East Asia Minerals Sewa Mantan Pejabat RI Untuk Mengubah Rencana Tata Ruang Pemerintah Aceh

Demi melancarkan upayanya untuk meyakinkan pemerintah Aceh dalam mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah dan mengubah status hutan lindung menjadi hutan produksi di Aceh, perusahaan asal Kanada, East Asia Minerals ternyata menyewa salah satu mantan pejabat negara yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung setelah rangkaian beberapa penyelidikan yang dilakukan.

Fadel Muhammad, si pejabat tersebut, menurut keterangan yang diperoleh dari pihak East Asia Minerals, “Disewa oleh perusahaan Kanada ini untuk memenangkan Proyek Miwah, sebuah konsesi seluas 30.000 hektar di wilayah hutan Aceh. Peran Fadel, dalam hal ini menurut pihak perusahaan adalah:  “Menyediakan bantuan yang sangat bernilai untuk memudahkan berjalannya proyek di Indonesia untuk bisa berjalan sesuai dengan waktu dan langkah yang berkelanjutan,” seperti diungkapkan oleh CEO East Asia Minerals, Edward Rochette.

Perbandingan hutan Aceh yang tersisa, proposal yang diajukan oleh pemerintah Aceh di masa pemerintahan gubernur Irwandi Yusuf (kiri) dan proposal yang diajukan di masa pemerintahan gubernur Zaini Abdullah (kanan). Sumber: Koalisi Penyelamat Hutan Aceh

Keputusan pihak perusahaan untuk menyewa Fadel memang patut dipertanyakan, mengingat sosok ini kini tengah dalam sorotan berbagai kasus korupsi di Indonesia.

“Fadel Muhammad, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, serta mantan Gubernur Gorontalo, disebut sebagai tersangka kasus korupsi dana selisih penggunaan anggaran DPRD Provinsi Gorontalo oleh Kejaksaan Agung setelah pemeriksaan yang berjalan sekian lama,” ungkap sebuah pernyataan yang dirilis oleh Koalisi Penyelamat Hutan Aceh yang menentang rencana pembukaan lahan untuk industri tersebut.

Menurut juru kampanye dari Walhi Indonesia, Dedi Ratih, keterlibatan Fadel Muhammad upaya bersama East Asia Minerals ini menunjukkan sebuah potret besarnya keterlibatan tangan-tangan asing dalam pembuatan kebijakan di Indonesia. “Rencana Tata Ruang ini dibangun dengan cara yang samasekali tidak sehat, dimana perusahaan asing telah terlibat dan menyetir kebijakan lokal,” ungkap Dedi dalam pernyataannya. “Klasifikasi ulang hutan Aceh ini jelas bukan untuk kepentingan rakyat Aceh, namun demi keuntungan eksploitasi perusahaan multinasional. Rencana ini harus dtolak sesegera mungkin.”

Perubahan dalam rencana tata ruang pemerintah Aceh. Sumber: Greenomics

Hal senada juga diungkapkan oleh seorang pakar perlindungan bentang alam yang pernah membantu pemerintah Aceh periode sebelumnya melakukan revisi untuk sektor kehutanan dan kini merupakan bagian dari koalisi tersebut. “Dalam rilis media East Asia Minerals terlihat bahwa keterlibatan mereka sangat efektif untuk mengendalikan kebijakan publik, terutama tata ruang, di Aceh. Tak hanya ini merupakan sebuah praktek pemerintahan yang tidak bersih, namun bahkan perusahaan justru bangga akan hal ini! Perencanaan tata ruang seharusnya dilakukan berdasar analisis ilmiah dan kesesuaian lahan serta mempertimbangkan resiko yang akan diterima secara lingkungan, bukan berdasar keuntungan yang akan diperoleh perusahaan asing!”

Melalui pengajuan rencana tata ruang yang baru oleh gubernur Aceh, sejumlah besar hutan lindung akan berubah menjadi arena penebangan, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan terbuka. East Asia Minerals berharap bahwa lewat proses klasifikasi ulang ini mereka berharap bisa secara penuh melakukan eksploitasi area hutan dan memperluas pengeboran, serta mengubah area ini yang sebelumnya menjadi area lindung.”

Pandangan yang agak berbeda disampaikan oleh Elfian Effendi dari Greenomics. Menurutnya Blok Miwah ini memang tidak diikutkan dalam rencana tata ruang final yang diajukan kepada Kementerian Kehutanan, “Dalam peta terlihat bahwa proposal awal yang diajukan oleh gubernur Aceh, di dalamnya termasuk Blok Miwah,” ungkap Elfian kepada mongabay.com. “Namun dalam proposal final kepada Kementerian Kehutanan, gubernur sudah tidak memasukkan Blok Miwah.”

Situs penambangan milik East Asia Minerals, berdasarkan dari laporan keuangan mereka tahun 2010 silam. Sumber: East Asia Minerals

Rencana perubahan tata ruang ini dinilai berbahaya oleh pihak koalisi Penyelamat Hutan Aceh ini akan membahayakan manusia dan keragamanhayati di Aceh. “Ini adalah rencana yang berhaya, ” ungkap Graham Usher. “Rakyat Aceh sudah merasakan bencana tanah longsor yang sudah tak terhitung di masa lalu akibat penggundulan hutan dan tata ruang yang sembrono. Keputusan terhadap tata ruang ini akan memakan korban lebih banyak di masamendatang, serta mendatangkan kerugian ekonomi lebih banyak bagi masyarakat lokal.”

Hal ini juga disampaikan oleh Direktur Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), Ian Singleton yang menyatakan bahwa lokasi Taman Nasional Leuser adalah satu-satunya tempat istimewa yang tersisa di Aceh yang berisi berbagai satwa dilindungi. “Wilayah Ekosistem Leuser adalah satu-satunya tempat di Bumi dimana orangutan, Gajah, harimau dan badak Sumatera bisa ditemui di wilayah yang sama. Dan lokasi ini menjadi harapan terakhir dari populasi keempat spesies dilindungi yang semakin terancam punah tersebut,” ungkap Ian. “Jika rencana tata ruang ini dilanjutkan, maka masa depan lokasi ini akan suram.”

East Asia Minerals sendiri seperti disampaikan sebelumnya, berupaya akan melakukan tanggung jawab sosial yang baik terkait dengan berbagai isu lingkungan ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,