Memperdagangkan Satwa Terancam Punah, Cukup 3 Bulan Bui & Denda 1 Juta Rupiah

Sidang kasus kepemilikan sembilan kulit harimau Sumatra di Pengadilan Negeri Pekanbaru berakhir antiklimaks, Senin, 8 April 2013, Suparno (61), sang terdakwa, yang meski terbukti melanggar undang-undang tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya hanya dijatuhi hukuman tiga bulan penjara dan denda 1 juta rupiah.

Keputusan itu disampaikan majelis hakim PN Pekanbaru yang dipimpin Jauhari Effendi Senin siang dan menetapkan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana sebagaimana termaktub dalam UU No. 5/1990 pasal 21 ayat (2) yakni menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati dan memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi undang-undang.

Suparno adalah warga Pekanbaru, Riau yang ditangkap pada 19 Desember 2012 lalu setelah Kepolisian Resor Kota Pekanbaru menggerebek rumahnya. Dalam penggerebekan itu didapat sembilan lembar kulit harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) utuh, dua kulit macan kumbang (Panthera pardus). Selain itu juga ada empat kepala beruang, 14 tengkorak rusa, tujuh lembar kulit rusa dan kepala kucing hutan.

Salah satu harimau yang sudah dikeringkan di Nepal. Foto: IEA

Suparno dikenal sebagai perajin kulit hewan yang biasa menerima jasa pengawetan dari sejumlah pihak termasuk BKSDA. Dalam kasus ini sendiri Suparno hanya mempertanggungjawabkan kepemilikan atas tiga kulit harimau Sumatra utuh dan dua macan kumbang serta tujuh lembar kulit rusa, empat kepala beruang, kepala kucing hutan dan 14 tengkorak rusa. Sementara delapan lembar kulit harimau merupakan titipan BKSDA yang akan dicetak (offset).

Menurut Direktur Program Sumatra Partnership Communication Forum (SPCF) Muhammad Q Rudi, proses perjalanan kasus ini penuh kejanggalan sejak penggerebekan oleh kepolisian hingga putusan vonis kemarin. Menurut dia, kejanggalan itu berupa tidak masuknya delapan lembar kulit harimau milik BKSDA dalam gugatan padahal surat-surat pengantarnya tidak dilengkapi cap stempel BKSDA dan ketidaklaziman pada penulisan nomor surat.

“Ini sidang akal-akalan saja. Semua proses persidangan dipercepat dan informasi persidangan terkesan tertutup untuk publik,” kata Rudi kepada Mongabay Indonesia usai sidang.

Suparno sendiri menerima hasil vonis sementara Jaksa Penuntut Umum Ayu Susanti justru tidak menyebut ingin mengajukan banding meski putusan ini lebih rendah dari tuntutannya yakni enam bulan kurungan penjara dan denda satu juta rupiah. Meski kasusnya dianggap lebih berat, namun vonis kepada Suparno justru lebih ringan dibandingkan vonis beberapa kasus serupa. Misalnya pada tahun 2010, seorang kurir yang membawa lima kulit harimau Sumatera dari Aceh dan tertangkap di Pekanbaru malah divonis satu tahun enam bulan penjara. Pada kasus lain, penadah satu lembar kulit harimau telah dibonis satu tahun enam bulan penjara di PN Payakumbuh, Sumatra Barat.

“Kami kecewa dengan keputusan hakim yang malah tidak membuat efek jera bagi penegakkan hukum konservasi dan perlindungan satwa langka yang hampir punah seperti harimau Sumatra. Indonesia masih sangat lemah dalam menegakkan hukum terkait konservasi alam,” kata Rudi.

Perdagangan harimau di Cina yang memakan korban ratusan harimau setiap tahunnya. Foto: IEA

Senada dengan itu, juru bicara LSM WWF Program Riau, Syamsidar mengatakan persidangan yang agendanya selalu dipercepat itu juga tidak menghadirkan saksi ahli. Padahal saksi ahli cukup penting untuk didengarkan pendapatnya terkait dengan dampak penetapan hukum kasus ini terhadap keberlanjutan lingkungan Indonesia. “Kami khawatir vonis ini membuat orang tidak takut lagi melakukan hal serupa nantinya,” kata Syamsidar.

Harimau Sumatra merupakan satwa langka dilindungi yang kini habitatnya semakin menyempit karena dikonversi menjadi perkebunan akasia dan sawit. Jumlah populasi terakhir yang dikeluarkan pemerintah Indonesia ada sekitar 400 individu yang tersebar di hutan-hutan di Sumatra. Namun tingginya angka kerusakan hutan dan kematian akibat perburuan membuatnya masuk dalam daftar merah hewan yang terancam punah versi lembaga internasional pemeringkat spesies yang terancam – IUCN.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,