GAPKI Lebih Pilih Pertukaran Lahan Untuk Tekan Deforestasi Ketimbang Moratorium

Pihak asosiasi perusahaan kelapa sawit jauh lebih tertarik untuk menekan laju emisi karbon dan deforestasi lewat mekanisme pertukaran lahan dibanding mendukung lewat mekanisme moratorium kehutanan. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono dan Direktur Eksekutif GAPKI Fadhil Hasan dalam sebuah wawancara bulan lalu.

Keduanya menyatakan bahwa asosiasi pengusaha kelapa sawit tersebut lebih mendukung  upaya menekan deforestasi dengan pertukaran lahan yang dinilai merupakan high carbon stock (HCS) dan high conservation value forest (HCVF) di area yang termasuk dalam kategori Area Penggunaan Lain (APL) dengan area non-hutan yang setara dan berada di bawah penguasaan Kementerian Kehutanan RI. Menurut keduanya, sekitar 40 juta hektar hutan yang berada di bawah penguasaan Kementerian Kehutanan RI terdiri dari hutan yang diubah menjadi perkebunan dan hutan yang terdegradasi.

“GAPKI tidak mendukung moratorium kehutanan karena hal ini akan membuat hutan yang berkategori APL tidak bisa digunakan untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit,” ungkap Joko Supriyono kepada Mongabay.com. “Namun GAPKI lebih memilih pertukaran lahan dimana lahan berkategori APL yang mengandung karbon yang tinggi ditukar dengan hutan yang sudah terdegradasi di hutan yang berstatus milik negara.”

Di bawah undang-undang kehutanan yang ada saat ini, hutan yang terdegradasi dan wilayah non-hutan di wilayah hutan negara tidak bisa digunakan untuk penggunaan non-kehutanan, kecuali pihak Kementerian Kehutanan melepaskan hak atas hutan tersebut.

Kedua petinggi GAPKI tersebut juga menyatakan bahwa untuk memenuhi target produksi kelapa sawit dari pemerintah sebanyak 40 juta ton CPO di tahun 2020, pihak industri kelapa sawit Indonesia harus meningkatkan produksi lewat perkebunan yang ada -terutama mengoptimalkan area-area perkebunan yang dimiliki petani kecil- serta menambah jumlah luasan perkebunan sawit dari yang ada saat ini sejumlah 9 juta hektar. Anggota GAPKI yang berjumlah sekitar 570 perusahaan, saat ini sudah memiliki jutaan hektar perkebunan sawit di Indonesia.

Mekanisme pertukaran lahan sendiri sebenarnya sudah pernah diintroduksi oleh pihak pengusaha kelapa sawit di Indonesia, namun perkembangannya sangat lambat akibat kompleksitas dan tumpang tindihnya birokrasi, ketidakjelasan status tanah dan peraturan yang membingungkan. Organisasi World Resources Institute (WRI) yang berbasis di Amerika Serikat pernah berupaya memetakan wilayah non-hutan untuk membuka upaya perluasan. Menurut hasil pemetaan tersebut, diperkirakan ada sekitar 50 juta hektar lahan yang bisa digunakan untuk perkebunan tanpa harus menebang hutan yang menyimpan kandungan karbon yang tinggi.

Pihak perkebunan kelapa sawit sendiri kerap kali lebih sering mengincar lahan berhutan karena ternyata lebih mudah mendapat perizinan untuk mengelolanya, dibanding hutan yang sudah terdegradasi, dan hal ini menimbulkan masalah baru dengan masyarakat adat setempat. Dalam beberapa kasus, kayu yang ditebang saat pembukaan lahan dapat menghasilkan pendapatan awal untuk membantu meringankan biaya membangun perkebunan. Namun penebangan hutan ini mengundang kritik dari berbagai organisasi lingkungan, yang berargumen bahwa konversi hutan dan lahan merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca dan mengancam satwa liar dan dilindungi seperti orangutan, gajah dan harimau.

Baik Joko dan Fadhil merasa bahwa seringkali kritik yang disampaikan kepada pihak perusahaan kelapa sawit tidak adil dan tidak tepat konteksnya.

“Baik permintaan minyak maupun lemak terus bertambah sekitar 5 hingga 6 juta ton setiap tahun secara global, dan kelapa sawit merupakan komoditi paling banyak menghasilkan keduanya di lahan yang lebih sempit dibandingkan tanaman lainnya. Misalnya minyak jagung dan canola.”

Menurut data dari FAO, Indonesia dan Malaysia adalah produsen terbesar kelapa sawit terbesar di dunia. Kedua negara ini memiliki total produksi gabungan sebanyak 83% dari pasar global secara keseluruhan. Sumber FAO

Dalam pendangan keduanya, konversi hutan diluar hutan negara tak bisa dianggap sebagai deforestasi karena hal ini dinilai legal, atau penebangan yang direncanakan. Kendati demikian, keduanya juga mengakui adanya pemain-pemain yang nakal di dalam industri kelapa sawit ini.

“Mayoritas pebisnis kelapa sawit sudah mengadopsi mekanisme produksi yang berkelanjutan,” ungkap Fadhil. “dalam beberapa kasus memang ada pelanggaran, namun untuk menggeneralisasi bahwa semua perusahaan kelapa sawit adalah jelek dan merusak lingkungan itu tidak berdasar.”

Terkait dengan akan munculnya pemain baru dari Amerika Latin seperti Brasil, baik Joko maupun Fadhil tidak merasa bahwa hal itu sebagai ancaman bagi kelapa sawit Indonesia. Saat ini Brasil tengah mengalihfungsikan lahan terdegradasi bekas peternakan untuk perkebunan kelapa sawit di tahun 2020, jika hal ini berhasil, mereka akan mampu menghasilkan sekitar 30% produksi CPO dunia.

Ancaman lain dari minyak sintetis seperti yang dibuat dari berbagai bahan alternatif, juga dinilai tidak mengancam keberadaan kelapa sawit secara signifikan. “Minyak lain mungkin cukup populer di masa lalu,” ungkap Fadhil. “Kelebihan minyak kelapa sawit adalah produktivitasnya yang tinggi, sangat menguntungkan dan jaringan penyuplainya terintegrasi dari petani kecil hingga perusahana besar.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,