Rilis Satwa: Ketika Loney dan Ibing Kembali Terbang Bebas ke Angkasa

Loney dan Ibing, nama dari dua ekor elang ular bido (Spilornis cheela) akhirnya kembali terbang bebas ke angkasa setelah dilepasliarkan ke alam bebas oleh Perkumpulan Suaka Elang pada tanggal 20 Juni 2013. Pelepasliaran (rilis) jenis elang ular bido atau Crested Serpent Eagle ini bertempat di Bumi Perkemahan Sukamantri, TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai bagian dari inisiatif restorasi dan rehabilitasi kawasan hijau koridor taman nasional.

Loney dan Ibing sebelumnya merupakan dua elang hasil sitaan oleh Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) ASTI Gadog.  Dalam setahun terakhir kedua elang ini direhabilitasi oleh pusat rehabilitasi Suaka Elang di Loji-Bogor, sebelum kedua elang ini dinyatakan siap dilepasliarkan ke alam bebas.  Elang ular bido sendiri merupakan jenis elang yang dilindungi, namun saat ini ironisnya termasuk salah satu jenis elang yang sering ditemukan diperjualbelikan di pasar gelap.

Kegiatan pelepasliaran elang ke habitat alaminya telah beberapa kali dilakukan oleh Suaka Elang.  Perkumpulan yang didirikan oleh 12 lembaga yang terdiri dari unsur pemerintah, swasta dan LSM lingkungan ini, sebelumnya pernah melepasliarkan elang di beberapa lokasi seperti Buluh Cina, Riau, Gunung Slamet dan Merapi di Jawa Tengah, serta Pulau Sempu dan Gunung Ijen di Jawa Timur.  Di kawasan TNGHS sendiri, pelepasliaran elang ini merupakan pelepasan lanjutan setelah pelepasan yang dilakukan di Pongkor, Kabupaten Bogor pada bulan Desember 2012 yang lalu.

“Diperlukan beberapa tahapan hingga satwa siap dirilis, termasuk diantaranya persiapan perilaku, cek kesehatan dan pengecekan calon lokasi rilis,” demikian Gunawan dari Suaka Elang menjelaskan sembari menambahkan bahwa kedua satwa ini telah melewati cek kesehatan di Balai Besar Veteriner Bogor.

elang rilis
Saat-saat Loney dan Ibing siap terbang ke alam bebas. Foto: Ridzki R. Sigit

Gunawan menjelaskan bahwa minimal diperlukan 4-6 bulan untuk mempersiapkan elang hingga siap dilepasliarkan ke alam bebas.  Pemilihan lokasi untuk pelepasliaran satwa sendiri memperhitungkan dari beberapa faktor habitat yaitu kelimpahan jumlah pakan di lokasi yang cocok untuk satwa tersebut, jenis satwa yang ada di lokasi dan potensi dampak dan gangguan.  Setelah satwa dilepasliarkan ke alam, maka secara reguler tiap beberapa bulan, satwa tetap dipantau keberadaanya.

Lokasi area TNGHS sendiri merupakan bentang areal pegunungan berhutan alam terluas yang masih tersisa di pulau Jawa. Areal berhutan hujan tropis ini merupakan tempat tinggal dari berbagai spesies endemik dan langka yang masih tersisa di Jawa.

Selain penting untuk habitat satwa, kawasan dengan luas wilayah 103 ribu hektar ini merupakan daerah penting bagi konservasi dan penyedia air bagi wilayah Banten, Bogor dan Jakarta.

Spesies kunci yang hingga saat ini masih hidup di TNGHS diantaranya macan tutul, owa jawa, surili dan berbagai spesies satwa lainnya.  Jenis-jenis burung pemangsa yang tercatat terdapat di TNGHS adalah elang jawa, elang sikep madu, alap-alap cina, alap-alap capung, elang hitam dan elang ular bido.

Diharapkan dengan adanya program rilis, populasi burung pemangsa (raptor) dapat semakin meningkat, sesuai dengan target peningkatan populasi yang dicanangkan yaitu 3% per tahunnya.

elang bido-fakta
Klik gambar untuk memperbesar

Perburuan Satwa

Meskipun telah terdapat program untuk pelepasanliaran satwa ke alam bebas, namun perburuan dan perdagangan satwa di pasar gelap merupakan masalah utama dari kelestarian spesies burung pemangsa. Jenis-jenis elang merupakan primadona burung pemangsa di pasar gelap karena memiliki karisma.  Selain itu memiliki elang dianggap sebagai simbol prestise dari pemiliknya.

“Dari tahun 2005 hingga tahun 2010 untuk perdagangan elang jawa saja, hasil investigasi menunjukkan terdapat 110 pasang (220 individu) yang berhasil diungkap.  Padahal kita tahu elang jawa (Spizaetus Bartelsi) merupakan jenis elang endemik yang langka,” demikian Zaini Rakhman dari Kelompok Raptor Indonesia menjelaskan kepada Mongabay-Indonesia.

Zaini juga menjelaskan bahwa hingga saat ini Indonesia belum mampu untuk menangkarkan elang di luar habitat alaminya.  “Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain seperti Filipina yang telah mampu menangkarkan elang di lokasi eksitu, meski itu baru untuk satu jenis spesies saja di sana.” Masalah kapasitas sumberdaya manusia dan faktor teknologi masih menjadi kendala upaya pengembangbiakan elang di luar habitatnya.

Peneliti raptor dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Prawiradilaga tampak mengamini hal ini.  Perburuan, kerusakan habitat dan penebangan hutan serta berkurangnya pasokan makanan bagi elang merupakan masalah serius bagi keberadaan jenis raptor ini.  Di luar itu, Dewi menambahkan bahwa masih banyak sekali hal yang belum diketahui tentang kehidupan, perilaku raptor, termasuk jumlah detil populasi mereka di alam bebas.

Jenis-jenis raptor dikenal merupakan jenis yang lambat untuk beranak pinak karena berbagai faktor gangguan habitat yang menyebabkan induk jantan dan betina sulit untuk bertemu.

Indonesia sendiri merupakan rumah tinggal dari sekitar 71 spesies raptor diurnal, jumlah tertinggi raptor yang hidup di satu negara dari total 90 jenis raptor yang ada di Asia.  Seluruh jenis elang yang ada di Indonesia dilindungi menurut Undang-Undang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,