Operator REDD+ dan Greenomics Masih Belum Sepakat Soal Legalitas Proyek Karbon Hutan di Kalimantan Tengah

Adu argumen antara Infinite Earth, sebagai operator proyek karbon hutan yang diklaim terbesar di Indonesia saat ini, dengan LSM Greenomics terkait status hukum proyek karbon hutan tersebut. Dalam pernyataan sebelumya, pihak Infinite-Earth telah menyatakan bahwa Proyek Rimba Raya di Kalimantan Tengah sudah mendapat izin restorasi ekosistem untuk kawasan seluas 36.000 hektar di hutan gambut. Perusahaan yang berbasis di Hong Kong ini mengeluarkan pernyataan setelah bulan lalu Greenomics merilis laporan yang menyatakan bahwa Infinite Earth berlebihan dalam mengklaim luasan proyek mereka.

“Total proyek Rimba Raya yang disetujui oleh Kementerian Kehutanan RI seluas 64.000 hektar, dengan tiga izin penggunaan lahan yang berbeda: lewat Peraturan Menteri seluas 36.000 hektar, lewat kesepakatan kerjasama pengelolaan lingkungan dengan Taman Nasional Tanjung Puting lebih dari 18.000 hektar dan kesepakatan komersial dengan perusahaan minyak kelapa sawit lebih dari 8.000 hektar,” ungkap pernyataan tersebut. “Kami tak pernah menyebut kami sudah menerima izin dari Kementerian Kehutanan untuk pengelolaan lahan seluas 64.000 hektar.”

Greenomics Indonesia pada bulan Desember 2012 silam seperti dimuat oleh Mongabay-Indonesia, dalam laporan berjudul Indonesia’s First REDD+ Project Not a Done Deal, Despite Promoter’s Claims mengungkap fakta legal, bahwa belum ada persetujuan resmi bagi PT Rimba Raya Conservation (RRC) untuk menggarap proyek REDD+ di Indonesia.

Dalam laporan Greenomics menyebutkan, proyek RRC belum menerima persetujuan hukum atau izin restorasi ekosistem untuk proyek REDD+ seluas hampir 80 ribu hektar di Kalteng, mengacu pada surat Menteri Kehutanan.  Greenomics meminta, proyek ini tak mengganggu  Taman Nasional Tanjung Puting.

Tak hanya itu. Klaim pengelolaan kawasan sekitar 80 ribu hektar juga disoroti Greenomics. Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, mengatakan, klaim lahan PT RRC dan Infinite-Earth dalam siaran pers berjudul Indonesia Approves Landmark Forest Conservation Project, tak berdasar.

“Tak ada fakta hukum yang membuktikan jaminan izin oleh Menteri Kehutanan untuk PT RRC dengan hampir 80 ribu hektar,” katanya dalam laporan yang dirilis 14 Desember 2012 itu.

kalteng_0072
Konversi lahan hutan gambut di Kalimantan Tengah untuk menjadi perkebunan sawit. Foto: Rhett Butler pada Maret 2013

Fakta hukum yang ditemukan Greenomics adalah surat Dirjen Planologi tertanggal 13 November 2012, yang menyebutkan,  kawasan yang dipertimbangkan untuk operasi restorasi ekosistem PT RRC  sekitar 56.925 hektar. Lahan itu terdiri dari kawasan konservasi 17.256 hektar, hutan produksi tetap 21.963 hektar, hutan produksi konversi 11.741 hektar dan bukan kawasan hutan 5.965 hektar.

Surat dirjen itu menyebutkan, dengan mengikuti ketentuan hukum dan peraturan berlaku, maka daerah konservasi harus dikelola bersama PT RRC dan manajemen Taman Nasional Tanjung Puting, serta hutan produksi tetap dikelola berdasarkan lisensi restorasi ekosistem. Lalu, hutan produksi konversi yang akan dikelola berdasarkan izin restorasi ekosistem serta non-kawasan hutan harus dikelola berdasarkan izin restorasi ekosistem. Juga tunduk pada rekomendasi Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk penunjukan sebagai hutan produksi permanen.

Berdasarkan fakta hukum itu,  hanya 21.963  hektar akan langsung dipertimbangkan masuk  izin restorasi ekosistem PT RRC  tanpa perlu terlebih dulu mengubah status atau fungsi hutan.  “Jadi jelas, klaim yang menyatakan izin pada hampir 80 ribu hektar tak berdasarkan pada perspektif hukum sama sekali,” ucap Elfian.

Namun Rimba Raya menyanggah lewat operator mereka, Infinite Earth yang mengatakan bahwa hanya 47.000 hektar dari Proyek Rimba Raya ini yang menghasilkan kredit karbon, dan bukan 64.000 seperti yang disebutkan oleh Greenomics. Infinite Earth menjual kredit karbon ini di pasar karbon sukarela (voluntary market), dimana perusahaan dan individu bisa membeli karbon offset untuk program Corporate Social Responsibility (CSR) mereka dan sebagai bagian dari upaya pencegahan mereka terhadap emisi gas rumah kaca.

Sanggahan Infinite Earth

“Fakta yang tidak terbantahkan terjadi pada saat Rimba Raya sempat vakum, area ini sudah akan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit saat ini,” ungkap pernyataan ini “Sebaliknya, sejumlah komunitas yang secara tradisional masih tergantung pada hutan saat ini masih memiliki harapan untuk melanjutkan cara hidup mereka, dan tidak diperbudak oleh perkebunan kelapa sawit, dan Rimba Raya akan membantu mereka untuk meningkatkan standar hidup mereka.”

Lewat proyek yang dijalankan ini, Infinite Earth juga menyatakan bahwa mereka juga membayar pajak kepada Pemerintah RI lewat izin yang didapat. “Rimba Raya membayar sama persis seperti yang dibayar oleh konsesi perkebunan kelapa sawit dan kayu untuk memberikan program pengembangan masyarakat, dan tidak bisa disamai oleh perkebunan sawit yang selama ini banyak menebar janji saja.”

Adu argumen ini nampaknya masih belum mencapai kata final. Lewat pernyataan terbaru mereka, Greenomics kembali membantah pernyataan Infinite Earth. Masih belum jelas, bagaimana babak akhir dari perdebatan antara Greenomics maupun Infinite Earth yang masih terus berkutat dalam area legalitas Proyek Rimba Raya ini. Berikut adalah sanggahan terakhir Greenomics Indonesia terhadap pernyataan Infinite Earth seperti dimuat Mongabay-Indonesia tanggal 21 Juli 2013 silam.

Tanggapan Greenomics

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,