,

Yuk, Bantu Anak-Anak Pulau Pari Menanam Mangrove dan Bersihkan Pantai

Ada yang berbeda di suasana hari Minggu pagi di Pulau Pari, sebuah pulau kecil yang terletak di deretan Kepulauan Seribu, Jakarta. Di tepi pantai berpasir putih, sekelompok anak-anak dengan bersemangat mengambil sampah-sampah plastik, styrofoam, batang dan ranting serta kardus-kardus yang terbawa oleh gelombang laut.  Sampah-sampah ini merupakan kiriman dari kota metropolitan Jakarta, yang terbawa oleh gelombang dan pada akhirnya tertinggal di pesisir pantai putih di sejumlah pulau-pulau yang berada di Teluk Jakarta.

Di antara mata-mata mengantuk wisatawan yang memandang ingin tahu aktivitas mereka, anak-anak ini terlihat begitu ceria.  Dengan sigap mereka mengambil sampah plastik yang berserakan di pantai, kemudian mengumpulkannya di dalam tong sampah.  Teriakan-teriakan khas bocah menghiasi suasana pagi itu.

Risky, -seorang voluntir pendidikan lingkungan-, sibuk mengomandani anak-anak ini, ia sibuk turut mendorong tong sampah ke tempat pembuangannya.  Sekali dua kali, Risky memberi semangat bagi anak-anak ini.  “Ayo yang sebelah kiri masih banyak itu sampahnya” “Hati-hati ya, jalannya” “Kalau yang itu biar kakak yang ambil” kira-kira seperti itu yang disampaikan oleh Risky.  Peluh yang keluar tidak membuat ia kehilangan semangatnya.

Di sisi lain pantai di dekat dermaga pelabuhan, beberapa anak dari kelompok lain juga sigap mengumpulkan sisa-sisa plastik bekas.  Sisa-sisa sampah yang ditinggalkan oleh pengunjung dan wisatawan mereka kumpulkan dalam keranjang yang besar.  “Nanti sampah botol plastik ini mau kami jual”.  Pagi itu saja, sudah terkumpul 2 keranjang besar botol-botol plastik dan kaleng yang mereka himpun.

anak-anak mengumpulkan sampah
Sampah plastik dan botol bekas air mineral dikumpulkan oleh anak-anak pulau Pari. Foto: Ridzki R. Sigit

Boom wisata di Pulau Pari yang bermula sejak tahun 2010, tidak saja membangun geliat bagi ekonomi masyarakat lokal, namun juga membawa pengaruh terhadap lingkungan pulau kecil ini.  Jika setiap minggunya sekitar 3.000 – 4.000 orang datang ke Pulau Pari, dapat dibayangkan berapa sampah yang dibawa oleh wisatawan tersebut.  Sampah ini pun belum termasuk ‘sampah kiriman’ dari Jakarta yang datang secara reguler setiap malamnya.

Berdasarkan data dari Pemda DKI Jakarta, rata-rata dalam sehari terkumpul sampah sebanyak 6.500 ton yang dihasilkan oleh kota Jakarta.  Lemahnya penanganan sampah hingga saat ini, menyebabkan banyak sampah yang hanyut di perairan Jakarta.  Pulau-pulau yang terletak di teluk Jakarta pun terkena imbasnya. Pulau Pari dan pulau-pulau lainnya di kepulauan Seribu setiap harinya mendapatkan hanyutan sampah yang berdatangan sepanjang waktu.

“Kesadaran terhadap kebersihan lingkungan pantai masih sangat rendah.  Bahkan ketika kami mengambil sampah, banyak yang ngomong, ngapain dipulungin, nanti juga bakal datang lagi sampahnya. Tetapi kami tetap lakukan, karena ini juga demi kenyamanan dan kesehatan warga dan wisatawan yang datang berkunjung,” demikian Risky.

Tidak saja warga pulau sendiri, wisatawan juga belum menunjukkan perilaku sadar wisata.  Tidak sedikit wisatawan yang masih meninggalkan jejak sampahnya.  Sampah tinggalan ‘pesta’ semalam masih banyak yang menumpuk di pantai.   Tampaknya masih diperlukan upaya edukasi terhadap wisatawan, agar menjadi wisatawan yang bertanggung jawab dan peduli terhadap kebersihan Pulau Pari.

Kumpulkan sampah pantai
Sampah yang tersebar di pantai pulau Pari, baik oleh hanyutan maupun yang ditinggalkan oleh wisatawan. Foto: Ridzki R. Sigit

Edukasi Usia Dini Melalui Pendirian Taman Baca

Jam menunjukkan pukul 10 pagi, ketika anak-anak yang dipandu oleh Risky mulai beringsut ke Taman Baca yang dikelola oleh Suhandi. Suhandi atau akrab dipanggil Bang Andi merupakan salah satu pelopor dan pemula pengembangan wisata di Pulau Pari. Awalnya dimulai pada tahun 2010,  ketika ia membawa rombongan sekitar 100 orang. Tiga tahun kemudian setiap minggunya ribuan orang datang ke pulau ini. Di pertengahan tahun 2013 ini jumlah kunjungan wisata ke Pulau Pari telah melebihi kunjungan ke pulau-pulau lainnya.

Suhandi yang rendah hati menolak disebut sebagai tokoh pariwisata Pulau Pari. Bahkan saat ini, jika warga pulau lainnya sibuk membangun homestay untuk penginapan, Suhandi malah sibuk menyisihkan teras rumahnya yang tidak terlalu luas sebagai perpustakaan.  Alih-alih berencana untuk menyulap rumahnya sebagai homestay, ia bahkan bermimpi ingin menambahkan sayap sisi rumahnya untuk diperluas untuk perpustakaan warga.  Padahal lokasi rumah Suhandi termasuk salah satu yang strategis, terletak tepat di bibir pantai yang memiliki pemandangan matahari terbit yang indah. Suhandi sadar bahwa apa yang ia lakukan tidak akan membawa keuntungan ekonomi bagi keluarganya.

Atas kesadaran sendiri, Suhandi, -dan terkadang dibantu oleh beberapa orang voluntir dan anak-anak-, membersihkan sampah yang terhampar di pantai pasir putih di depan rumahnya . Jika setiap paginya, orang-orang sibuk bekerja atau masih terlelap, maka Suhandi sudah bergerilya membersihkan sampah-sampah yang hanyut ke Pulau Pari.  Bahkan, tanah di sebelah rumahnya pun ia relakan untuk menampung sampah-sampah tersebut.

“Saya merasa bertanggung jawab dengan kondisi lingkungan Pulau Pari, karena sejak awal saya dan kawan-kawanlah yang menggagas wisata di sini.  Saya tidak ingin jika nanti ke depannya pulau ini rusak.  Saya memulai dengan mengajak anak-anak usia dini di sini karena ke depannya yang akan mewarisi pulau ini,” demikian Suhandi.

Visi ke depan bahwa anak-anak merupakan aset masa depan, mendorong Suhandi untuk membuka perpustakaan yang ia sebut Taman Baca.  Sebenarnya istilah perpustakaan sendiri pun masih jauh dari definisi baku, karena hanya terdiri dari 2 rak sederhana berisi koleksi buku-buku yang dapat diakses secara gratis oleh anak-anak.  Suhandi mengakui bahwa buku-buku itu merupakan sumbangan dari pribadi, bantuan dari pemerintah, bahkan ada yang ia beli sendiri.

“Taman Baca yang sekarang masih terasa sempit, nanti mau saya perbaiki, biar anak-anak bisa semakin betah.  Rencananya, saya ingin menambahkan juga MCK di sebelah sisi rumah saya, karena kamar mandi yang ada di rumah saya sekarang sempit,”  Suhandi menambahkan keterangan dengan raut muka polos.

Ketika kami melakukan wawancara, terdapat 4 anak-anak yang sedang bermain dan membaca di perpustakaan itu.  Tidak jarang, buku-buku yang dipinjam oleh anak-anak tersebut tidak dikembalikan lagi.  Namun, bagi Suhandi itu bukan masalah besar. Baginya, ilmu dan pengetahuan yang diperoleh oleh anak-anak dari buku bacaan tersebut lebih berarti daripada kehilangan sejumlah buku-buku koleksinya.

Menanam mangrove
Anak-anak menanam mangrove di pantai Pulau Pari. Foto: Ridzki R. Sigit

Menanam Mangrove, Menjaga Masa Depan Pulau

Gerobak kayu datang.  Anak-anak pun berlarian merubungi gerobak itu, di dalamnya terdapat bibit-bibit mangrove dalam polybag hitam yang siap ditanam.  Beberapa warga di Pulau Pari memang sengaja membibitkan mangrove untuk dijual.  Satu bibit mangrove dalam polybag dijual dengan harga Rp 1.000.

Siang itu kami memang sengaja membeli beberapa puluh bibit mangrove untuk ditanam di pantai berpasir putih yang terhampar di depan kanan rumah Suhandi.  Teriakan antusias pun terdengar dari mulut anak-anak itu, ketika mendengar rencana kami untuk menanam anakan mangrove di pantai.

Pantai pasir putih yang terletak di depan rumah Suhandi memang dulunya adalah bekas hamparan hutan mangrove yang sekarang telah habis ditebangi. Suhandi bercerita bahwa dahulu satwa seperti berbagai jenis burung dan unggas, jenis-jenis ikan serta biawak banyak dijumpai di tempat itu.  Seiring waktu dengan menyusutnya kawasan mangrove, satwa tersebut pun menghilang.  Selain sebagai habitat satwa, maka mangrove penting artinya sebagai penahan abrasi pantai dari terjangan gelombang laut.

Anak-anak pun berbaris teratur menuju pantai.  Dimulai dengan doa permohonan kepada Ilahi agar tanamannya dapat tumbuh dengan baik, tangan-tangan mungil anak-anak pun menggali karang berpasir.  Terlebih dahulu mereka menyobek bagian bawah dari polybag untuk lubang perakaran.  Matahari yang terik, tidak menyurutkan niat mereka untuk melestarikan pulau. Satu persatu bibit mangrove pun ditanam.

Di akhir pertemuan kami, Suhandi pun menyiratkan harapannya.  Ia berharap agar ke depannya pengembangan wisata di pulau dapat berjalan selaras dengan keseimbangan ekosistem dan kesadaran wisata baik bagi pengunjung maupun bagi masyarakat.  Ia sadar, bahwa berkah wisata bisa saja tenggelam bersama dengan kerusakan alam yang terjadi. Sekali terjadi, Pulau Pari tidak lagi menjadi magnet wisata, habislah asa mata pencarian masyarakat. Untuk kembali menjadi nelayan maupun petani rumput laut pun tampaknya sulit dilakukan karena semakin menyempit dan rusaknya habitat.

Mari kita bantu upaya anak-anak Pulau Pari untuk menjaga kebersihan pantai dan menanam mangrove demi masa depan yang lebih baik. Jadilah wisatawan yang bijak dan bertanggung jawab.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,