,

Indeks Tata Kelola Hutan dan REDD+ di Indonesia Buruk

Tata kelola hutan, lahan dan REDD+ di Indonesia masih terbilang buruk. Kondisi ini, tercermin dari hasil indeks tata kelola hutan, lahan dan REDD+ 2012, hanya meraih 2,33 poin jauh di bawah nilai tertinggi lima. Nilai ini berasal dari rata-rata keseluruhan indeks di tingkat Pusat sebesar 2,78 dan rata-rata di 10 provinsi yang memiliki  hutan terluas sebesar 2,38. Laporan setebal 249 halaman ini dibuat UNDP dan UN-REDD Programme.

Nilai indeks pada masing-masing tingkatan seperti pusat, provinsi dan kabupaten ini merupakan nilai komposif dari 117 indikator dan enam isu tata kelola hutan dan REDD+. Isu ini lalu dikelompokkan dalam tiga komponen tata kelola yakni, hukum dan kebijakan, kapasitas para aktor dan kinerja masing-masing aktor. Aktor ini baik pemerintah, masyarakat sipil, masyarakat adat dan lokal, perempuan, dan masyarakat bisnis.

Dari provinsi yang dinilai, Aceh menyandang tiga kriteria terendah, yakni, kapasitas pemerintah (1,8), kapasitas bisnis (1,24) dan kinerja (1,9). Disusul masing-masing: Sumatera Selatan dengan kapasitas masyarakat (1,37),  dan tiga daerah masing-masing lemah di hukum dan kebijakan adalah Riau (1,89), Kalimantan Timur (1,98) dan Papua Barat (1,99).

Tidak hanya indeks tata kelola berdasarkan komponen.  Laporan ini juga menyajikan indeks berdasarkan prinsip tata kelola hutan. Hasilnya sama rendah, 2,35. Skor ini berdasarkan nilai agregat pusat 2,71, lalu provinsi 2,36 dan kabupaten 1,98.

Beathe Trankmann, Direktur UNDP Indonesia mengatakan, laporan ini dibuat dengan metode partisipasif, melibatkan berbagai komponen organisasi masyarakat sipil seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kemitraan serta para ahli maupun pakar kehutanan. Para penulis laporan ini antara lain Hariadi Kartodihardjo, Abdon Nababan, Myrna Safitri, dan Mas Achmad Santosa.

Beathe mengungkapkan, data yang terangkum dalam laporan indeks ini penting bagi penilaian hutan di berbagai daerah. “Ke depan, perlu memprioritaskan perhatian antara lain pada konflik-konflik lahan, meningkatkan penegakan hukum di sektor kehutanan dan pengawasan,” katanya dalam acara peluncuran laporan di Jakarta, Senin(6/5/13).

Dari hasil indeks ini, UNDP merekomendasikan lima aspek penting.Pertama, penguatan kinerja untuk peningkatan legalitas dan legitimasi status kawasan hutan negara melalui tata kelola hutan, lahan dan REDD+.

Kedua, penguatan kinerja untuk pemanfaatan hak atas sumber daya hutan dan penurunan jumlah konflik kehutanan.Ketiga,penguatan kinerja untuk menghentikan biaya tinggi dan suap dalam pengurusan izin kehutanan.

Keempat, peningkatan penegakan hukum kehutanan.Terakhir,penguatan kinerja guna mewujudkan infrastruktur REDD+ yang menerapkan prinsip-prinsip tata kelola.

Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan (Menhut) mengungkapkan, dengan skor 2,33 ini perlu kerja keras untuk memperbaiki. “Memang tak mudah, termasuk saya, untuk pahami masalah kehutanan ini.”  “Kita akan arahkan kebijakan untuk memperbaiki indeks ini,” katanya, yang hadir malam itu.

Menhut malam itu sempat curhat karena begitu banyak pandangan negatif terhadap Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Padahal, kadang tuduhan datang karena kurang memahami masalah. Kemenhut, katanya, terbuka kepada siapa saja.

Dalam waktu dekat ini, Kemenhut dan KPK akan ada nota kesepakaham (memorandum of understanding/ MoU). “Kemenhut akan menjadipilot projectpenegakan hukum. Jadi, nanti setiap hari akan ada dua petugas KPK di Kemenhut.”

Kuntoro Mangkusobroto, Kepala UKP4 dan Satgas REDD+ mengatakan,  indeks ini cerminan tata kelola kehutanan dan tanah di Indonesia. “Laporan yang berbunga-bunga dan basa basi tak lagi relevan,” katanya.

Pendepatan yang dipakai pun penilaian partisipatif. Pemerintah,  tak diharapkan lagi melakukan ‘saya tahu semua.’ “Masyarakat ingin diajak. Pendekatan ini tak hanya beri kesempatan semua pemangku kepentingan kasih input, danstakeholdersebagai pemilik hasil merasadiuwongke(dihargai).  Jadi saya berharap mereka aktif memantau agar rekomendasi ini bisa tindaklanjuti.

Kuntoro berharap,  laporan ini bisa dilakukan setiap tahun, atau paling tidak dua tahun sekali.  “Ini awal bagaimana kita lakukan potretan-potretan selama dua tahun atau tiga tahun. Jadi, kita bisa lacak kemajuan dan kemunduran.”

Dia berharap, masing-masing daerah menjadikan laporan ini rujukan yang bermanfaat hingga menjadi acuan perbaikan tata kelola hutan di daerah. “Hingga mampu mereduksi kerusakan hutan dan mensejahterakan masyarakat.”

Dari indeks itu terlihat skor masih rendah di level daerah—yang menguasai 85 persen kawasan hutan. Jadi, berbagai macam perubahan dari 85 persen itu merupakan tanggung jawab daerah.  Untuk itu, Kuntoro meminta hasil ini didiskusikan dengan pimpinan daerah.  “Perlu bertemu gubernur, bupati dan walikota karena mereka punya kewenangan atas 85 persen yang bertangung jawab (atas) perubahan kawasan hutan dan tanah,” ujar dia.

Pemerintah daerah, katanya, perlu dirangkul guna percepatan tata kelola di daerah, termasuk dalam menyusun rencana aksi REDD+.

Jika ingin melihat laporan, silakan buka di sini

indeks
Indeks tata kelola hutan dan REDD+ secara nasional berdasarkan prinsip. Grafis: UNDP
Indeks skor
Grafis: UNDP
Lokasi Penelitian
Lokasi yang dilakukan penilaian (Participatory Governance Assessment/PGA). Grafis: UNDP
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,