,

Empat Pekerja Tewas, Pemerintah dan Polisi Didesak Investigasi Longsor Freeport

Ironis, saat ikut pelatihan standar prosedur keselamatan kerja para pekerja PT Freeport Indonesia, malah tak selamat karena ruang bawah tanah longsor menimbun 39 orang. Sampai hari kedua, Rabu(15/5/13),  tim penyelamat baru berhasil mengevakuasi 14 pekerja, empat orang tewas. Diperkirakan 25 pekerja masih tertimbun. Tim masih berusaha mengevakuasi korban reruntuhan di Gig Gossan ini. Empat korban tewas itu adalah Mateus Marandof, Selpianus Edowai, Yapinus Tabuni dan Aan Nugraha.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil pun angkat bicara. Mereka mendesak, pemerintah dan polisi menginvestigasi segera tragedi berdarah ini. Siti Maimunah, Koordinator Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim mendesak pemerintah dan kepolisian menginvestigasi segera tragedi runtuh di tambang Freeport ini. Terlebih, kasus serupa bukan kali pertama.

“Ini masalah keselamatan kerja. Artinya keselamatan kerja tak penting. Tragedi ini memalukan untuk perusahaan tambang skala besar dunia Freeport, yang dimiliki AS, Inggris dan Australia ini,” katanya di Jakarta, Rabu(15/5/13).

Pemerintah,  kata Mai, seharusnya malu karena menyikapi kasus ini seolah-olah tambang Freeport bukan di Indonesia. Mengapa? Tanggapan pemerintah sepi dari kekhawatiran, malah berkomentar tentang kelanjutan tambang Freeport yang tak terganggu tragedi mengerikan ini.

Dalam membahas Freeport pun, pemerintah selama ini hanya berkutat masalah renegoisasi kontrak karya. “Seolah menutup mata pada masalah lain seperti pelanggaran HAM, pencemaran lingkungan, termasuk longsor ini.”

Dia mengatakan, sikap menyepelekan keselamatan pekerja tambang ini, bisa menjadi bentuk lain pelanggaran HAM di Papua. “Keselamatan kerja lemah dan seolah-olah ingin mengatakan kejadian ini tidak apa-apa.”  Pelanggaran HAM kasat mata di Papua, terjadi lewat aksi kekerasan aparat negara kepada rakyat.

Selama ini, Freeport, diposisikan seakan-akan penguasa yang tak bisa diapa-apakan, pemerintah tak berdaya.  “Pemerintah tak ada menggugat Freeport.” Freeport ini bak negara di dalam negara. Tambang ini tertutup dari mata publik. “Sulit untuk tahu apa sebenarnya, terjadi di tambang Freeport.

Dalam kasus ini, seharusnya polisi langsung investigasi penyebab longsor dan mengumumkan hasil kepada publik. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pun menginvestigasi keamanan kawasan, teknik pertambangan sampai pengelolaan lingkungan. “Untuk urusan ini, operasi Freeport harus dihentikan.”

Ungkapan tak jauh beda dari Pius Ginting, Pengkampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional. Dia mengatakan, tambang bawah tanah di Freeport tak aman. Jika dibiarkan, hanya akan menimbulkan korban tambahan lagi. “Kerusakan lingkungan di hilir makin parah. Karena itu, seharusnya sudah dihentikan.”

Pemerintah pun, seakan tak memiliki kekuatan untuk mengawasi tambang Freepot agar tak membahayakan pekerja dan lingkungan. “Jadi memperkuat alasan bahwa tambang bawah tanah Freeport harus dihentikan.”

Jika dilihat dari kesejahteraan buruh Freeport Indonesia, kata Pius, lebih buruk daripada buruh cabang Freeport di negara lain. “Kondisi kerja di Papua paling berbahaya, tambang di bawah tanah Freeport, lebih tak aman dibanding pabrik kuali  yang menggunakan sistem perbudakan.” Untuk itu, diharapkan polisi menangkap pimpinan Freeport atas kejadian berulang ini.

A Harris Balubun, pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, peristiwa ini menunjukkan fakta bahwa tambang bisa mematikan. Dia menyayangkan, statemen pemerintah mengenai produksi Freeport tidak terganggu oleh peristiwa longsor . “Pemerintah harusnya tegas tapi malah sebaliknya. Ternyata persoalan keselamatan jiwa kalah penting dari soal produksi terlebih lingkungan,” ucap Harris.

Longsor ini, katanya,  mengindikasikan kondisi lingkungan di tambang makin tak stabil. “Pemerintah Indonesia harus mencabut izin Freeport Indonesia.”

ESDM Hanya Kirim Tim Peninjau

Kementerian ESDM hanya akan mengirimkan tim peninjau atas runtuhan batuan (roofing collapsed) yang menimbun ruang kelas di Big Gossan, PT Freeport Indonesia.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementrian ESDM, Thamrin Sihite mengatakan, tim peninjau bertugas memeriksa kejadian runtuhan batuan  itu. Berdasarkan catatan, sebanyak 40 pekerja tambang dilaporkan berada di ruang kelas saat peristiwa terjadi.

“Kami telah menugaskan satu tim terdiri dari Kasubdit Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara beserta tiga lnspektur tambang untuk memeriksa kejadian runtuhan batuan itu,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (15/5/13) seperti dikutip dari Okezone.com.

Selain pemeriksaan, tim akan berkomunikasi dan koordinasi dengan manajemen PT Freeport Indonesia membahas langkah-langkah perbaikan serta pencegahan jangka menengah dan panjang.

Evakuasi Berlanjut

Sampai saat ini tim evakuasi dari Freeport masih terus proses penyelamatan korban longsor.  Dalam keterangan resmi perusahaan, Rabu(15/5/13), Daisy Primayanti, Vice President Corporate Communications PTFI mengatakan, proses penyelamatan terhambat ruang gerak di dalam terowongan terbatas. Kondisi ini  menyebabkan tim penyelamat tak dapat menggunakan alat berat yang sangat membantu proses pemindahkan reruntuhan.

Kini, tim penyelamat hanya mengunakan dongkrak manual, gergaji dan gerobak. Tim penyelamat PTFI kini masih bekerja bersama dengan inspektur pertambangan dari Departemen Pertambangan untuk menemukan cara terbaik dalam melanjutkan upaya penyelamatan dan pemulihan.

Tim penyelamat yang bekerja sepanjang malam berhasil mengevakuasi 10 pekerja dan empat korban tewas.  Sekitar 25 pekerja diyakini masih terperangkap dalam reruntuhan. “Proses penyelamatan dan pemulihan masih berlangsung hingga sekarang,”  ucap Daisy.

Presiden Direktur Freeport Indonesia, Rozik B. Soetjipto, menyesalkan musibah yang menimpa para pekerja mereka. “Hari ini hari sangat menyedihkan bagi kami. Doa dan dukungan terus kami berikan untuk para pekerja yang menjadi korban dan keluarga. Kami akan terus mengerahkan seluruh upaya terbaik untuk evakuasi pekerja.“

Menurut dia, perusahaan telah menghubungi keluarga korban dan akan memberikan bantuan serta mendampingi keluarga korban menghadapi situasi sulit ini.

Sementara itu, 10 pekerja dilarikan ke rumah sakit milik perusahaan di Tembagapura, dan dalam kondisi stabil. Salah satu dari mereka sedang diterbangkan ke Jakarta untuk mendapatkan penanganan medis lebih lanjut.

Dikutip dari situs resmi kementerian ini, menyebutkan, runtuhan batuan (roofing collapsed) yang menimbun ruang kelas di Big Gossan, level 3020, tambang bawah tanah Freeport Indonesia ketika pelatihan penyegaran tahunan diikuti 40 pekerja.

Pada Selasa pukul 07.30, tiba-tiba terjadi runtuhan batuan terpusat pada atas bangunan ruang kelas. Ruangan kelas berukuran 5 x 10 meter berusia 15 tahun. Ia digunakan sejak tahun 2000, jauh dari area produksi. Volume material longsoran diperkirakan 192 meter kubik, menimbun 80 persen ruang kelas itu.

Kasus Berulang

Longsor di tambang Freeport Indonesia ini sebenarnya kisah lama. Sebab, sudah ada beberapa kejadian berulang beberapa tahun lalu. Kejadian demi kejadian pun hilang begitu saja tanpa kejelasan kasus apalagi tindakan dari pemerintah.

Pada Kamis(23/3/06), terjadi tiga korban tewas akibat longsor di area penambangan Freeport.  Mereka ini Harsono Mokoginta, Tomas S Toatubun dan Wecky Sianturi, karyawan PT Pontil, perusahaan subkontraktor Freeport.

Saat itu, Freeport menyatakan bekerja sama dengan Kementerian ESDM untuk mencari penyebab longsor. Namun, hasilnya, publik tak pernah tahu.  Dikutip dari Tempo.co, Jumat (24/3/06) Siddharta Moersjid , Senior Manager Corporate Communication Freeport Indonesia saat itu mengatakan, masih mengkaji penyebab longsor di area dispatch ridge perusahaan itu. Menurut dia, pengkaji penyebab longsor tim tekstur tambang dari Timika, Jakarta dan Jayapura.

Laporan yang diterima KLH menyebutkan, longsor terjadi sekitar pukul 00.57 karena tebing gunung runtuh dan bongkahan tanah mengalir ke bawah. Akibatnya, sejumlah fasilitas, antara lain mess hall Edelweiss, Laboratorium Assay Lama, dan beberapa bangunan kantor tertimbun.

Selain tiga pekerja tewas, lima masih dirawat, karena luka-luka berat, dan satu dikirim ke rumah sakit di Townsville Australia untuk pengobatan patah kaki.

Tragedi longsor berdarah juga pernah terjadi di tambang Freeport sebelum itu, pada 9 Oktober 2003. Dikutip dari laporan Down To Earth, menyatakan, saat itu longsor besar  di tambang emas dan tembaga Freeport/Rio Tinto di Grasberg, mengakibatkan delapan orang tewas dan lima luka-luka.

Pada hari naas itu, bagian dinding selatan lubang galian tambang perusahaan itu runtuh dan sekitar 2,3 ton batuan dan lumpur menggelosor menerjang para pekerja tambang dan mesin-mesin berat.

Menurut Freeport, ada dua pekerja tewas, lima luka-luka dan enam masih belum ditemukan. Kemungkinan besar mereka juga tewas. Saat itu, Menteri Energi dan Pertambangan, Purnomo Yusgiantoro mengatakan aktivitas pertambangan dihentikan selama dua minggu. Tim dibentuk pemerintah menyelidiki sebab-musabab kecelakaan  ini. Namun, kegiatan pertambangan tidak dihentikan seluruhnya. Lubang-lubang galian yang tidak terpengaruh bencana longsor tetap beraktivitas .

Menurut informasi yang dimuat Sydney Morning Herald, Freeport sesungguhnya mengetahui peringatan bencana longsor dua hari sebelumnya. Perusahaan telah memindahkan beberapa perlengkapan dari wilayah kejadian. Namun membiarkan para pekerja memasuki wilayah berbahaya dengan anggapan wilayah longsor terbatas di permukaan.

Pejabat dari Departemen Pertambangan, Suryatono,  yang memimpin penyelidikan bencana, mengatakan para pekerja memberitahukan pimpinan operasi penambangan Freeport tentang kemungkinan longsor. Namun, pimpinan perusahaan membuat suatu “keputusan keliru”.

Pasca bencana itu, pada 28 Oktober 2003, terjadi protes di Jakarta dan London. Ribuan pemuda Papua Barat dari Aliansi Mahasiswa Papua Barat protes di depan kantor Freeport di Kuningan, Jakarta.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,