, ,

Kasus PLTU Batang: Intimidasi Berlanjut, Masyarakat Tuntut Penyelesaian ke Menko Ekonomi

“Batubara Mematikan.” “Coal Kills.”  Puluhan ‘nisan-nisan’ ini berjejer bak di pemakaman umum. Ia menggambarkan ancaman kematian karena kemiskinan dan penderitaan  yang bakal mendera warga Batang, kala proyek pembangunan PLTU batubara terealisasi. Spanduk lebar pun terbentang bertuliskan,“MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Penghancuran Ekologi Indonesia.”

Aksi sekitar 500 an orang ini kali kesekian bagi masyarakat Batang, mencari keadilan dan kejelasan nasib mereka. Saat ini, proyek PLTU Batang, sebagai salah satu bagian MP3EI sudah mulai pembebasan lahan. Teror dan intimidasi disertai penangkapan warga yang enggan menjual lahan dan protes PLTU sampai saat ini masih berlangsung.

“Satu rumah warga itu bisa sampai lima kali sehari didatangi diminta menjual tanah,” kata Rayuti, masyarakat Batang saat menyampaikan keluhan di depan Lucky Eko Wuryanto, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Selasa(30/4/13).

Mereka mendatangi warga beramai-ramai, ada dari PT Bhimasena Power Indonesia (PT BPI), TNI dan Polri. “Warga jadi takut dengan intimidasi ini.”  Saat sebagian warga aksi di Jakarta, di Batang, warga terus didatangi ‘para penawar’.

Untuk itu, mereka ke Jakarta, kali ini ingin bertemu Hatta Rajasa dan meminta pertanggungjawaban atas PLTU Batang. Lucky  hadir mewakili sang Menko, Hatta Rajasa. Menurut Lucky, hari itu Hatta tengah bersama Presiden SBY menyampaikan presentasi dalam satu acara hingga tak bisa menemui masyarakat Batang yang aksi ke sana. “Kami pro pembangunan, asal pembangunan tak rugikan masyarakat dan lingkungan,” kata Rayuti.

Ancaman lain juga pernah dia terima. Kala itu, Rayuti, mewakili warga mengirim somasi kepada Kelurahan. Warga protes karena Balai Desa dijadikan posko PT BPI. “Kami keberatan dan somasi. Kami langsung diancam.” “Awas kalau terjadi apa-apa kamu yang ditangkap.” Begitu ancaman dari Dandim. Padahal, katanya, warga hanya memberikan somasi untuk meminta kejelasan kepada kelurahan pemakaian Balai Desa, sebagai posko perusahaan.

Ancaman dan intimidasi bahkan kriminalisasi dialami Salim. Salim pun menceritakan kisah yang sempat ditangkap karena dituduh menyandera warga Jepang.  Padahal, warga Jepang itu malah diamankan ke rumah dia. Dalam persidangan Salim dinyatakan bebas.

“Saya kenyang ancaman dan intimidasi baik langsung dan tak langsung.”  Dia juga heran, kekerasan malah dialami warga padahal mereka tak arogan. “Tak ada masyarakat brutal seperti digembar-gemborkan.”

Sebelum rencana pembangunan PLTU ini, warga di sana  hidup rukun. “Sejak ada PLUT, jangan tetangga dengan tetangga, anak dan bapak, mertua dan menanti clash.”

Riyana, seorang ibu rumah tangga dari Batang, bercerita sambil sesengukan. Dia sedih dengan kehadiran PLTU ini, antar keluarga pecah, ada pro dan kontra. Mereka juga diejek-ejek yang pro PLTU sebagai warga yang tak bisa berdampingan dengan pemerintah. “Padahal kami cari makan sendiri, kami hanya mempertahankan tanah kami.”

Kesedihan dia bertambah, kala ejek-ejekan juga menjalar ke anak-anak. “Anak saya tak mau ke sekolah karena diejek-ejek juga (karena tak mau menjual lahan ke perusahaan).”

Tia dari masyarakat nelayan Roban mengungkapkan,   warga banyak menggantungkan hidup dari laut. “Mengapa harus dicemarkan oleh pembangunan PLTU?” Hasil laut dari Roban, tak hanya dimanfaatkan masyarakat sekitar tetapi banyak daerah di Jateng sampai Jawa Timur (Jatim).

Kasmir, dari Desa Karanggeneng, heran PLTU dibangun di kawasan desa mereka. Padahal, lahan desa begitu subur dan produktif, panen setahun sampai tiga kali. “Ini proyek jahat. Saya merasakan dampak langsung dipenjara lima bulan empat hari  mesti tak terbukti salah apa,“ kata M Ali. “Ini agar masyarakat takut dan mau menjual lahannya.”

Senada diungkapkan Karman dari Ujunegoro. Menurut dia, tanah di desa itu subur dan laut juga masuk kawasan konservasi. “Warga Ujunegoro, Karanggeneng dan Ponowareng, hanya dua kilometer dari bibir laut. Desa lain tujuh kilometer. Ini bisa kena dampak,” ujar dia.

Perusahaan didampingi polisi dan tentara mendatangi warga agar menjual lahan. “Awalnya baik-baik. Dua kali kami maklum. Tiga kali rumah dijaga dari depan belakang, samping kiri, samping kanan.” “Ada yang jual tanah, itu karena ketakutan dibedil. Sampai 10 kali datang. Itu tidak peri kemanusiaan.”

Lucky mengaku memahami apa yang dirasakan warga. “Saya simpati apa yang dirasakan. Saya pahami penuh selaku pejabat yang diminta wakili, saya akan laporkan,” katanya.

Menurut dia, rencana pembangunan PLTU ini sudah melalui proses panjang dan kini menjalankan yang sudah digariskan. “Kami yang di sini tak bisa peka menangkap apa yang terjadi di lapangan.” “Tatapi, dari Menko tak ada niatan masalah jadi seperti ini.”

Lucky membenarkan, ada kebutuhan pembangunan tetapi tak ada niatan menyengsarakan masyarakat. “Simpangan-simpangan itu terjadi.”

Namun, dia tak bisa memberikan keputusan proyek ini lanjut atau dihentikan atau bagaimana. “Saya sampaikan, saya tak bisa putuskan. Saat ini Menko, sedang bersama Presiden dan presentasi jadi tak bisa berhubungan untuk minta arahan. Tapi setelah ini saya akan langsung menuju ke tempat beliau.”

Setelah pertemuan di dalam dengan perwakilan masyarakat, Lucky pun diminta keluar menemui warga. Awalnya dia ragu. Warga hanya ingin mendengar langsung penyampaian ketidakhadiran Menko Ekonomi. Setelah diyakinkan aman, Lucky pun menemui warga. Dari atas mobil bak terbuka, Lucky meminta warga bersabar. Dia akan menyampaikan semua keberatan warga. “Kami harap ada langkah dilakukan. Kami akan dengarkan semua pihak, baik institusi maupun masyarakat.” Dia meminta, warga kembali ke desa sambil menunggu penyelesaikan kasus ini.

Rencana pembangunan PLTU ini masuk beberapa desa, yakni, Desa Karanggeneng dan Ujungnegoro, dan Ponowareng, Kabupaten Batang, Jateng. Sekitar 1.000 hektar lahan akan habis tersedot untuk PLTU yang diklaim terbesar di Asia  Tenggara itu.  Warga terus berjuang didampingi LBH Semarang, YLBHI  dan Greenpeace.

Masyarakat Batang hingga kini terus mengalami intimidasi karena selalu didatangi perusahaan ditemani TNI dan Polri, agar menjual lahan mereka untuk pembangunan PLTU. Warga menolak. Ada juga yang menjual lahan, karena takut. Foto: Sapariah Saturi
Masyarakat Batang, terus menolak pembangunan PLTU yang mengancam kehidupan tani dan nelayan. Mereka aksi, dari daerah hingga ibu kota Jakarta. Foto: Sapariah Saturi
Aksi sekitra 500 an masyarakat Batang di depan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa(31/4/13). Foto: Sapariah Saturi
Lucky Eko Wuryanto, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi saat berbicara di hadapan warga yang aksi. Foto: Sapariah Saturi
Aksi teatrikal warga Batang, yang memperlihatkan satu orang meninggal dunia dampak kelaparan karena lahan tani tak ada, lautpun tercemar jika PLTU diwujudkan. Foto: Sapariah Saturi
PLTU Batang digambarkan bak hantu yang akan merenggut kehidupan tenang warga. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,