LSM Lingkungan Desak Pemerintah Bali Hentikan Eksploitasi Masif Terhadap Alam

Tiga Lembaga Swadaya Masyarakat yang terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, Yayasan Wisnu, dan Greenpeace Indonesia, mendesak pemerintah Bali segera menghentikan ekploitasi besar besaran terhadap lingkungan Bali serta segera melakukan pemulihan terhadap segala kerusakan lingkungan yang sudah terjadi. Hal itu terungkap dalam diskusi yang digelar di Yayasan Wisnu, Kerobokan, Bali beberapa waktu silam.

Indonesia Oceans Campaigner Greenpeace, Arifsyah M Nasution, menjelaskan penghancuran lingkungan di Indonesia, khususnya di Bali sudah sangat memprihatinkan. Ironisnya, penghancuran lingkungan tersebut mendapat legitimasi dan legalisasi yang luar biasa kuat dari pemerintah atas dalih pembangunan dan percepatan pembangunan. “Seperti belang MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia), yang sebenarnya, saat ini maupun ke depan lebih dan akan dinikmati oleh para pemilik modal, pencari rente, dan penguasa yang haus dan rakus kekayaan dan kekuasaan yang tentunya lebih lihai dan mudah membayar oknum aparat penegak hukum termasuk mengangkangi, memperalat, dan menciptakan hukum yang diinginkannya,” Arifsyah.

Contoh kasus yang paling nyata terjadi di Bali saat ini adalah penghancuran sistematis terhadap ekosistem mangrove yang berada di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai karena pembangunan jalan tol di atas perairan (JDP) beserta rencana-rencana pembangunan infrastruktur lainnya terkait dengan ekspansi industri pariwisata di kawasan tersebut.

Tahura Ngurah Rai menjadi kumpulan sampah pariwisata. Foto: Ni Komang Erviani

“Kami menyerukan kepada pemerintah untuk melakukan pemulihan terhadap segala kerusakan setiap jengkal ruang hidup dan mata pencaharian rakyat serta menjalankan pembangunan berkelanjutan tanpa perusakan lingkungan, pemusnahan kekayaan hayati, budaya, dan pelanggaran hak azasi manusia dengan menghormati hak-hak konstitusional warga negara, termasuk bagi masyarakat sekitar hutan, petani, dan nelayan tradisional,” kata Arifsyah.

Ketiga lembaga tersebut juga secara bersama-sama menyerukan kepada Gubernur Bali yang terpilih dalam pemilihan kepala daerah pada 15 Mei lalu, untuk melindungi Tahura Ngurah Rai dengan menghentikan, membatalkan seluruh izin dan rencana pembangunan infrastruktur komersial, termasuk industri pariwisata yang akan menghancurkan ekosistem alami mangrove di kawasan tersebut, termasuk melakukan pemulihan ekologi dengan menggunakan pendekatan budaya dan kearifan lokal di Bali.

“Kami juga meminta kepada pemerintah dan seluruh pihak, bersama-sama dengan Walhi Bali, Yayasan Wisnu dan Greenpeace Indonesia, agar mendukung perwujudan visi bersama kelautan Indonesia 2025,” tegas dia. Visi bersama kelautan Indonesia 2025 memuat beberapa komitmen untuk mewujudkan laut Indonesia yang terpulihkan, sehat, dan terlindungi.

“Pemerintah harus memastikan untuk memberikan ruang partisipasi dan ekspresi yang luas bagi seluruh warga negara, termasuk masyarakat sekitar hutan, petani, nelayan tradisional serta penggiat dan aktivis lingkungan hidup, sosial, dan budaya, secara bersama dan setara dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan tanpa perusakan dan berkeadilan bagi generasi saat ini dan yang akan datang,” tegas Arifsyah.

Ketua Dewan Daerah Walhi Bali, Wayan ‘Gendo’ Suardana menambahkan pembangunan Bali yang sangat masif sangat telah nyata-nyata merusak lingkungan Bali. “Badan Lingkungan Hidup Bali sudah merilis pada tahun 2011 bahwa ada 13 titik pantai strategis di Bali sudah tercemar. Ini menjadi bukti nyata kerusakan lingkungan yang nyata nyata sudah terjadi di Bali,” tegasnya.

Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali. Foto: Ni Komang Erviani

Dalam berita yang dimuat di Mongabay-Indonesia sebelumnya, dengan alasan penyelamatan kawasan Tahura Ngurah Rai, Gubernur Bali memutuskan menyerahkan pengelolaan kawasan hutan mangrove ini kepada pihak swasta. Adalah PT. Tirta Rahmat Bahari, perusahaan swasta yang berhasil mendapat izin pengelolaan hutan mangrove seluas 102,2 hektar di kawasan Tahura Ngurah Rai. Melalui izin yang sudah diterbitkan pada Juni 2012, PT. Tirta Rahmat Bahari mendapat hak pengelolaan hutan selama 55 tahun. Syaratnya, perusahaan ini diwajibkan mengelola hutan dengan system kolaborasi bersama pihak Pemerintah Provinsi Bali.

Dalam masterplan yang terlampir dalam izin yang dikantongi PT. Tirta Rahmat Bahari, disebutkan bahwa perusahaan akan membangun sedikitnya 75 unit penginapan, 5 kios, 8 rumah makan, 2 spa, 1 restaurant, 1 gedung serba guna, tempat meditasi, toilet, dan sarana penunjang pariwisata lainnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,