,

Nasib Miris Seni Patung dari Sentani

Untuk keperluan mematung, walaupun tak ada aturan baku soal mengambil kayu dari hutan tanah adat, tetapi masyarakat tak bisa mengambil sembarangan.

Yotam Pangkatama memperhatikan foto patung berjudul double figure karya Jacques Viot.. Dalam foto itu, terdapat dua orang laki-laki memegang patung yang kini berada di National Gallery Australia. Dia kagum melihat model patung yang diambil pada 1929 di tanah kelahirannya, Kampung Doyo. Yotam Pangkatama,  adalah pematung kayu dari Kampung Doyo Lama, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.

Patung double figure ini menurut buku panduan dari National Gallery Australia, dalam bahasa asli disebut toreri uno. “Tidak ada arti toreri uno dalam bahasa kami, kalau doreri uno ada, artinya disebut laki-laki,” kata Yotam. Seumur hidup, Yotam tak pernah melihat patung seperti itu dibuat di kampungnya. Doreri Uno berukuran seperti lelaki dewasa. Dia terkagum-kagum. Patung-patung karyanya rata-rata berukuran 0,5 – 1 meter dan berbentuk figur-figur manusia.

Kini dia satu-satunya pematung yang tersisa. Kampung Doyo Lama berada di tepi Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, sekitar 50 kilometer Kota Jayapura. Seperti suku Asmat, 100 tahun lalu kawasan Danau Sentani pusat ukiran. Ada 13 kampung di tepi danau yang membentang dari barat ke timur dengan panjang 30 km dan lebar 10 km itu. Setiap kampung memiliki keunikan dan motif ukiran masing-masing.

“Tujuh puluh tahun lebih masyarakat di kampung-kampung itu tidak mengukir. Awalnya missionaris dan pemerintah Belanda yang melarang, tetapi berlanjut hingga pada 1992 baru digiatkan kembali,”  kata Nico Tanto, Antopolog dari Museum Antropologi Universitas Cenderawasih.

Sejak masuk injil ke kawasan Danau Sentani, sekitar awal 1900-an, segala bentuk benda yang dipercaya memiliki kekuatan roh dan magis dibakar lalu ditenggelamkan ke dasar danau. Masyarakat dilarang dan tidak pernah membuat lagi segala macam patung. “Pemerintah Belanda dan misionaris Kristen Protestan saat itu cukup keras melarang segala pembuatan patung. Bahkan kebijakan pemerintah Belanda membakar semua rumah laki-laki, pusat pendidikan bagi anak muda cukup berperan besar dalam musnahnya kebudayaan ukiran di sekeliling Danau Sentani,” kata Nico. Pada zaman Belanda, siapapun yang membuat patung akan kena denda adat ataupun hukuman kurungan oleh polisi Belanda.

Lucunya, koleksi lengkap ukiran ini, dapat dilihat di Museum Leiden, di Negeri Belanda. “Ini maksudnya apa? Mereka menyuruh membakar, namun pada saat yang sama juga membawa pulang ke negaranya,” kata Tanto.  Kini, masyarakat terputus dengan kebudayaan mereka. Hingga kini, hanya satu sampai dua jenis ukiran patung bisa diukir, dan diturunkan secara diam-diam dalam ukuran miniatur atau mainan anak-anak.

Menurut data Museum Antropologi Uncen, seluruh kampung di seikitar Danau Sentani, sekitar 13 kampung adalah pusat ukiran seperti Asmat. Kampung-kampung ini seperti Asei, Simporo, Babrongko, Kabiterau, Puai, Waena, Yoka, Doyo, Ayapo, Hobong, Yakonde, Ifale, dan Waibu. Di setiap kampung bentuk ukiran berbeda dan hak paten setiap suku. Penjiplakan dapat menyebabkan perang suku. Namun karena terputus hampir 70 tahun, para pengukir tidak mengetahui bentuk bentuk ukiran milik suku mereka.

Saat ini, mereka baru mencari-cari bentuk. Dari museum membantu memberikan contoh ukiran kayu, maupun copian buku berbahasa Belanda berisi foto-foto ukiran kampung mereka yang tersimpan di museum Leiden, Belanda. “Tujuan agar mereka mengetahui ciri ukiran kampung mereka masing-masing dan tidak meniru-niru secara sembarangan.”

Seni ukir di daerah sekitar Danau Sentani dimulai kembali awal tahun 1992. Ketika itu Bentara Budaya Jakarta membuat pameran foto dan ukiran dari Danau Sentani. “Saat itu terjadi ledakan permintaan patung dan ukiran, masyarakat sekitar danau mulai mengukir kembali. Karena permintaan pasar bukan kebutuhan budaya atau seni, akhirnya hasilpun seadanya. Kami bantu dengan informasi mengembalikan model-model asli ukiran mereka,” ucap Tanto Dia sudah bekerja hampir 20 tahun bersama para pengukir sekitar danau.

Menurut dia, bentuk asli jenis patung masyarakat Danau Sentani cukup beragam, seperti tiang rumah, bumbungan rumah, alat makan, alat tidur dan muka (depan) perahu. “Dahulu semua kegiatan ukiran untuk kebutuhan kebudayaan. Seperti tiang rumah biasa berguna sebagai penjaga rumah, bumbungan rumah untuk menyatakan status penghuni rumah dan muka kapal untuk mengusir hantu saat berlayar.”

Dahulu, setiap laki-laki Papua dewasa membuat perahu, membangun rumah,dan menghias sendiri. HIngga semua laki-laki dewasa harus memiliki kemampuan mengukir yang dipelajari di pusat pendidikan anak laki-laki dan di rumah laki-laki yang dikelola masyarakat adat.

Tanto menduga, patung Doreri Uno itu salah satu patung yang ‘selamat’ dari pembakaran. Ia diambil dari dasar danau tahun 1929 dan dibawa ke luar negeri hingga saat ini. Kini masyarakat tidak mengetahui lagi apa arti dari ukiran itu. Tanto menganggap, beberapa pengukir yang memahami arti dalam pembuat seni ukir masih menggunakan kekuatan mistis. “Isitilah Papua ‘makan daun’. Biasa yang makan daun hasil ukiran cepat dan halus sekali seperti memiliki daya tarik. Jika dipamerkan ukiran itu langsung terjual.”

Pematung ini memiliki ritual sendiri sebelum mengukir. Mereka biasa tidak terbuka karena takut dihakimi masyarakat atas alasan agama. Ada beberapa pendeta yang mencoba menghilangkan ilmu-ilmu tadi, dengan mendoakan dan meminta mereka berjanji tidak menggunakan ilmu lagi.  Termasuk tidak dibenarkan menurunkan kepada generasi berikut.

Tradisi “makan daun” dibenarkan oleh Yotam. Menurut dia, walaupun dilarang, ilmu mengukir tidak pernah hilang dari keturunan. “Saya cukup mengangkat pisau ini ke langit dan berkata tolong beri saya pengetahuan, maka kayu bulat ini bisa menjadi ukiran,” ujar Yotam. Namun, hanya sebatas itu saja, dia tidak melakukan ritual seperti sang ayah dulu. Diapun mengukir karena ada pesanan.

Pada generasi ayah dan kakeknya, tak ada aktivitas ukir mengukir. Rumah warga kampung dibuat tanpa ukiran, apalagi patung. Namun, ayahnya sesekali membuat patung mainan dari kayu. Sang ayah tak berani membuat patung ataupun ukiran, karena hukuman badan ataupun denda adat. “Jika ketahuan, keluarga bisa wajib membayar kapak batu hingga lima buah,” kata Yotam. Kapak batu adalah denda yang besar masa itu.

Yotam lalu mengeluarkan fotocopian buku pameran bertema “Sentani Lake” yang diselenggarakan di New York beberapa tahun lalu. Buku ini didapatkan dari Museum Antropologi Uncen yang memesan ukiran. Dengan copian ini, dia jadi belajar motif atau bentuk lain. Meskipun begitu, dia tak tahu makna-makna patung itu. Dahulu, jika ditanya pada ayahnya selalu dijawab tabu.

Dia membuat patung dari kayu besi (kayu merbau). Kayu yang kuat disukai kolektor dari Eropa. Kayu diperoleh dari hutan sekitar kampung. Karena ukuran patung hanya berkisar 0,5 – 1,5 meter, dia tak kesulitan mendapatkan kayu di sekitar hutan di kampung itu. “Jika ada pesanan ukuran besar dari Museum Antropologi, saya beli kayu di Kota Sentani.”  Sebab, untuk memotong kayu besar di hutan memerlukan izin dan dia pun tak memiliki alat memotong.

Walaupun tak ada aturan baku soal mengambil kayu dari hutan tanah adat, tetapi masyarakat tak bisa mengambil sembarangan. “Kami hanya mengambil kayu dari hutan pinggir kampung, tidak boleh masuk hingga ke dalam, kecuali untuk berburu,” katanya. Perburuan dilakukan jika ada pesta adat atau kedukaan. Namun, itupun sudah lama tak dilakukan, karena larangan dari TNI untuk masuk hutan. TNI yang menjaga hutan takut tak bisa membedakan mana TPN/OPM atau masyarakat kampung.

Proses mematungpun menggunakan alat-alat pertukangan sederhana seperti pahat dan kampak. Berdoa sejenak, lalu mengukir. Hasil ukiran lalu direndam di lumpur danau selama tiga hari untuk mendapatkan warna hitam, lalu dijemur hingga kering. Hasilnya, diamplas hingga halus dan siap dipasarkan tanpa pewarna buatan. “Penjemuran untuk memberikan kesan kuno.

Dia mengaku tak kesulitan menjual patung-patung itu. “Jika dalam sebulan ada patung belum laku, saya cukup berkata anak… tidak ada yang mau kawin kamu ka?… masa terus menerus mau tinggal dengan bapa? Segala roh penguasa dunia.. jika ia tidak punya uang transport, tolong berikan, jika tidak punya waktu tolong beri. Tidak lama, mereka datang ke rumah ini dan membeli patung-pantung ini,” kata Yotam.

Tips ini diperoleh dari ayahnya. Dia yakin setiap patung memiliki roh dan jodoh atau pemilik. Dia hanya perantara yang mengantarkan benda-benda ini ke dunia.

Bagaimana dengan harga patung? Sebuah patung berukuran 60 cm sampai satu meter Rp200.000 hingga Rp500.000Ia memerlukan proses mengukir kurang dua hari. Ukiran patung dua meter, dihargai Rp1 juta. Proses pembuatan hingga satu minggu. Namun jika melewati proses perendaman bisa lebih dari satu minggu. Patung direndam untuk memberi warna hitam.

Jika pesanan tiang rumah, harga lebih mahal lagi. “Turis ke museum selalu kebingungan, mengapa harga ukiran begitu mahal, saya jawab karena pematung sedikit. Itu faktanya,” kata Tanto. Pekerjaan mematung tidak dapat dilakukan oleh semua laki-laki Papua, hanya sedikit yang memiliki kesabaran seperti itu.

Ada beberapa anak muda di Kampung Doyo Lama bisa mengukir namun karena kurang sabar, mereka tidak meneruskan talenta itu. “Anak muda sekarang lebih suka bekerja sebagai PNS atau paling buruk tukang ojek. Seniman menjadi alternatif terakhir jika mereka perlu uang atau ada pameran saja baru dikerjakan,“ ucap Yotam. Ditambah lagi, kebiasaan minum-minuman keras, benar- benar menghambat kreativitas anak muda.

Di sisi lain, pemerintah tidak serius. Pematung hanya diperlukan jika ada pameran atau festival kebudayaan. “Untuk pembinaan berkelanjutan tidak ada,” ucap Tanto. Sampai hari ini para Antropolog Uncen dan para pematung di sekitar Danau Sentani,  bahu- membahu mengembalikan budaya di sekitar daerah itu. Namun pengalaman ini tidak menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Papua.

“Hingga saat ini masih saja ada pembakaran benda-benda budaya khusus di sekitar wilayah pegunungan tengah, Papua mengatasnamakan agama. Yang lebih disayangkan lagi pemerintah daerah turut mendukung aksi pembakaran itu, karena benda benda ini menggambarkan animism dan dinamisme,”kata Tanto. Terakhir kali dilaporkan pembakaran di Kabupaten Yahukimo pada Desember 2012.

Yotam P, satu-satunya pematung dari Kampung Doyo yang tersisa. Foto: Angela Flassy
Yotam P, satu-satunya pematung dari Kampung Doyo yang tersisa. Foto: Angela Flassy
Patung-patung Sentani, yang kembali dihidupkan setelah coba 'dimusnahkan." Foto: Angela Flassy
Patung-patung Sentani, yang kembali dihidupkan setelah coba ‘dimusnahkan.” Foto: Angela Flassy
Kampung Doyo, dulu, salah satu kampung di Sentani yang menjadi pusat seni ukiran patung kayu. Foto: Angela Flassy
Kampung Doyo, dulu, salah satu kampung di Sentani yang menjadi pusat seni ukiran patung kayu. Foto: Angela Flassy
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,