,

Foto: Ogoh-Ogoh Hari Bumi Tutup Rangkaian Acara Walhi di Surabaya

Berbagai tuntutan penyelesaian kasus-kasus kerusakan lingungan dan konflik dengan masyarakat lantang disuarakan massa dalam aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Selamatkan Bumi dalam memperingati Hari Bumi yang jatuh Senin, 22 April 2013. Ogoh-ogoh berbentuk bumi di gotong oleh 10 orang yang tubuhnya dibaluti lumpur. Berbagai atribut aksi yang bertuliskan berbagai tuntutan juga dibawa dalam long march dari Monumen Kapal Selam hingga gedung Grahadi Surabaya. Karnaval aksi ini, sekaligus merupakan penutup rangkaian acara yang digelar oleh Wahana Lingkungan Hidup yang bertema Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup yang digelar sejak 18 April 2013 silam.

Aksi ogoh-ogoh berdiameter  berkisar 3 meter diselingi aksi teatrikal, sementara di gedung Grahadi massa aksi menyuarakan dan menghimbau kepada masyarakat agar memilih pemimpin yang peduli akan kelestarian lingkungan.  Massa aksi juga menyuarakan penolakannya terhadap pertemuan APEC yang baru saja berakhir di Surabaya dan WTO, menurut Ony Mahardika Dierktur Eksekutif Walhi Jawa Timur mengatakan, APEC dan WTO hanya mengeruk kekayaan alam Indonesia, dan akan mengancam kerusakan lingkungan negeri ini. “Ekploitasi terhadap alam akan berdampak pada kehidupan manusia dan alam itu sendiri. Apalagi masyarakat kita sangat bergentung dengan alam,” kata Ony.

Massa juga menuntut penyelesaian berbagai kasus lingkungan yang masih terjadi saat ini. Foto: Tommy Apriando
Ketahanan pangan menjadi salah satu isu yang disampaikan massa dalam aksinya. Foto: Tommy Apriando

Kampanye di Yogyakarta

Hal serupa juga digelar oleh Sahabat Walhi di kota Yogyakarta, yang menyerukan perbaikan kondisi lingkungan di Yogyakarta. Mereka menggelar aksi di Kilometer 0 dengan berbagai spanduk, dan tokoh botol yang menyerukan kebiasaan hidup hijau dengan membawa botol minuman sendiri.

Seruan kampanye mencintai bumi di Kilometer 0, oleh Sahabat Walhi Yogyakarta. Foto: Aji Wihardandi
Kampanye penggunaan botol minum secara ramah lingkungan. Foto: Aji Wihardandi
Yogyakarta membutuhkan pohon dan bukan hutan beton. Foto: Aji Wihardandi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,