,

Memerangi Deforestasi dan Korupsi di Indonesia

Premis dasar dari Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD+) program terlihat sederhana “Bangsa yang kaya membayar negara pemilik hutan tropis untuk menjaga hutan mereka.”  Namun demikian, ide ini tidak beranjak maju secara signifikan sejak tahun 2007 saat dimulainya pembahasan secara serius tentang REDD pada pertemuan UNFCCC di Bali.  Alasan dari kemandekan ini pun banyak, terlepas dari ide yang sederhana ini, implementasi dari REDD+ sendiri sangatlah rumit.

Masih diperlukan beberapa tahun lagi sebagai waktu belajar untuk mengetahui uji coba proyek percontohan mana yang berjalan dan mana yang tidak.  Saat ini sejumlah negara memiliki proyek REDD+, dimana sebagaian masih dilakukan melalui penjualbelian kredit karbon melalui pasar sukarela (voluntary market).  Melalui pemberian sertifikat yang kredibel, suatu perusahaan atau individu dan membuat klaim untuk penggantian kerugian dari emisi yang mereka keluarkan dengan kompensasi menjaga kelestarian hutan.

Bagaimanapun pihak negara berharap untuk memperolah keuntungan yang lebih dari skema praktik REDD+. REDD Program di Indonesia didorong oleh berbagai faktor, termasuk tatacara distribusi keuntungan, hak atas lahan yang tidak jelas, politik dan sistem birokrasi, isu tatakelola pemerintahan yang rumit, dan sikap yang bertentangan dari berbagai pemangku kepentingan, mencakup kepentingan yang kuat dari perilaku “business as usual”.  Namun, barangkali tantangan terbesar dari program REDD+ adalah perilaku korupsi.

Transparansi Internasional menempatkan Indonesia dalam peringkat 118 dalam skala indeks korupsi, yang berarti meletakkan Indonesia dalam peringkat setengah terbawah. Korupsi adalah tantangan bagi siapapun yang mencoba melakukan bisnis di Indonesia, -secara khusus pada sektor kehutanan, -yang pernah disebutkan oleh KPK sebagai sumber korupsi yang tidak terbatas-.  Seperti usaha lain yang berhubungan dengan kehutanan, proyek REDD+ beroperasi di dalam lingkungan dimana suap merupakan hal yang lumrah untuk mendapatkan konsesi area kehutanam.

kalteng_0634
Lahan hutan gambut di Kalimantan Tengah. Foto: Rhett Butler, Maret 2013

Diantara suasana lingkungan proyek pembangunan REDD+ yang tidak bersih, terdapat satu yang tetap mencoba melakukan pendekatan etik guna memperoleh ijin di lapangan, seperti praktik yang dilakukan oleh Dharsono Hartono, seorang warga Indonesia yang meninggalkan pekerjaan di Wall Street untuk memulai proyek yang ia harap dapat menghasilkan keuntungan namun di satu sisi dapat membantu pelestarian bumi.

Hampir lima tahun, sejak ia memulai proses perijinan untuk sebuah proyek yang bertujuan untuk memproteksi dan merestorasi sebuah area lahan basah di Kalimantan Tengah, hingga saat ini Dharsono tetap belum memperoleh lisensi untuk proyek tersebut. Walaupun ia telah memperolah lebih dari 350 dukungan dan tandatangan dari berbagai tingkat pejabat pemerintah.

“Berawal dari Mei 2008, jika anda mengikuti sesuatunya dengan seksama, maka anda dapat menyelesaikannya maksimal dalam 1 tahun” tuturnya, dalam acara TEDxJaksel di Jakarta bulan November 2012.  “Kami pikir seluruh aplikasi dapat diperoleh dalam 1 tahun, untuk kemudian kami dapat menjual kredit dan mulai dapat turut menyelamatkan bumi” katanya kepada Mongabay.com.  “Namun, hal tersebut terbukti salah”.

Upaya yang dilakukan oleh Dharsono adalah berupaya melakukan bisnis yang jujur tanpa melakukan suap kepada pihak-pihak terkait di bidang kehutanan.  Sesuatu yang tidak mudah untuk dijalankan.

Selama lima tahun terakhir, Dharsono sering menemukan dirinya menghabiskan berjam-jam atau bahkan berhari-hari di sebuah kantor hanya agar mendapatkan perhatian seorang birokrat. Ketika seorang pejabat menyadari Dharsono tidak akan membawanya amplop penuh uang, permainan menunggu sesungguhnya dimulai. Tapi akhirnya ketekunan Dharsono itu berbuah kepada pejabat paling apatis sekalipun, yang pada akhirnya menandatangani surat-suratnya hanya agar dia keluar dari kantornya.

Waktu penantiannya tampaknya akan berakhir.  Dharsono memerlukan satu lagi tandatangan, –yaitu dari Menteri Kehutanan-, agar permohonan aplikasi dapat disetujui.  Namun, terdapat satu hal yang harus ditangkap, Dharsono hasus mampu menunjukkan bahwa terdapat pasar untuk kredit karbon dan proyek ini layak dijalankan.  Jika Menteri Kehutanan tidak percaya bahwa proyek ini secara ekonomi layak, – yang berarti investor, perusahaan, dan konsumen siap untuk akan membeli karbon offset dari proyek konservasi – ini akan membawa nasib hutan seluas 200.000 ha ini beralih fungsi untuk hutan produksi kayu atau sebagian dikonversi untuk menjadi perkebunan sawit yang akan melepas emisi karbon.  Secara bersamaan, pembeli potensial dari kredit karbon akan beralih karena proyek tersebut tidak segera disetujui.  Situasi yang sulit ini merupakan simbol dari keseluruhan wajah proyek-proyek REDD+ di Indonesia.

0411dharsono600
Dharsono Harsono. Foto: Toto SB/TEDxJaksel

Waktu penantiannya tampaknya akan berakhir.  Dharsono memerlukan satu lagi tandatangan, –yaitu dari Menteri Kehutanan-, agar permohonan aplikasi dapat disetujui.  Namun, terdapat satu hal yang harus ditangkap, Dharsono hasus mampu menunjukkan bahwa terdapat pasar untuk kredit karbon dan proyek ini layak dijalankan.  Jika Menteri Kehutanan tidak percaya bahwa proyek ini secara ekonomi layak, – yang berarti investor, perusahaan, dan konsumen siap untuk akan membeli karbon offset dari proyek konservasi – ini akan membawa nasib hutan seluas 200.000 ha ini beralih fungsi untuk hutan produksi kayu atau sebagian dikonversi untuk menjadi perkebunan sawit yang akan melepas emisi karbon.  Secara bersamaan, pembeli potensial dari kredit karbon akan beralih karena proyek tersebut tidak segera disetujui.  Situasi yang sulit ini merupakan simbol dari keseluruhan wajah proyek-proyek REDD+ di Indonesia.

Pada bulan Maret 2013, Mongabay melihat langsung bagaimana maraknya operasi illegal logging di lokasi proyek Katingan Peat Restoration.  Walaupun pemda telah menyatakan keberpihakan terhadap kebijakan untuk menurunkan efek gas rumah kaca dari lahan gambut gambut, nyatanya kanal-kanal tetap dibangun untuk mengeringkan lahan gambut. Perusahaan sawit telah memberi tekanan kepada bupati untuk memberikan ijin bagi konsesi perkebunan di satu kawasan hutan.  Tanpa adanya proyek ini, hutan Katingan akan berakhir seperti lahan gambut lainnya yang telah dikeringkan dan dikonversi untuk perkebunan, diambil kayunya, dibakar atau hanya tinggal semak belukar.

Namun, kesabaran Dharsono tetap berlanjut.  Selama ia menunggu ijin turun, ia bersama timmnya melanjutkan proses pengambilan sampel sebanyak 200 unit untuk penghitungan karbon di dalam konsesi yang disyaratkan untuk memperoleh proses sertifikasi.  Namun yang lebih penting, timnya ini tetap melanjutkan konsultasi bersama komunitas lokal yang tergantung pada hutan untuk kehidupan mereka.

Mereka melakukan identifikasi sejumlah aktivitas masyarakat (rotan, pengelolaan kayu, dan produk buah-buahan skala kecil), yang mampu mendatangkan penghasilan tanpa perlu merusak hutan.  Namun, pembayaran terbesar bagi komunitas, dan PT Rimba Makmur Utama, perusahaan milik Dharsono, hanya dapat berlangsung jika proyek ini disetujui dan diijinkan untuk menjual kredit karbonnya.  Jika saatnya tiba, upaya Dharsono mungkin akan menjadi model untuk maju berkembang kedepannya.  Jika tidak, maka korupsi yang terjadi di Indonesia akan mengalahkan usaha untuk menyelamatkan hutan dan keragaman hayati yang tidak tergantikan.

Wawancara dengan Dharsono Hartono

Mongabay.com: Apakah Proyek Katingan itu?

Dharsono Hartono:  The Katingan Peatland Restoration and Conservation Project (Proyek Katingan) bertujuan untuk merestorasi dan mengkonservasi 203.570 hektar dari hutan gambut melalui skema REDD plus konservasi, manajemen hutan berkelanjutan dan peningkatkan stok karbon.  Skema ini berlokasi di kabupaten Kotawaringin Timur dan Katingan di Kalimantan Tengah.  Proyek ini juga berupaya untuk mempromosikan alternatif mata pencaharian, ketahanan komunitas dan konservasi keragaman hayati di zona proyek.

Proyek Katingan akan dikelola melalui konsesi restorasi ekosistem (IUPHHK-RE), sesuai dengan ijin penggunaan lahan yang didorong oleh pemerintah Indonesia.  Area konsesi tersebut menyediakan tempat bagi komunitas yang tergantung pada hutan dengan akses kepada berbagai sumberdaya alam mencakup kayu dan non kayu produk termasuk juga ikan.  Lebih jauh, lokasi ini merupakan populasi besar bagi berbagai satwa yang terancam termasuk orangutan, owa, macan dahan, dan bekantan.

Proyek ini mencari upaya untuk menurunkan gas rumah kaca melalui skema IUPHHK-RE melalui upaya menghindarkan deforestasi dari konversi lahan berhutan dan melalukan restorasi dan konsevasi lahan hutan gambut, yang menjamin keberlangsungan komunitas dan keragaman hayati.  Seperti dipaparkan sebagai berikut:

Katingan Project

Proyek ini dapat dikelola dan diimplementasikan melalui kemitraan para pihak, mencakup pemerintah, sektor swasta, LSM nasional dan internasional, peneliti lahan gambut, masyarakat sipil, dan yang terpenting masyarakat lokal.

Mongabay.com: Apa yang menjadi ancaman terbesar dari area ini?

Dharsono Hartono:  pemicu utama dari deforestasi yang terjadi di sekitar Proyek Katingan adalah konversi lahan untuk menjadi HTI, pertambangan dan perkebunan sawit.  Teridentifkasinya ancaman berdasarkan konsesi yang sebelumnya aktif di dalam area proyek yang saat ini tidak aktif. Jika Proyek Katingan tidak terlaksana, sebagian atau semua area hutan akan terdegradasi dan terkonversi untuk perkebunan di masa yang akan datang. Demikian pula deforestasi yang disebabkan oleh illegal logging dan kebakaran lahan gambut masih berlangsung di area proyek.

Mongabay.com: Apakah yang menjadi tantangan utama yang anda hadapi dalam menjalankan rencana proyek ini dan bagaimana untuk maju kedepan?

Dharsono Hartono:  Tantangan terbesar yang kami hadapi adalah memperoleh ijin, hal ini karena melibatkan berbagai cabang birokrasi pemerintah.  Kami mengirimkan sebuah aplikasi permohonan untuk menjalankan konsesi pada November 2008 dan ijin prinsip pemegang konsesi turun Mei 2009.  Proses terhambat hampir duat tahun karena pemerintah kabupaten ingin mengkonversi sebagian dari area ini untuk sawit, dimana disisi lain pemerintah pusat tetap bersikukuh bahwa ini merupakan kawasan hutan.

Tantangan lain adalah memperoleh proyek validasi dari pihak Standard Verifikasi Karbon (Verified Carbon Standards). Kami perlu merumuskan metodologi baru, karena hingga saat ini tidak ada metodologi pengukuran gambut yang valid. Kami telah melalui metode validasi pertama, dan saat ini sedang melalui validasi kedua, sebelum memperoleh persetujuan final.

Saya mengira bahwa berbagai tantangan ini hal yang umum sebagai awal dari industri baru yang sedang tumbuh (frontier industry).  Tetapi dalam kasus saya ini, menjadi sulit karena sifat dari bisnis ini agak berbeda dari bisnis yang umum dilakukan.  Kami merestorasi dan memproteksi ekosistem hutan alih-alih mengkonversinya untuk peruntukan lain.  Kami melakukannya dengan bekerja bersama-sama dengan komunitas lokal berdasarkan tujuan kepentingan jangka panjang.  Saya tahu sejak semula bahwa semua pendekatan ini akan berbeda dari pendekatan ‘business as usual’.

Satu yang saya tidak sangka adalah pasar karbon hutan tidak siap hingga saat ini. Pada era sebelum [pertemuan] Copenhagen, semua orang optimistik. Bahkan DPR Amerika mengeluarkan UU Iklim pada tahun 2009.

kalteng_0359
Praktik penebangan liar di lokasi Katingan. Foto: Rhett Butler, Maret 2013

Mongabay.com:  Apakah anda memiliki ancang-ancang tata waktu kapan proyek ini dapat disetujui?

Dharsono Hartono: kami dalam tahap akhir dari proses final, harapannya Menteri Kehutanan akan memberikan tandatangan dalam 6 bulan ke depan.  Saya berpikir persetujuan akan diberikan, karena kami melakukan semuanya sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang ada.  Bagaimanapun, saya tidak dapat menduga apa yang ada di pikiran Menteri Kehutanan, jika nanti ada keterlambatan pemberian ijin.

Mongabay.com: Apa yang anda lihat tentang REDD di Indonesia? Di dunia?

Dharsono Hartono:  Saya lihat prospek REDD di Indonesia masih positif, tetapi kami harus melakukan banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.  Fakta bahwa kami masih ada saat ini, adalah bukti bahwa masih banyak orang yang menginginkan upaya kami sukses.  Jika saya pesimis tentang REDD, saya tidak membayangkan siapa yang akan optimis.  Saya pikir waktunya akan tiba ketika orang sadar bahwa kita harus berupaya untuk melindungi hutan kita.  Tugas saya di sini adalah untuk membuktikan bahwa konsep ini dapat diikuti oleh orang lain di masa yang akan datang.

Mongabay.com: Apakah anda memiliki pesan kepada siapapun yang ingin mengikuti langkah anda?

Dharsono Hartono: Saya pikir dalam apapun yang anda lakukan, anda harus memiliki gairah dan meletakkan semua upaya Anda ke dalamnya. Mengingat apa yang kita lakukan dianggap sebagai langkah awal, kita perlu memiliki banyak ketekunan karena tidak mudah untuk bersaing dengan praktik “business as usual”. Anda juga harus mampu berkomunikasi secara efektif sehingga Anda dapat mengumpulkan dukungan dari semua tipe orang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,