometer. “Mereka ini 100 persen tergantung hutan Aceh,” katanya.

Singleton tak bisa membayangkan, jika dalam RTRW Aceh, banyak kawasan hutan lindung dan konservasi berubah status. Dia mencontohkan, rawa gambut Tripa,  masuk dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL), sangat penting bagi orangutan. Jika di kawasan itu sampai rusak, habislah rumah orangutan paling besar di dunia ini. Konflik antara satwa dan manusiapun bakal meningkat. “Saat ini saja sudah tinggi. Pada, Februari lalu, satu bayi orangutan, sangat kurus sekali, ditangkap warga di kebun sawit PT Surya Panen Subur.”

Gita Syahrani mengkaji RTRW ini dari aspek legal. Menurut dia, tak hanya substansi, prosedural juga dilanggar. Rancangan qanun (raqan) RTRW Aceh sudah diusulkan Irwandi Yusuf dan mendapatkan persetujuan Menteri Pekerjaan Umum (PU). Namun, dari Kementerian PU, salah satu menyebutkan, raqan I harus memenuhi materi kehutanan dan Kemenhut.

Aturan menyebutkan, raqan yang sudah disetujui Kementerian PU, isi tidak boleh diubah secara substansi. Informasi dari Kementerian PU, tim DPR Aceh menyatakan raqan hanya berubah secara nomenclatur, dan sedang proses di Kemenhut. Faktanya, saat ini beredar raqan versi kedua (raqan II) yang mencantumkan Gubernur Zaini Abdullah, pada kolom penetapan. Tak hanya itu, raqan II memiliki isi berbeda dengan raqan I. Satu contoh perbedaan, tentang Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL), raqan I, tak ada pengaturan zonasi secara rinci. Raqan II menyebutkan, memberi pengaturan tegas.

Disebutkan,“Pemanfaatan ruangan untuk kepentingan pembangunan strategis publik berdasarkan izin pemerintah Aceh, setelah mendapatkan persetujuan DPRA dan rekomendasi lembaga Wali Nagroe.”  Jadi, TNGL yang merupakan kawasan strategis nasional tidak dilindungi, Bahkan dapat ‘dibongkar’ dan dibangun asal berbekal izin pemda.

Dia merekomendasikan, Kemenhut mengevaluasi raqan II dan menghentikan proses penetapan dan pengesahannya dengan menyampaikan perbedaan substantif pada Kementerian Dalam Negeri. Juga meminta Kementerian PU mengevaluasi ulang subtansi raqan II. Lalu, pastikan KEL mendapatkan status KSN. Dengan KSN, maka akan terikat pada rancanan tata ruang nasional yang tak bisa dilanggar tata ruang provinsi. KSN ditetapkan dengan pertimbangan kepentingan fungsi daya dukung lingkungan hidup.

Lalu, Graham F Usher, Landscape Protection Specialist SOCP menjabarkan, bahaya alih fungsi peruntukan kawasan dalam RTRW Aceh, jika tanpa kajian mendalam. RTRW usulan pertama oleh Irwandi Yusuf, sebenarnya cukup mengakomodir kepentingan lingkungan. Namun, berubah dengan usulan RTRW II ini.  Dia memperlihatkan bahaya usulan RTRW Aceh terhadap lingkungan dan masyarakat, dengan mengambil contoh kasus di beberapa wilayah.

Di Pidie, ada sawah sangat luas. Hampir semua hulu daerah aliran sungai (DAS). Di kawasan itu, dalam usulan RTRW akan menjadi hutan produksi. “Hutan sudah tinggal sedikit. Deket DAS itu sawah. Kok malah mau dikurangi dengan status menjadi HP, bukankah harusnya ditambah? Untuk melindungi DAS?”

Dampak bagi satwa, di kawasan itu tempat gajah hidup. Konflik gajah manusia tentu akan besar. Ditambah lagi, ini kawasan curah hujan rendah, jika kemarau panjang. “Sawah luas, air dari mana? Dari hutan. Hutan dibabat, sawah akan kesulitan air. Ini tata ruang kalo dibilang untuk masyarakat Aceh, bohong. Ini malah kerugian bagi masyarakat kecil, kerugian petani-petani sawah itu,” ucap Usher.

Lalu, di Aceh Jaya, ada batu gamping peka gangguan air. Tapi hutan diusulkan menjadi HP.  Kasus serupa di kawasan Pantai Bara, tanah berbatu keras. “Jika hutan ditebang, tanah terkikis, air hujan akan langsung turun ke sungai. Yang jadi korban rakyat yang ada di sekitar DAS.”

Jadi, Usher, tak yakin perubahan kawasan fungsi hutan demi ‘kepentingan masyarakat’ seperti yang digadang-gadang pemerintah Aceh, sebagai alasan.  Yang jelas, katanya, jika usulan ini disetujui, yang akan terjadi selama satu sampai dua tahun ini banyak keluar perizinan. “Banyak pejabat kaya, kantongi izin.”

Usher mengingatkan, setelah habis masa lima tahun jabatan Gubernur sekarang, namanya di masyarakat Aceh, akan jelek. Dia akan disalahkan atas kerugian ekonomi, maupun bencana alam. “Itu pasti terjadi. Bisnis di luar senang. Senang akan produksi dapat hasil bagus. Sedang pembangun Aceh sangat bahaya. Lima tahun dari sekarang Gubernur akan jadi kambing hitam atas ini.”

Sebenarnya, Gubernur Aceh, saat ini baik, dan pintar, tetapi kemungkinan tak mendengar opsi-opsi lain.  “Saya pribadi ingin ada kesempaan bincang-bincang dengan para perencana di Aceh untuk bahas masalah ini.”

Rudy Putra, mantan pegawai Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Lauser yang baru mendapatkan Future for Nature Award di Belanda, menyatakan kesedihan atas usulan dalam RTRW ini.

Dia menuturkan, sejak 2009, dia bersama BPKEL berjuang ‘menyisir’ perkebunan sawit yang beroperasi ilegal di KEL. “Ada 24 perkebunan ditutup luas 10.000 hektar. Dengan usulan RTRW ini Pemerintah Aceh akan ubah fungsi hutan jadi APL.”

Terlebih saat ini, tak ada lagi yang mengawasi KEL, karena BPKEL, sudah dibubarkan. “Alasan Gubernur, BPKEL dibubarkan karena menghambat pembangunan jalan tembus Aceh. Ini kan aneh.” Pemerintah Aceh berencana membangun jalan yang akan menghancurkan KEL, terutama Pantai Tamiang. Selanjutnya, ini akan membuka akses bagi perusahaan.

Rudy menceritakan, pada 2007, BPKEL dibentuk Gubernur Irwandi Yusuf. Pada 2008 mulai mengidentifikasi masalah di Tamiang. Mereka memonitoring dengan satelit, melihat kondisi kehancuran hutan di hilir dan hulu. “Ada hutan tapi rusak karena hampir seluruh wilayah dulu HPH. Ini parah sekali. Seluruh wilayah logging, 90 persen hutan rusak.”

Lalu, BPKEL memonitoring lewat udara. Terdapat wilayah cantik di tengah hutan, tetapi ada kebun sawit tengah hutan. Monitoring udara terlihat buka hutan dengan alat berat. Ada juga pembukaan jalan ilegal. Ada buka lahan banyak sekali padahal itu habitat satwa. Lalu, BPKEL bekerja sama dengan polisi, masyarakat dan LSM. “Sukses. Tutup 24 perkebunan dengan luas 10.000 hektar kebun sawit. “ Lantas sawit ditebang dan ditanami pohon lagi. “Baru tebang 500 hektar, masih ada 9.500 hektar karena terbatas dana justru BPKEL dibubarkan….”

Apa dampak usulan perubahan fungsi hutan bagi kawasan ini? “Saya dengar dari kawan-kawan pengusaha itu sudah mulai tanya-tanya lagi, mau masuk lagi ke sana dengan ada rencana perubahan fungsi kawasan.”

KEL, kata Rudy, harapan konservasi bagi badak, harimau, gajah dan orangutan.  “Kalau tak usaha setop rencana Pemerintah dan DPR Aceh ini, mungkin satwa-satwa ini hanya bertahan dalam lima tahun ini.” Penolakan perubahan fungsi kawasan datang dari masyarakat. Dua minggu lalu, masyarakat Tamiang menolak perubahan fungsi hutan dengan alasan sarat korupsi, ekosistem bisa rusak dan merugikan masyarakat.

Petisi Selamatkan Hutan Aceh

Upaya penyelamatan hutan Aceh yang terancam dalam usulan RTRW, juga digalang lewat petisi di change.org. Sampai, berita ini diturunkan, penandatangan sudah mencapai 7.280 orang dari berbagai penjuru negeri.

Hasil Tim Kajian Tata Ruang Aceh (Tim KTRA) menemukan usulan alih fungsi kawasan hutan yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Aceh, mengancam kelestarian hutan di daerah ini. Dari analisis data terlihat, dalam usulan itu, sekitar 242.660 hektar kawasan hutan berpotensi terdegradasi. Lebih dari 100 ribuan hektar alih fungsi itu berada di hutan lindung. Sekitar 242.660 hektar kawasan hutan yang terancam ini dari total usulan perubahan dari Pemerintah Aceh, seluas 341.022 hektar.

Dalam laporan hasil kajian itu memperlihatkan, antara lain, hutan lindung beralih fungsi menjadi areal penggunaan lain (APL) seluas 68.594 hektar, hutan produksi menjadi APL 44.195 hektar, dan hutan lindung menjadi hutan produksi 40.913 hektar. Lalu, hutan produksi menjadi hutan produksi konversi 34.607 hektar, hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas seluas 18.547 hektar.

Grafis Graham F Usher, SOCP
Tiga kawasan contoh kasus rawan bencana lingkungan jika perubahan kawasan hutan terjadi. Sumber grafis: Graham F Usher, SOCP
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,