Menteri Kehutanan Dukung Perpanjangan Moratorium

Kemenhut juga membantah isu pemberian kawasan hutan lindung di Aceh untuk lokasi pertambangan emas  East Asia Minerals.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (23 April 2013) menyatakan bahwa Kemenhut mendukung perpanjangan moratorium.  Ia menyatakan bahwa moratorium tidak menghambat investasi yang terjadi di sektor kehutanan.  Pertumbuhan ekonomi Indonesia justru meningkat selama fase moratorium berlangsung yaitu 6,3% pada tahun 2012 lalu. Demikian Menhut dalam sambutan tertulisnya di Acara Seminar Nasional Refleksi Dua Tahun Moratorium Hutan Indonesia di Jakarta.

Menhut juga mengklaim bahwa capaian penyerapan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan lahan gambut hingga akhir tahun 2012 telah mencapai 489.000 juta ton CO2e atau setara dengan 16,57% dari target 26% (767.000 juta ton CO2e) yang ingin dicapai pada tahun 2020, sesuai janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di forum internasional.

Kebijakan Moratorium atau penundaan pemberian ijin baru di hutan alam primer dan lahan gambut difokuskan agar kawasan hutan tidak lagi dieksploitasi.  Selanjutnya, investasi sektor kehutanan akan diarahkan kepada di lahan-lahan hutan yang kritis dan terdegradasi.

Industri yang akan dikembangkan di kawasan hutan yang rusak adalah ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam, hutan tanaman, industri perkayuan, perkebunan dan pertambangan.  Sedangkan di hutan alam primer yang di moratorium investasi akan diarahkan kepada jasa lingkungan hutan seperti ekowisata, jasa tata air, jasa keanekaragaman hayati, dan jasa penyimpanan dan penyerapan karbon.

Moratorium Belum Efektif

Yuyun Indradi, juru kampanye hutan Greenpeace menyatakan bahwa moratorium selama ini belum berjalan efektif karena masih terdapat dampak moratorium  bagi hak tenurial masyarakat adat.  “Masih terjadi ketidakpastian, ketimpangan dan tumpang tindih klaim penguasaan kawasan hutan yang menghambat pencapaian dan keadilan dalam pengelolaan hutan.  Kami mendukung perpanjangan moratorium yang bukan berdasarkan batas waktu, tetapi berdasarkan capaian,” ujarnya.

Selanjutnya Yuyun mengingatkan agar reformasi kebijakan tenurial  tanah dan hutan harus mengacu kepada perbaikan kebijakan dan percepatan proses pengukuhan kawasan hutan, penyelesaian konflik dan perluasan ruang-ruang kelola rakyat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan.

Pandangan berbeda disampaikan oleh Tungkot Sipayung, Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), ia menyatakan bahwa moratorium tidak perlu dilanjutkan.  Menurutnya perkebunaan kelapa sawit dan hutan dapat bersinergi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

“Terdapat aturan yang lebih tinggi dari sekedar Inpres yang dikeluarkan oleh Presiden yaitu Undang-Undang.  Sudah jelas bahwa di dalam UU no 41/1999 tentang Kehutanan, hutan primer yang ada di Indonesia termasuk hutan lindung, hutan konservasi, harus dipertahankan dan tidak boleh di konversi, jadi tidak perlu ada lagi tambahan aturan dengan moratorium setingkat Inpres.”

Tungkot sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Menhut, jika hutan rusak dan kawasan terdegradasi di luar hutan lindung dan hutan konservasi dapat digunakan untuk kegiatan restorasi ekosistem, termasuk didalamnya untuk sektor perkebunaan.

Hadi Daryanto, Sekjen Kemenhut menyatakan bahwa moratorium merupakan langkah awal untuk meningkatkan kerangka ketatapemerintahan (governance framework) di sektor kehutanan dan agraria. “Hutan itu bersifat common property, negara hadir untuk mengaturnya.  Hutan yang rusak akan dikelola, yang bagus harus dipertahankan.  Dengan perpanjangan moratorium, kita beyond dari sekedar REDD+, moratorium bertujuan untuk (mempertahankan) biodiversty.”

Revisi RTRWP Aceh

Dalam menanggapi revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh yang saat ini sedang marak, Nabiha Sahab, Koordinator REDD+ Aceh Initiative di Satgas REDD+, menyatakan bila penataan ruang, penyusunan dan penetapan RTRW Propinsi merupakan kewenangan propinsi sesuai dengan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang.

Namun, Nabila mengingatkan pula bahwa Pemprop Aceh dan DPRA hendaknya berpedoman dan mengacu pada PP No. 26/2008 tentang RTRWN yang antara lain telah menetapkan beberapa wilayah sebagai Kawasan Strategis Nasional dan Kawasan Lindung Nasional.

Pemerintah melalui PP 26/2008  telah menetapkan beberapa wilayah sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) antara lain Kawasan Ekosistem Leuser, dan beberapa Kawasan Lindung Nasional (KLN) yang mencakup diantaranya Suaka Margasatwa Singkil, Cagar Alam Hutan Pinus Jantho, Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh.

Menyikapi kesimpangsiuran berita tentang data revisi yang diajukan oleh Pemprop Aceh, Sekjen Kemenhut Hadi Daryanto menyatakan tidak benar jika Gubernur Aceh mengajukan angka perubahan kawasan hutan menjadi non kehutanan (area penggunaan lain/APL) hingga 1,2 juta hektar seperti yang dihebohkan media selama ini.

“Revisi usulan pelepasan 119.000 ha kawasan hutan untuk APL,  sebaliknya dari APL menjadi kawasan adalah 39.000 ha.  Jadi yang diusulkan diubah adalah sekitar 80.000 ha saja, kecil sekali untuk satu propinsi.  Dalam sepuluh-dua puluh tahun mereka akan berkembang.  Sekarang semua sedang di proses, kalau semua proses sudah lengkap, pusat tinggal tetapkan, ” demikian Daryanto

Daryanto juga membantah pernyataan East Asia Minerals di media (baca berita di sini) terkait dengan ijin pertambangan yang akan disediakan oleh pemerintah di Aceh.

“Tidak ada East Asia Minerals itu minta lahan. Meminta kepada Menteri Kehutanan juga tidak pernah. Permohonan juga tidak ada itu. Faktanya adalah tidak. Pemerintah tidak akan memproses ijin untuk (seluas) 1,2 juta hektar.  Tidak ada permintaan itu, kalau ada saya pasti tahu, karena semuanya juga akan lewat meja saya.”

kronologis RTRW aceh

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,