,

Banjir Rendam Tiga Desa Sekitar Konsesi Wilmar Grup di Kubu Raya

Sedikitnya tiga desa di sekitar konsesi PT Bumi Pratama Khatulistiwa (Wilmar Group) di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat (Kalbar), dilanda banjir. Air mulai menggenangi permukiman warga di tiga desa sejak 4 Mei lalu dengan debit air kian meningkat.

Ketiga desa ini adalah Desa Sungai Enau (Kecamatan Kuala Mandor B), Desa Mega Timur dan Desa Sungai Malaya, masing-masing Kecamatan Ambawang. Bahkan, pada Selasa (7/5) sore, ketinggian air di Desa Malaya mencapai rata-rata 60 centimeter hingga satu meter dari permukaan tanah. Air sudah masuk ke rumah-rumah penduduk.

Sebagian warga memilih mengungsi ke rumah kerabat atau keluarga di tempat aman. Namun, tak sedikit bertahan di kediaman sambil menjaga barang dan hewan peliharaan. Mereka yang tetap bertahan berusaha menyiasati genangan air dengan membangun panggung di dalam rumah, sebagai tempat istirahat dan mengamankan barang-barang elektronik.

Amir Yanto (34), warga Kampung Parit Na’im, Desa Sungai Malaya, mengatakan, sejumlah dusun di desa itu sudah menjadi bulan-bulanan banjir. “Dari Parit Na’im, Parit Pangeran, Parit Sukamaju, hingga Parit Arang. Semua sudah jadi langganan banjir,” katanya ketika dijumpai, Selasa (7/5/13).

Sehari-hari, ayah dua anak ini pedagang. Dia juga memiliki kebun karet yang tak lagi bisa ditoreh akibat genangan air. Sudah sebulan para petani karet di Desa Malaya, tak bisa menoreh. Warga lebih berkonsentrasi memikirkan nasib keluarga dari ancaman banjir.

“Kemarin saya sudah pindah ke kios ini. Rumah di belakang kios sudah karam (tergenang). Maka saya memilih berangkut ke kios dan memindahkan barang-barang elektronik ke sini. Kios kecil ini sengaja saya bangun lebih tinggi dari rumah. Di sinilah kami tidur dan masak.”

Banjir, katanya, sering datang setiap tahun di desa berpenduduk sekitar 1.000 keluarga atau 3.000 jiwa ini. Jika curah hujan tinggi, Sungai Malaya akan meluap dan meluber ke parit-parit. Banjir seperti itu biasa terjadi dan tidak berlangsung lama.

“Sepuluh tahun pasca PT BPK beroperasi pada 1996, banjir besar pertama datang. Kalau tak salah 2007. Saat itu, kami mengungsi karena ketinggian air di dalam rumah sudah setengah meter. Padahal, ketinggian rumah dari permukaan tanah sudah satu meter. Semua rumah penduduk karam saat itu,” ucap Amir.

Dia memerkirakan, bencana itu datang lantaran hutan di sekitar desa kian menipis akibat aktivitas PT BPK. Lalu, banjir besar berturut-turut datang pada 2009, 2012, dan 2013. Bahkan, 2013, banjir sudah dua kali dan membuat warga cemas.

Cerita sama datang dari Abdul Hamid (25), warga Parit Nanas Dalam, Kelurahan Siantan Hulu, Kota Pontianak. Warga kota yang berbatasan langsung dengan Desa Sungai Malaya ini juga tertimpa nasib sama. Banjir turut menggenangi kediaman dia selama empat hari terakhir. “Saya dan keluarga tetap bertahan sambil menyiasati dengan membuat panggung di dalam rumah.”

Begitu pula dengan Muhlis (33). Warga RT 07 RW 22 Kelurahan Siantan Hulu ini sudah mengungsi sejak air mulai menggenangi kediamannya. “Saya kasihan dengan anak istri. Apalagi anak saya baru berumur 15 hari. Saya ungsikan ke rumah mertua. Biar saya sendiri yang jaga rumah.”

Daya Dukung Lingkungan Lemah

Sejumlah pihak menilai, banjir yang menimpa tiga desa di sekitar konsesi PT BPK akibat daya dukung lingkungan hidup kian melemah. Pasca-operasi perkebunan sawit milik Wilmar Group itu, banjir besar datang dan menggenangi desa-desa sekitar.

Supatli, warga Kampung Parit Ampening, Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B mengungkapkan, ada seratusan keluarga selalu tertimpa musibah banjir di kampungnya. Bencana itu sejak 10 tahun terakhir.

“Tahun 1999, BPK pernah membangun bendungan di ujung kampung. Bendungan itu berfungsi menahan debit air dari perkebunan agar tidak langsung tumpah ke permukiman. Namun, sekitar 2009, bendungan itu tidak berfungsi lagi.”

Pada 2012,  banjir besar mulai menerjang Parit Ampening. Semua mengungsi. Warga menggunakan sampan sampai ke perusahaan. “Nah, sekarang tanda-tanda banjir besar itu sudah datang. Kalau curah hujan tetap tinggi, air pasti menggenangi rumah penduduk.”

Sekretaris Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalbar, Agus Sutomo menilai, banjir di Desa Sungai Malaya, Mega Timur, dan Sungai Enau, itu sesungguhnya cerita lama. “Banjir besar itu mulai datang sejak kawasan ini dibuka untuk perkebunan sawit skala besar. Ditambah lagi bagian hulu sungai mengalami nasib serupa.”

Sayangnya, kata Sutomo, kejadian seperti ini selalu dianggap sebagian pihak sebagai bencana alam biasa. Tidak pernah ada upaya meninjau kembali Amdal dan Andal perusahaan pemegang konsesi. “Seyogyanya, semua pihak, baik pemerintah maupun perusahaan harus berupaya keras mencari akar persoalan ketika muncul fenomena alam seperti ini.”

Perusahaan, harus introspeksi dan segera membenahi manajemen tata kelola perusahaan. Begitu pula BLHD harus mengevaluasi Amdal/Andal yang sudah diterbitkan. “Jangan diam saja dan membiarkan bencana menghantam masyarakat saban tahun. Masyarakat selalu dikorbankan.”

Akibat banjir yang menggenangi Desa Malaya, warga mulai mengevakuasi ternak peliharaan mereka. Foto: Andi Fachrizal
Sebagian warga Desa Malaya masih memilih bertahan di rumah kediaman sambil berharap banjir segera surut. Foto: Andi Fachrizal
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,