, ,

Mukim Merasa Tak Dilibatkan dalam Penyusunan RTRW Aceh

Mukim se-Aceh Besar menilai pemerintah Aceh tak melibatkan mereka dalam proses penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Aceh. Mereka yang tergabung dalam Majlis Duek Pakat Mukim Aceh Besar  (MDPM-AB) pun,  menyesalkan, jika RTRW Aceh tidak mengakui keberadaan mukim dan wilayah kelolanya. “Ini bentuk pelanggaran konstitusi serius,” kata Juru bicara MDPM-AB, Asnawi Zainun, dalam pernyataan kepada media, di Aceh, Selasa (2/4/13).  

Asnawi mengatakan, mukim tak hanya tak dilibatkan, informasi berkaitan dokumen RTRW pun tidak pernah tahu. Padahal, pada pelaksanaan RTRW itu akan menggunakan wilayah dan ruang kelola mukim.  Di tengah kekhawatiran, MDPM-AB berharap, RTRW ini tidak menimbulkan konflik berbasis ruang di masa depan.

Majlis menyadari,  RTRW merupakan kerangka acuan bagi pembangunan dan berbagai aktivitas pemanfaatan ruang di Aceh dalam waktu 20 tahun ke depan.  Untuk itu, RTRW Aceh harus mampu mensejahterakan, menyelamatkan sumber penghidupan, keseimbangan alam, dan harmonisasi sosial. “RTRW Aceh harus lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat daripada kepentingan segelintir orang.”

Menurut Asnawi, ada beberapa hal harus dipertimbangkan Pemerintah Aceh sebelum RTRW disahkan. Pertama, keberadaan mukim sudah diakui di Aceh hingga wilayah kedudukan harus dipertegas dalam RTRW.  Penegasan wilayah administratif mukim, katanya,  harus tergambar dalam wilayah setiap RTRW baik kota maupuan kabupaten.

Kedua, RTRW Aceh harus menegaskan pengakuan keberadaan wilayah kelola mukim di daratan maupun perairan, seperti perkampungan (hunian), blang (sawah), uteun (hutan), paya (rawa), lampoh/seunebok (kebun rakyat), padang meurabee (kawasan padang penggembalaan), peukan (pasar),  bineh pasi (pantai), panton/bineh krueng, batang air (krueng/sungai, alur, tuwie, lubuk), danau, laut, dan kawasan mukim lain yang menjadi ulayat setempat.  Ulayat mukim ini, penjabaran dari  Qanun No.4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim pasal 18 yang ditegaskan Qanun Aceh Besar No.8 tahun 2009 Pasal 28 tentang harta kekayaan mukim.

RTRW Aceh pun wajib memberikan perlindungan atas wilayah kelola mukim dari kegiatan pembangunan dan proyek-proyek ekploitatif merusak dan mengancam sumber penghidupan masyarakat dan berpotensi menimbulkan bencana.  MDPM-AB, kata Asnawi,  siap jika diajak berdialog dengan semua pihak membicarakan konsep wilayah kelola mukim ini.

Ketiga, RTRW Aceh harus memberi pengakuan terhadap hak kelola mukim atas wilayah, meliputi, hak kepemilikan, hak akses dan pemanfaatan dan hak pengelolaan. Mukim, berdasarkan hak asal usul dan hukum formal memiliki kewenangan mengurus harta kekayaan dan sumber-sumber pendapatan mukim secara kewilayahan.  Pengelolaan wilayah mukim diatur dengan aturan adat mukim setempat di bawah koordinasi Imeum Mukim: hak buya lam krueng, hak rimung bak bineh rimba.

Dalam pelaksanaan, pada setiap kawasan kelola mukim dilakukan lembaga adat setempat.  Asnawi mencontohkan, kawasan peukan atau pasar rakyat dalam wilayah mukim dikelola haria peukan. Kawasan laot dikelola oleh Panglima Laot.  Untuk itu, masyarakat mukim harus diberi akses dan ruang pemanfaatan sebesar-besarnya atas wilayah mereka.

Keempat, dalam semua proses penataan ruang Aceh, baik perencanaan, pelaksaaan dan pemantauan, Pemerintah Aceh harus melibatkan mukim. “Pemerintahan Mukim harus mendapat informasi lengkap atas dokumen RTRW Aceh,” ucap Asnawi.  Tak hanya itu, masyarakat mukim pun harus diberi kewenangan menyatakan boleh atau tidak penggunaan wilayah kelola mereka oleh pihak luar.

Mukim merupakan salah satu bentuk kekhususan Aceh, sudah ada sejak zaman kesultanan Aceh dan terus berkembang. Mukim adalah suatu kesatuan masyarakat dalam wilayah Aceh, terbentuk melalui persekutuan beberapa gampong dengan batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Mukim bukan hanya sebagai identitas komunal masyarakat adat di Aceh, juga bagian dari struktur pemerintahan sekaligus pengelola wilayah dan pengatur kehidupan sosial kemasyarakatan.

Mukim mempunyai kewenangan mengurus harta kekayaan dan sumber pendapatan mereka.  Saat ini, keberadaan mukim diakui melalui UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Di beberapa kabupaten sudah dihasilkan qanun, seperti Qanun Kabupaten Aceh Besar No. 8 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Mukim.

Perdebatan publik atas RTRW Aceh cukup hangat diberitakan akhir-akhir ini. Pemerintah Aceh menyatakan bahwa Qanun RTRWA 2013-2033 sudah diserahkan kepada Pemerintah Pusat untuk disetujui. Mukim merasa tak dilibatkan. Begitu juga kalangan masyarakat sipil lain. Organisasi-organisasi lingkungan pun protes akan usulan RTRW Aceh, yang dinilai mengkhawatirkan karena banyak alih fungsi kawasan hutan.

Hasil Tim Kajian Tata Ruang Aceh (Tim KTRA) menemukan usulan alih fungsi kawasan hutan yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Aceh, mengancam kelestarian hutan di daerah ini. Dari analisis data terlihat, dalam usulan itu, sekitar 242.660 hektar kawasan hutan berpotensi terdegradasi dari total 341.022 hektar.  Lebih dari 100 ribuan hektar alih fungsi itu berada di hutan lindung.

Dalam laporan hasil kajian itu memperlihatkan, antara lain, hutan lindung beralih fungsi menjadi areal penggunaan lain (APL) seluas 68.594 hektar, hutan produksi menjadi APL 44.195 hektar, dan hutan lindung menjadi hutan produksi 40.913 hektar. Lalu, hutan produksi menjadi hutan produksi konversi 34.607 hektar, hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas seluas 18.547 hektar.

Kajian itu juga memperlihatkan, kawasan-kawasan hutan, termasuk hutan lindung, cagar alam sudah ada hak guna usaha dan izin-izin konsesi, baik tambang, maupun HPH. (lihat tabel). Kondisi ini menunjukkan, RTRW perubahan terindikasi “pemutihan” terhadap kawasan hutan lindung yang  telah digunakan para pengusaha. Seharusnya, ada penegakan hukum terhadap mereka bukan malah melegalkan hutan lindung melalui usulan RTRW Pemerintah Aceh.

Lalu, ada 52 usul perubahan fungsi hutan memotong koridor satwa dengan luas 37.465 hektar, 32 perubahan fungsi hutan memotong habitat gajah seluas 61.140 hektar, memotong habitat orangutan 18.357 hektar, dan memotong habitat harimau seluas 183.083 hektar. Lalu, 89 usulan perubahan fungsi hutan dalam hutan primer, dan 19 usulan perubahan di hutan sekunder.

Artikel yang diterbitkan oleh
,