Mongabay Travel: Teluk Pemuteran, Kisah Sukses Komunitas Desa Mengembalikan Terumbu Karang dari Kehancuran

Sepuluh tahun silam, jika anda berwisata ke Bali pernahkah anda merencanakan untuk menengok kawasan Teluk Pemuteran di Kabupaten Buleleng, Bali Utara? Mungkin anda saat itu justru akan bertanya, ada apa di Pemuteran?

Kini, seiring berjalannya waktu Teluk Pemuteran tak lagi jadi tujuan wisata nomor dua, namun sukses berevolusi menjadi salah satu tujuan wisata kelautan yang menjanjikan keindahan Bali dari sisi yang berbeda. Keindahan terumbu karang, ketenangan lokasi, dan keramahan warganya menjadi buruan wisatawan yang menjauhi berbagai keriuhan wisata belanja dan kehidupan malam a la kawasan selatan Bali, seperti di Seminyak atau Legian.

Desa Pemuteran, adalah sebuah desa kecil di tepian pantai yang menghadap ke Laut Bali, dan hanya berjarak sekitar 15 kilometer dengan kawasan Taman Nasional Bali Barat. Desa dengan jumlah penduduk sekitar 8000 orang ini, dulu adalah sebuah kawasan kering kerontang dengan kondisi alam serta perairan yang sangat memprihatinkan. Tanaman yang bisa tumbuh di ladang penduduk, hanyalah jagung dan kacang-kacangan, itu hanya bisa panen setahun satu kali akibat jarangnya curah hujan di kawasan ini. Perairan pun tak kalah menyedihkan. Aktivitas nelayan yang mencari jalan pintas dalam mencari ikan dengan menggunakan bom ikan serta racun, membuat keindahan terumbu karang kawasan ini hancur lebur. Kemiskinan, menjerat penduduk untuk terus merusak alam sekitar mereka.

Siapa sangka, kawasan ini dulunya adalah sebuah ladang jagung kering yang tidak memberi harapan. Kini semua berubah, setelah sektor pariwisata berbasis lingkungan semakin berkembang di Pemuteran. Foto: Aji Wihardandi

Namun, semua perlahan berubah sejak tahun 1989 silam. Seorang pria bernama I Gusti Agung Prana, memulai gerakannya untuk mengubah wajah kawasan Desa Pemuteran ini menjadi sebuah wilayah yang bernilai. Kawasan yang tak hanya bernilai bagi wisatawan, namun yang terpenting adalah bernilai bagi seluruh penduduk yang tinggal di desa tersebut. Awalnya, idenya untuk mengubah wajah kawasan ini, dengan cara menjaga kelestarian alam agar mengubah nasib para warga setempat mendapat tertawaan dari banyak orang di wilayah tersebut.

“Memang begitu masuk dan memulai upaya ini, saya terkesan ada sesuatu yang mempunyai nilai tinggi dan itu tidak bisa diidentifikasi oleh penduduk setempat karena tertutup oleh kerusakan dan kehancuran. Baik di laut maupun di darat, itu menutupi potensi yang besar yang dimiliki. Dan saat saya sampaikan niat untuk mengubah hal ini saya sampaikan kepada penduduk setempat, saya malah ditertawakan oleh penduduk. Begitu juga saat saya menyampaikan niat saya untuk membeli tanah sebesar 10 Are  (1000 meter persegi) di kawasan ini untuk tempat persinggahan, saya lagi-lagi ditertawai. Saat itu tanah di kawasan ini bisa didapat dengan harga antara 50 ribu hingga 200 ribu rupiah per 100 meter persegi. Dari rencana awal membeli 10 Are, malah menjadi 8 hektar karena penduduk berbondong-bondong memberikan tanah mereka untuk dijual akibat ketidakpahaman mereka terhadap potensi wilayah mereka,” ungkap I Gusti Agung Prana kepada Mongabay-Indonesia.

I Gusti Agung Prana, mimpinya memberdayakan warga di sekitar Pemuteran, sempat menjadi bahan tertawaan. Kini, dunia bahkan mengakui kerja keras pria Bali ini. Foto: Aji Wihardandi

Usai membeli tanah ini, pendekatan budaya dan spiritual berdasar ajaran agama Hindu dilakukan oleh I Gusti Agung Prana untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya mengubah basib mereka dengan menjaga alam sekitar. Dua tahun pertama sejak membeli tanah ini, dihabiskan oleh pria ini untuk membuat masyarakat mengerti, lewat berbagai cara. Mulai dari berdiskusi di pura, bertandang ke rumah-rumah kepala adat, mengajak mereka menikmati sajian hiburan rakyat denagn pesan-pesan alam, serta mengajak para tokoh adat dan sejumlah warga untuk berwisata ke kawasan selatan Bali agar mendapat gambaran, bagaimana sektor pariwisata mengubah nasib banyak orang. “Saat itu saya ajak mereka ke Kuta dan Nusa Dua, saya beritahukan kepada mereka, bahwa mereka bisa lebih kaya dari orang-orang ini, dan bisa mengubah nasib,” cerita Agung Prana.

Namun penolakan tetap muncul pada awalnya. Kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan, membuat sebagian penduduk menyampaikan penolakan atas ide Agung Prana tersebut. “Laut itu kan milik kita, mengapa harus dilarang untuk mencari ikan. Nah hal seperti ini seringkali disampaikan oleh penduduk yang merasa terancam mata pencahariannya dari mencari ikan. Namun kami tidak melarang, kami hanya harus membagi zona-zona laut menjadi kawasan yang boleh mencari ikan dan kawasan yang harus dijaga karena sebagai tempat perkembangbiakan ikan. Jika rumah ikannya dirusak, maka mereka juga tidak akan bisa mencari ikan, karena ikannya tidak berkembang,” ungkap salah seorang mantan kepala desa di Pemuteran, Wayan Merta.

Turis mancanegara, bukan lagi pemandangan yang asing di Pemuteran. Dulu, warga pun enggan berjalan di wilayah yang kering kerontang ini. Foto: Aji Wihardandi

Awalnya, sebuah hotel kecil dengan 12 kamar pun dibuka oleh I Gusti Agung Prana. Satu demi satu tamu mulai berdatangan, dan ekonomi mulai menggeliat. Proses mengubah pola pikir masyarakat, kini mulai berhadapan dengan praktek wisata secara nyata di lapangan. Sejumlah penduduk setempat, dilibatkan secara aktif dalam mengelola tempat penginapan ini sebagai karyawan. “Dan ternyata mereka sangat bersemangat. Mereka memiliki kemampuan yang baik dalam bekerja. Kemelaratan telah memberikan pelajaran hidup bagi mereka. Dan orang yang memulai dari kemelaratan, biasanya jauh lebih bersyukur dibandingkan dengan orang yang sudah memiliki segalanya,” ungkap Agung Prana lebih jauh. Kini, resort bernama Taman Sari ini menjelma menjadi salah satu resort paling tua di kawasan Pemuteran.

Keterlibatan masyarakat secra aktif lewat lembaga yang mewadahi aktivitas masyarakat, menjadi kunci utama dalam pengembangan kawasan Desa Pemuteran ini menjadi sebuah kawasan wisata yang berkelas seperti saat ini. Lewat lembaga bernama Yayasan Karang Lestari ini semua warga dan perangkat desa, akhirnya menyadari bahwa alam memberikan karunia yang tidak akan pernah habis bagi mereka, jika mereka mampu menjaganya. “Masyarakat mendukung karena merasakan dan mandapatkan manfaatnya,” sambung Wayan Merta lebih lanjut. Tidak hanya menjaga, patroli laut kini juga secara rutin dilakuka oleh para pecalang laut yang bertugas menjaga perairan Pemuteran, serta mencegah praktek-praktek pengambilan ikan yang tidak sehat. Hingga kini, ancaman dari nelayan-nelayan yang memasuki Pemuteran untuk mengambil ikan, masih terus terjadi. 

Terumbu karang di Pemuteran, kini kembali tumbuh dan mengundang ikan-ikan kembali ke wilayah ini. Foto: Aji Wihardandi

Mengembalikan Terumbu Karang, Membangun Kembali Keindahan Laut Pemuteran

Sukses wisata di Pemuteran, terkait erat dengan dua hal besar. Pertama adalah kuatnya dukungan masyarakat setempat terhadap perubahan. Kedua, kesuksesan metode Biorock, yang berhasil mengembalikan terumbu karang yang rusak akibat pengambilan ikan dengan peledak dan racun di masa lalu.

Metode Biorock ini diinisiasi oleh dua ahli biologi laut asal Amerika, Tom Goreau dan pakar asal Jerman, Wolf Hilbertz yang diperkenalkan kepada I Gusti Agung Prana di tahun 1999 silam, dan mulai menanam kerangka-kerangka untuk menumbuhkan terumbu karang tahun 2000 silam. Lewat metode inilah, biorock untuk pertamakalinya berhasil dipraktekkan secara sempurna di lapangan, dan merupakan proyek biorock paling sukses di lapangan.

Kejernihan air laut di Pemuteran, tak hanya mengembalikan ikan, namun juga mengundang ribuan wisatawan setiap tahunnya. Foto: Aji Wihardandi

Secara sederhana, metode ini adalah mengalirkan listrik dalam tegangan rendah ke kerangka-kerangka yang sudah ditempeli dengan bibit terumbu karang dan ditaruh di dasar perairan. Alran listrik bertegangan rendah inilah yang kemudian menimbulkan reaksi kimia positif bagi bibit-bibit terumbu karang yang sudah ditempelkan ini. Reaksi kimia ini memancing pertumbuhan kapur secara masif untuk bibit terumbu karang.

Hingga kini sudah sekitar 77 struktur besi yang diturunkan ke perairan di sekitar desa Pemuteran sejak pertamakali diturunkan lebih dari satu dekade silam. Kerangka yang dibuat dalam berbagai bentuk ini kini berhasil mengembalikan berbagai jenis ikan untuk kembali ke perairan di Pemuteran setelah sempat hilang akibat kerusakan terumbu karang akibat pemboman.

Terumbu karang, kini tumbuh subur di perairan Pemuteran. Foto: Aji Wihardandi

“Jika dengan metode penanaman biasa, terumbu karang itu normalnya tumbuh sekitar 1-2 sentimeter setiap tahun, namun dengan metode biorock terumbu karang ini bisa tumbuh dua hingga enam kali lipat lebih cepat dengan tidak memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan manusia,” ungkap Komang, Manajer Biorock di Tamansari Bali.  “Proyek ini adalah yang pertamakali di Indonesia, sekaligus terbesar. Semua karena adanya kesadaran dan keterlibatan masyarakat secara penuh.Ada beberapa proyek serupa biorock di tempat lain, tetapi tidak sepenuhnya berhasil seperti di Pemuteran karena tidak kuatnya dukungan dari masyarakat,” tambah Komang.

Kini ratusan spesies ikan kembali ke rumah mereka di Pemuteran, dan setiap tahun jumlahnya terus bertambah. Ke depannya, proyek biorock ini akan mengembangkan sumber energi listrik dari tenaga surya dengan memasang panel surya di sekitar pantai untuk memastikan bahwa proyek ini memang sangat ramah lingkungan. Kendati biaya operasional masih kembang kempis, namun Komang yakin dengan kesuksesan yang diraih lewat biorock ini, masa depan wisata dan warga di wilayah ini akan semakin baik di masa mendatang.

Kini, apapun yang anda butuhkan, Pemuteran menyediakannya. Foto: Aji Wihardandi

Alam Lestari, Kembalinya Harapan Hidup Warga Pemuteran

Wajah desa Pemuteran kini berubah total. Dari sebuah desa kering kerontang tanpa gairah, kini menjadi sebuah kantung penghasilan yang memberikan kehidupan bagi warga setempat. Secara sosial dan ekonomi, berbagai perubahan kini dirasakan oleh masyarakat sekitar. “Ya syukurlah, sekarang sudah ada tempat bekerja. Dulu kami bingung mau kerja apa disini. Sejak ada pariwisata, anak-anak sekarang menjadi lebih rajin bersekolah. Dulu teman-teman saya jarang ada yang melanjutkan sekolah,” ungkap Gede Iswan, salah satu warga Pemuteran yang sudah 16 tahun bekerja di bidang jasa pariwisata.

Penduduk sekitar Pemuteran, kini bisa tersenyum setelah alam mereka kembali pulih dan mendatangkan rezeki dari sektor pariwisata. Foto: Aji Wihrdandi

Jika kita menyusuri jalan-jalan di seputar desa, kini berbagai layanan penunjang wisata banyak bertebaran di sepanjang jalan. Mulai dari penginapan, restoran dari berbagai kelas, jasa cuci baju, pemandu dan penyedia layanan snorkling dan menyelam, gerai suvenir, hingga layanan transportasi ke berbagai wilayah. “Dulu, mana ada rumah bagus di Pemuteran. sekarang kondisi rumah-rumah sudah jauh lebih baik disini. Jika dulu penduduk itu paling hanya satu dua orang yang memiliki motor, sekarang rata-rata satu rumah minimal memiliki satu motor sebagai alat transportasi mereka,” jelas Wayan Merta, mantan kepala desa di Pemuteran.

Gede Iswan, sudah 16 tahun dirinya bekerja di sektor pariwisata sejak awal Pemuteran berkembang menjadi lokasi wisata. Foto: Aji Wihardandi

Dari 8000 jumlah penduduk di Desa Pemuteran, kini 30% dari mereka adalah pekerja sektor pariwisata. Selebihnya masih menjadi petani, ataupun nelayan yang menjadi bagian dari wisata itu sendiri. Semua hotel dan penginapan di wilayah ini, mempekerjakan penduduk setempat sebagai karyawan. Hanya segelintir penduduk yang berasal dari luar Pemuteran yang bekerja di sektor pariwisata di tempat ini, itu pun terbatas hanya di beberapa posisi strategis pengambil keputusan dan manajerial. Selebihnya, sekitar 90% karyawan, adalah penduduk lokal. Mereka bekerja di bagian pemeliharaan, makanan, pemandu selam, dan semua sektor dalam bidang jasa ini.

Pemuteran, Go International….

Kesadaran masyarakat menjaga alam sekitar mereka, dan kesuksesan I Gusti Agung Prana bersama dua pakar Biorock mengembalikan wajah terumbu karang dunia kini bahkan sudah dikenal dunia. berbagai penghargaan tingkat dunia, kini mereka kantungi sebagai bukti pengakuan dunia atas kerja keras mereka. Penghargaan paling prestisius diraih setahun silam, saat UNDP mengumumkan proyek biorock yang diinisiasi oleh I Gusti Agung Prana di Desa Pemuteran sebagai salah satu pemenang Equator Prize. Penghargaan ini diberikan kepada pahlawan-pahlawan lingkungan di seluruh dunia, yang mampu mengubah wajah alam dan lingkungan dan memberikan manfaat secara maksimal bagi manusia.

Pemuteran, menjadi salah satu dive site terbaik di Bali saat ini. Foto: Aji Wihardandi

Para wisatawan sendiri mengakui, Pemuteran adalah salah satu lokasi penyelaman yang akan mereka datangi kembali di masa mendatang setelah mereka merasakan keindahannya dalam kunjungan pertama mereka.

Papan peringatan bagi para penyelam, agar tidak merusak dan menginjak terumbu karang yang ada di perairan Pemuteran. Foto: Aji Wihardandi

Seperti yang disampaikan oleh salah satu wisatawan bernama Annette Denham, yang berasal dari Australia. “Ini adalah salah satu lokasi penyelaman terbaik yang pernah saya temui. Saya sudah menyelam ke berbagai wilayah penyelaman di dunia, dan Pemuteran memang indah. Saya akan kembali lagi suatu saat kemari. Tentu saja, saya salut atas kerja keras seluruh warga desa yang selama ini ikut menjaga keindahan dan keberlangsungan alam bawah laut di Pemuteran. Saya salut kepada mereka,” ungkap Annette.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,