,

Ayooo Menabung di Bank Sampah Nemo Papua

Membuka ‘rekening’ di bank ini cukup dengan membawa minimal satu kg sampah, nasabah sudah mendapat buku tabungan dan uang.

Jika ingin membuka rekening tabungan, biasa harus menyetor sejumlah uang dengan nilai minimal tertentu tetapi, berbeda dengan Bank Sampah Nemo, Papua. Menjadi nasabah, cukup membawa sampah minimal satu kilogram (kg),  pas foto ukuran 4×6, foto copy identitas, dan mengisi formulir. Setelah itu nasabah akan mendapatkan buku rekening  bergambar ikan nemo.

“Jadi sama saja seperti bank lain, bedanya di bank lain nasabah datang membawa uang, di bank sampah, nasabah datang membawa sampah minilal satu kg. Mereka akan mendapat nomor rekening dan uang,”  kata  Milka Kiding, salah satu pendiri Bank Sampah Nemo (BSN), Papua.

Bank Sampah Nemo berdiri 7 Mei 2013. Ia lahir dari kekhawatiran sampah-sampah di Kota Jayapura, yang tak memikili pengelolaan memadai. Dimotori lima PNS dari Badan Lingkungan Hidup  (BLH) Kota Jayapura, lahirlah BSN ini.

“Kami selalu sosialisasi kepada pelajar dan masyarakat tentang pentingnya memilah sampah sebelum dibuang ke truk sampah, tetapi kami tak bisa memberi solusi kemana sampah-sampah daur ulang itu dapat di daur ulang,” kata Rudy Gedi, Direktur Bank Sampah Nemo usai sosialisasi awal BSN Papua di SMK Negeri I Jayapura, Senin (22/7/13).

Mereka sudah beberapa kali mengusulkan program bank sampah dalam sebuah mata anggaran BLH Kota Jayapura, tetapi belum disetujui. Kelimanya pun patungan mendirikan BSN Papua. “Nama Nemo dipilih agar mudah diingat anak-anak,”  ucap Milka.

Tujuan utama pendirian BSN Papua adalah mereduksi sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA). Tak seperti kota lain di Indonesia, walau telah menerima Adipura, hingga saat ini (TPA) Nafri masih menggunakan sistem open dumping.

“Tak ada proses apapun di TPA Nafri. Pengumpulan hanya oleh pemulung, sisanya dibakar,” kata Gedi. Sistem ini, bertentangan dengan UU No.18/2008, tetapi pemerintah kota tak segera membenahi TPA. “Jika masyarakat tahu aturan ini, Pemkot Jayapura bisa di-class action oleh masyarakat.”

Kini, BSN Papua, masih menerima sampah secara terbatas. Mereka baru menerima sampah, seperti botol plastik, kertas HVS dan kertas koran. “Tempat penyimpanan kami masih terbatas. Kami baru membeli yang mudah pengolahannya.” BSN Papua mengumpulkan kertas, mencacah botol plastik lalu mengirimkan ke Surabaya.

Mereka juga mensosialisasikan dan mengangkut dengan kendaraan sendiri. “Sampai saat ini, selain kami berlima, kami juga memperkejakan dua karyawan tidak tetap,” kata Gedi.

Menurut dia, dengan BSN Papua setidaknya masyarakat Jayapura mendapatkan tiga manfaat. Pertama, manfaat ekonomi karena menyetor sampah mendapatkan uang. Kedua, manfaat pendidikan,  nasabah mendapatkan pendidikan lingkungan dan manfaat lingkungan. “Masyarakat pun mendapatkan lingkungan lebih bersih.”

Dalam sosialisasi di SMKN 1, siswa  dan para guru begitu antusias. Usai sosialisasi, rombongan BSN Papua membuka tabungan BSN Papua, atas nama SMK Negeri  1 Jayapura.  “Anak-anak maupun para guru sangat tertarik dengan Bank Sampah Nemo. Saya harap dapat berkelanjutan, karena anak-anak sudah sangat berminat. Jangan sampai putus di tengah jalan,”  kata Danang, guru honorer yang mengkoordinir bidang kebersihan sekolah.

Setahun lalu, SMK Negeri 1 Jayapura telah memenangkan perintis Adiwiyata tingkat Kota Jayapura dan tengah mempersiapkan diri mengikuti Adiwiyata tingkat nasional.

Buku rekening tabungan sampah para nasabah BSN, Papua. Foto: Angela Flassy
Buku rekening tabungan sampah para nasabah BSN, Papua. Foto: Angela Flassy

Elisabeth Patsoal, Kepala sekolah SMK Negeri 1 Jayapura, mengatakan, selama ini mereka sudah memilah sebagian sampah tetapi kembali menyatu di truk sampah, karena belum ada bank sampah. Padahal, SMKN 1 Jayapura sudah memiliki bak-bak penyimpanan sampah anorganik yang siap daur ulang.

Sampah anorganik dipilah-pilah dalam bak-bak berdasarkan kriteria kertas, botol plastik, botol kaca dan kaleng. “Kami selalu mengajarkan pada anak-anak, sampah-sampah ini akan dijual di bank sampah. Ternyata di Jayapura tak memiliki bank sampah,” kata Patsoal.

Akhirnya sekolah berinisiatif, menjual kaleng ke pembeli besi tua. Sisanya, terpaksa menyatu ke truk sampah. Kondisi ini terjadi di semua sekolah di daerah ini.  “Sudah mendidik dan mengajarkan para siswa memilah sampah, tetapi tak ada bank sampah yang menampung.” Dia bersyukur, Bank Sampah Nemo, hadir.

Data Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman (DKPP) Kota Jayapura, volume sampah harian kota 1.080,75 meter kubik. Diangkut ke TPA Nafri hanya 473, 08 meter kubik. Sisanya, 607,66 meter kubik tidak terangkut.

Jika dilihat dari sumber, 48 persen berupa sampah domestik dan 52 persen sampah non domestik.  Terbatasnya armada dan tenaga DKPP menjadi  kendala. “Armada truk sampah milik Kota Jayapura hanya 44 unit. Untuk mengangkut seluruh sampah, setiap armada harus dua kali bolak-balik TPA Nafri,” kata Nur Alam, Wakil Walikota.

Besarnya timbunan sampah per hari 3,88 liter per orang per hari. Angka ini jauh di atas standar, jika merujuk pada besaran timbunan berdasarkan klasifikasi kota (SNI 19.3964-1944). Dengan jumlah penduduk kota tahun 2010 sebanyak 256.705 jiwa, termasuk dalam klasifikasi kota sedang, besaran timbunan sampah tidak diizinkan melebihi 3,25.

Dengan selisih yang begitu besar, masyarakat masih membakar dan membuang sampah anorganik ke sungai, yang berakhir di Teluk Yotefa. “Yang paling mengganggu ekosistem pantai itu botol plastik. Pekan lalu kami sosialisasi di pantai Dok IV. Dua hari kemudian, masyarakat di sana sudah meminta kami datang kembali untuk menabung,” ucap Gedi.

Rudy Gedi, salah satu penggagas bank sampah, kini menjadi direktur BSN, Papua. Foto: Angela Flassy
Rudy Gedi, salah satu penggagas bank sampah, kini menjadi direktur BSN, Papua. Foto: Angela Flassy
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,