, ,

3 Pahlawan Lingkungan Sumut Kembalikan Penghargaan Pemerintah

Kecewa mendalam terhadap ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi hutan dan lingkungan, membuat tiga pahlawan lingkungan dari Sumatera Utara (Sumut) akan mengembalikan penghargaan yang mereka terima.  Penghargaan itu yakni,  Danau Toba Award dari Gubernur Sumut, Wanalestari diberikan Menteri Kehutanan dan Kalpataru dari Presiden.

Mereka merasa, pemerintah dari daerah sampai pusat telah menciderai program ‘hijau’ mereka sendiri dengan membiarkan hutan terbabat dan lingkungan makin rusak.

Tiga orang ini adalah Marandus Sirait dari Kabupaten Samosir akan mengembalikan penghargaan Wanalestari ke Menhut, Kalpataru ke Presiden dan Danau Toba Award kepada Gubernur Sumut. Lalu, Wilmar Simandjorang dari Kabupaten Toba Samosir akan mengembalikan Wanalestari dan Danau Toba Award. Hasoloan Manik dari Kabupaten Dairi akan mengembalikan penghargaan Kalpataru  kepada Presiden.

“Nanti 2 Agustus kami ke Medan, serahkan penghargaan (Danau Toba Award) ke Gubernur. Baru habis Lebaran ke Jakarta, serahkan Wanalestari dan Kalpataru ke Menhut dan Presiden,” kata Sirait kepada Mongabay, Jumat (26/7/13).

Dia mengatakan, sungguh kecewa karena pemerintah kurang serius menjaga hutan. Padahal, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) gencar penamanan satu miliar pohon, dan di Danau Toba, ada program Toba Go Green oleh TNI. “Tetapi menjaga hutan yang sudah ada tak bisa,” ujar dia.

Menurut dia, banyak laporan masuk dari masyarakat maupun temuan dia tentang perambahan hutan. “Kita terlibat melaporkan perambahan hutan, baik saya maupun di kabupaten lain, semua nihil. Ini buat kita geram. Pemerintah tak serius. Padahal tak susah urusin itu.” “Sudah laporan ke dinas, ke DPR. Sama aja buang -buang waktu. Tidak bermanfaat.”

Sirait menilai, pemerintah hanya ‘menjual’ program penghijauan di Danau Toba, maupun penanaman satu miliar pohon. “Lebih bagus jaga hutan yang ada daripada tanam pohon. Kalau tumbuh. Ditanam tak dijaga ngapain.”

Dengan penghargaan yang dia terima, katanya, malah menjadi beban mental kala kerusakan hutan dan lingkungan terus terjadi di wilayah itu. “Ini gimana ya, kita lihat keadaan seperti itu, sementara masyarakat minta banyak berbuat, tapi kita tak bisa berbuat apa-apa. Kadang ada yang mencurigai kita dapat sogok. Daripada bingung-bingung dapat penghargaan, lebih baik kembalikan saja. Kita tetap berbuat walau tanpa penghargaan dan tak ada beban.”

Sirait sehari-hari aktif mengelola Agro Wisata Taman Eden. Di sini,  wisata sekaligus penyuluhan dan menjadi percontohan kecil di kawasan Danau Toba. Agro wisata rohani ini, katanya, berwawasan lingkungan hidup,  ada pembibitan tanaman untuk membantu Danau Toba. Ada juga penangkaran anggrek di kawasan Danau Toba.  “Kami buat penanaman tanaman khas Danau Toba, dan pembinaan sanggar tari untuk kegiatan lingkungan hidup juga.”

Mereka melakukan pembinaan-pembinaan ke sekolah-sekolah, sampai ke gereja. “Tapi merasa jadi sia-sia karena hutan yang ada terus dirusak. Kita geram, apalagi  orang kehutanan dan aparat terlibat. Adapun ditangkap tapi tak diproses.”

Dia melihat sendiri bagaimana sulitnya penegakan hukum kepada para cukong atau orang berduit yang terlibat pembalakan liar. “Kalo warga yang tak punya apa-apa cepat sekali menangkap, walau tak ada yang melapor.  Bukan saya bela mereka, mereka juga berbuat salah.”

Pada tahun 2011, dia pernah datang ke Kemenhut, membawa empat tuna netra untuk bertemu Menhut. “Tuntutan ketemu menteri dan beri bibit khas. Ini untuk ingatkan menteri agar pedulikan Danau Toba. Saya ingin bawa pesan, yang tuna netra saja peduli kerusakan hutan (walau tak melihat), gimana yang melihat?” Ternyata tak ada perubahan. Jurus terakhir, penghargaan nasional rela dilepaskan.  “Kami ingin mengetuk hati pemerintah.”


Senada dengan Simanjorang. Pria yang pernah menjadi Pjs Bupati Samosir ini juga kecewa dengan tindak tanduk pemerintah dalam menjaga hutan. “Kita dengar gerakan satu miliar pohon dari Presiden. Ada Pangdam dengan Toba Go Green. Ada inpres moratorium, tapi kita yang hidup bersama rakat di hutan dan di desa melihat kondisi hutan, memilukan hati,” katanya.

Selama empat tahun ini, dia mengabdikan diri dengan menanam pohon di kawasan Taman Tangkapan Air Danau Toba.  Hutan gundul dia tanami dengan upaya sendiri. “Buka lahan susah, rawat susah. Ini yang sudah ada ditebang.”

Menurut dia, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan Indonesia kurang bertanggung jawab. “Pembakaran hutan dibiarkan. Ironis. Di Samosir, ada izin-izin sawmil.”

Pandangan memilukan di hutan Tele, Samosir. Kayu-kayu besar ditebang, hilir mudik diangkut truk.  Bupati memberikan izin lokasi kepada PT GDS di hutan sekitar 800 hektar. Mereka mulai menebang Mei 2013, dengan menutup sungai dan membabat pohon-pohon di lahan dengan kemiringan yang seharusnya tak boleh ditebang. Anehnya, izin lingkungan, izin usaha sampai hak guna usaha belum ada, tetapi hutan sudah ditebangi.  “Mau bangun itu hanya kedok. Tujuan mengambil kayu.”

Bagi Simanjorang, kegilaan sudah terlalu gamblang. Kadis Kehutanan Samosir, sudah mengeluarkan pemberhentian sementara kepada, PT GDS. Dari Badan Lingkungan Hidup Sumut, pun sudah mengirimkan surat minta menghentikan penebangan hutan dan mengurus izin lingkungan sejak Juni 2013. Bak anjing menggonggong kafilah berlalu. Penebangan oleh perusahaan milik kerabat pejabat DPRD dan Bupati Samosir ini,  terus berlanjut.

Simanjorang telah mengadu ke mana-mana, dari Kapolda, Gubernur, Kemenhut, Mabes Polri, Satgas REDD+ tetapi tak ada tanggapan. “Ini yang saya tanyakan ada apa. Ada siapa di balik itu?”

Perjuangannya menjaga hutan bukan tanpa ancaman. Dia menceritakan, pada Mei 2013,  ada masyarakat lapor ada kayu keluar dari hutan. “Saya tak tahan, lalu ke lokasi dengan dua anak saya.” Sebelum masuk lokasi, ada pos polisi dan dia sudah lapor akan masuk hutan.

Ketika sedang mengamati, satu karyawan PT GDS  keluar dari truk yang membawa kayu dan mengejar dengan parang. Dia lari. “Tolong-tolong….Saya teriak sama polisi. Polisi takut.”  Demi menyelamatkan diri, dia melemparkan kamera yang berisi dokumentasi penebangan dan pengangkutan kayu. “Saya teriak, polisi diam. Lalu pisau menghancurkan kamera.”

Dia heran mengapa polisi tak mampu berbuat apa-apa. “Ini ada apa? Saya adukan ke Polda sampai Polri, tapi tidak ada balasan surat apa-apa.” Perkembangan terakhir, kasus ancaman pembunuhan itu di Polda sudah masuk tahap penyidikan.

Melihat kondisi ini, diapun tak tahan memegang beragam penghargaan yang diberikan pemerintah itu. “Buat apa piagam-piagam ini. Mereka memberi penghargaan tetapi tidak menghargai penghargaan itu sendiri.”  “Tak tahan lagi dengan kerusakan. Pertama, lingkungan rusak, kedua masyarakat bingung dan konflik pun terjadi.”

Dia mengenang kala menerima penghargaan Wanalestari dari Menhut pada Agustus 2011. “Capek berjas ke Istana. Itu penghinaan. Des 2011, dapat lagi Danau Toba Award ditandatangani Pj Gubernur Gatot Pujo. Mau aku kembalikan semua ini.”  “Aku bangga dulu sama SBY. Aku pilih, tapi sekarang kecewa SBY dan stafnya.”

Wilmar S, dengan latar bekalang bukit gundul yang coba dia tanami dalam beberapa tahun ini. Dia kecewa, karena 'program hijau' pemerintah hanya gembar gembor tetapi di lapangan hutan terbabat. Penghargaan yang dia terimapun bersama dua rekan pejuang lingkungan, akan dikembalikan. Foto dari Facebook Wilmar S
Wilmar S, dengan latar bekalang bukit gundul yang coba dia tanami dalam beberapa tahun ini. Dia kecewa, karena ‘program hijau’ pemerintah hanya gembar gembor tetapi di lapangan hutan terbabat. Penghargaan yang dia terimapun bersama dua rekan pejuang lingkungan, akan dikembalikan. Foto dari Facebook Wilmar S
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,