, ,

Rignolda Djamaludin: Terjadi Pelanggaran HAM Luar Biasa terhadap Nelayan Manado

Masih ingat tragedi tahun 2004 di Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara? Beberapa warga di Teluk Buyat meninggal dunia karena penyakit ‘tak biasa.’ Mereka diduga tewas terpapar limbah PT Newmont Minahasa Raya yang mencemari laut.

Satu nama yang menjadi ‘musuh’ anak perusahaan Newmont Gold Company yang bermarkas di Denver Colorado, Amerika Serikat, itu adalah Rignolda Djamaludin. Dialah aktivis yang konsisten mengadvokasi kasus pencemaran Teluk Buyat dan membantu masyarakat korban pencemaran di Buyat, kala itu.

Perusahaan membalas. Oda, sapaan akrabnya, dituding pencemaran nama baik mengakibatkan kerugian sangat besar, baik materiil, maupun imateriil bagi Newmont. Dia pun diseret ke Pengadilan Negeri Manado. Pengadilan memvonis bersalah dan harus membayar denda US$750 ribu. Begitupula di Pengadilan Tinggi. Rignolda mengajukan kasasi. Baru dia bernafas lega ketika Mahkamah Agung, memenangkan gugatannya.

Kini, Oda tetap berjuang membela masyarakat kecil terpinggirkan dan lingkungan yang teraniaya di sela aktivitas sebagai pengajar di Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Dia masih dipercaya sebagai Direktur Perkumpulan Kelola, organisasi yang konsern pada isu-isu wilayah pesisir. Dia juga dipercaya nelayan memimpin Aliansi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara  (Antra).

Saat ini, dia bersama nelayan tradisional di Manado, berjuang merebut kembali kedaulatan nelayan atas sumber daya pesisir dan laut. Perjuangan itu dilakukan di tengah gencarnya pembangunan Kota Manado melakukan reklamasi pantai.

Mongabay Indonesia berkesempatan mewawacarai Rignolda Djamaludin di Daseng, rumah singgah nelayan, juga sekretariat Antra Sulut. Ia berada tepat di antara deretan mal-mal di Kota Manado. Berikut petikan wawancaranya:

Laut yang telah dikotak-kotak demi alasan 'pembangunan ekowisata' di Kota Manado. Kehidupan nelayan pun makin terdesak. Foto: Christopel Paino
Laut yang telah dikotak-kotak demi alasan ‘pembangunan ekowisata’ di Kota Manado. Kehidupan nelayan pun makin terdesak. Foto: Christopel Paino

 Mongabay Indonesia: Saat ini, apa ancaman yang dihadapi nelayan tradisional di Sulawesi Utara, khusus di Teluk Manado?

Rignolda Djamaludin: Ancaman sangat potensial saat ini adalah rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Manado membangun jalan seberang laut, di daerah Malalayang 1 bagian barat. Di sana, ada komunitas nelayan kami yang terancam kehidupannya karena akses melaut akan ditutup.

Selain itu, yang sedang dibahas Pemkot yaitu penimbunan bagian tengah kota di daerah Titiwungan, kelurahan Wenang. Ada tempat perahu sementara bagi nelayan, tapi tidak jelas. Kemungkinan nelayan itu akan digusur. Meksipun peluang bertahan kecil, saat ini dalam proses advokasi.

Namun, yang terancam ditimbun segera itu ada di Kelurahan Sindulang I dan II, dan Kelurahan Maasing. Sekarang,  semua mengarah ke sana untuk ditimbun beberapa blok. Lokasi terletak antara Pantai Bitung Karang Ria. Tiga lokasi ini terancam dimusnahkan.

Untuk daerah Malalayang I lingkungan I, kondisi masih status pra mediasi, belum dieksekusi. Di sana nelayan mengorganisir diri lagi dengan membuat Forum Nelayan Pesisir Pantai Malalayang II. Mereka membentuk forum untuk melawan dan mempertahankan pesisir pantai. Nah, kasus ini semua dalam fokus advokasi kami.

Di daerah sini (lokasi sekretariat Antra Sulut – red), juga akan ada penimbunan tidak jauh dari Daseng, tempat kami tinggal, yang merupakan bagian pembangunan Manado Town Square 3.

Mongabay Indonesia: Apakah Daseng ini juga akan tergusur, mengingat lokasi berada di tengah-tengah kota, apalagi di antara deretan mal-Mal dan hotel di Manado?

Rignolda Djamaludin: Kalau di Daseng,  yang menjadi sekretariat nelayan tradisional saat ini akan kami pertahankan. Lokasi kami di Teluk Manado ini masih tergolong aman, karena berstatus hukum kuat. Tempat ini bukan karena ada izin mendirikan bangunan, tapi kami memperjuangkan lokasi ini sebagai lahan terbuka pantai, hasil mediasi dengan Komisi Nasional HAM. Di sini, lokasi cukup aman dan berstatus hukum kuat juga di Pantai Bitung Karang Ria, di Kelurahan Tuminting. Di daerah itu, jumlah nelayan lebih besar.

Mongabay Indonesia: Sejak kapan nelayan tradisional di teluk Manado ini digusur?

Rignolda Djamaludin: Proses penggusuran pertama kali terjadi di awal tahun 1980-an.  Dulu rumah-rumah nelayan dipindahkan dan ada yang terpaksa harus menjual tempat. Bahkan dahulu, dari gambar, perahu-perahu nelayan ada yang naik sampai ke jalan. Lama-lama nelayan hilang, karena akses mereka melaut dihilangkan.

Dari kasus-kasus yang ada, pemerintah mengkonsepkan nelayan bisa dikompensasi, seperti ganti rugi profesi, berupa uang. Hitung-hitungan dari perahu dan alat tangkap nelayan. Ketika timbunan berjalan, entah kenapa nelayan percaya begitu saja, tidak ada perlawanan.

Pemerintah kemudian menempatkan nelayan tidak dalam posisi penting. Di era itu, nelayan ketakutan, belum lagi ada yang berpandangan tidak boleh melawan apa kata pemerintah. Ya, memang berat perjuangan nelayan bertahan hidup.

Akhirnya, nelayan bagian tengah Teluk Manado ini hilang. Wilayah pesisir ditimbun dan dibikin jalan. Pemerintah lalu mengalih profesikan mereka, dan berasumsi kalau ada mal, kan bisa bekerja di mal. Ada juga nelayan meski digusur tetap mencari ikan di tempat lain.

Mongabay Indonesia: Bagaimana perhatian pemerintah terhadap nelayan?

Rignolda Djamaludin: Pemerintah memandang sektor perikanan dan kelautan sebagai hal tidak strategis secara ekonomi. Posisi nelayan terus dilemahkan, antara lain soal penutupan akses melaut tadi. Di mana-mana pemerintah tidak pernah memberitahukan kepada masyarakat dasar mereka melakukan penimbunan. Selalu alasan hanya ada perjanjian kerja sama (PKS) dengan pengusaha.

Seperti sekarang, pada pembangunan Manado Town Square 3. Hanya karena soal perjanjian kerja sama tadi, pemerintah dan investor gagal melihat pantai dan laut sebagai aset. Posisi nelayan terus melemah.

Rigolda Djamaludin, yang gigih bersama nelayan memperjuangkan hak dan wilayah hidup nelayan yang tergusur. Foto: Sapariah Saturi
Rigolda Djamaludin, yang gigih bersama nelayan memperjuangkan hak dan wilayah hidup nelayan yang tergusur. Foto: Sapariah Saturi

Mongabay Indonesia: Bagaimana posisi Antra melihat persoalan ini?

Rignolda Djamaludin: Sekedar diketahui, Antra itu berdiri tahun 2010, lalu disepakati banyak hal. Antara lain, bagi wilayah yang sudah terampas direbut kembali, yang belum, dipertahankan, dan sementara berproses harus diambil.

Sebenarnya, kami melihat kalau dalam bahasa HAM, telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia secara luar biasa terhadap nelayan. Kenapa? Ya, karena profesi orang dirampas begitu saja, kemudian secara sistematis profesi tadi dilemahkan.

Di Antra, ada beberapa nelayan ditangkap aparat  karena melakukan perlawanan. Seperti di Malalayang, pada Mei 2012. Ketika itu,  penimbunan diprotes nelayan dan sempat bentrok dengan preman dan aparat. Nelayan ditangkap, dipukul, termasuk saya.

Bagi nelayan tradisional di sini sudah hal biasa bolak-balik penjara. Saya pun sering diperiksa polisi. Kami sudah tak bisa menghitung lagi berapa kali bolak-balik kantor polisi. Tapi kalau mau menangkap nelayan, aparat itu harus berhadapan dengan organisasi.

Dalam konteks perlawanan ini, saya kira bukan hanya pengembang yang hebat, tetapi aparatur kita juga bobrok. Mereka terlalu mudah dimanfaatkan. Padahal kita punya Peraturan Daerah nomor 38 tahun 2003 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis masyarakat. Isinya, setiap pembangunan di wilayah pesisir itu harus diberitahukan kepada masyarakat dan mendapatkan izin masyarakat.  Namun, Peraturan Daerah itu pun diacuhkan. Tidak mungkin masyarakat dilibatkan, masyarakat itu hanya obyek.

Menghadapi keputusan model begitu, syaratnya perlawanan dan advokasi. Itu harus dikawal, meski kemudian nelayan dianggap pembuat masalah, padahal mereka korban. Proses ke arah sana tidaklah mudah, apalagi tidak mendapatkan dukungan dari publik Manado.

Nelayan bergerak sendiri karena kebijakan pemerintah tadi oleh publik dipandang sebagai kebenaran. Hebat, dan wah.

Mongabay Indonesia: Bagaimana dengan pendekatan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) terhadap nelayan tradisional?

Rignolda Djamaludin: DKP sendiri harus memiliki peran sebagai penguatan kepada nelayan, malah sebaliknya. DKP menggunakan pendekatan kelompok nelayan hanya untuk bantuan. Mereka (DKP), mengeluarkan data jumlah nelayan tradisional berdasarkan kelompok bentukan. Baru-baru ini, data DKP, kelompok nelayan ada 182. Itu artinya ada 1.820 orang nelayan di Teluk Manado. Kalau dihitung-hitung jumlah itu sangat banyak, dan tumpang tindih. Hanya karena ada bantuan, jumlah menjadi banyak.

Nah, hasil evaluasi kami, uang yang turun dari DKP dengan membentuk kelompok-kelompok tadi, tanpa disadari oleh nelayan sendiri itu melemahkan posisi mereka. Ini menjadikan nelayan sebagai pengemis. Karena meminta uang bikin kelompok. Kami juga mau minta kepada DKP agar menunjukkan mana saja jumlah yang diklaim 182 kelompok. Itu tidak mungkin menurut kami.

DKP juga merusak proses pengorganisasian nelayan, mereka menghancurkan dengan memberikan bantuan. Itu pelemahan sistematis lewat bantuan. Akhirnya benang merah, adalah organisasi harus lebih baik. Satu persatu dilakukan advokasi.  Jadi, organisasi menjadi penting bagi nelayan tradisional.

Mongabay Indonesia: Berapa jumlah nelayan tradisional yang menjadi anggota Antra?

Rignolda Djamaludin: Untuk Antra anggota mencapai 582 nelayan tradisional. Nelayan di Antra itu sukarela, karena nelayan mau dipandang sebagai profesi. Tidak seperti DKP, hanya ada bantuan, tiba-tiba nelayan bertambah.

Mongabay Indonesia: Manado memiliki semboyan sebagai kota Ekowisata. Bagaimana mana Anda melihat semboyan ini?

Rignolda Djamaludin: Untuk ekowisata sendiri, saya tidak tahu pemerintah meletakkan di mana. Karena pemerintahan sebelumnya, juga mengatakan Manado menuju kota wisata dunia 2010. Ini sudah 2013, dan periode sekarang tinggal dua tahun lagi. Entah di mana ekowisatanya.

Ekowisata sendiri konsepnya bicara lebih ke jasa lingkungan wisata, seperti wisata bahari. Kami saja yang setiap hari di sini kumpul, sampah itu berton-ton. Laut betul-betul tidak dihargai. Jadi saya juga bingung, ekowisata di mana? Saya rasa ekowisata dalam semboyan pemerintah itu salah kata, atau berpura-pura salah, atau latah aja.

Wisatawan saja kalau jalan di jalan, ada yang jatuh dilubang. Menurut saya, kalau ada wisatawan yang datang ke sini, berarti itu kecelakaan, dalam arti sudah terlanjur datang. Lah, jembatan saja disebut ekowisata. Manado itu pantasnya jadi kota event. Karena masyarakat senang dengan event, entah yang level nasional maupun internasional. Itu disebut pembangunan kemajuan.

Kami  juga tidak melihat arah pembangunan jelas untuk laut. Laut justru menjadi sesuatu, yang kalau masih boleh ditimbun, ya timbun. Jangan-jangan ini memang ketidaktahuan pengelola pemerintahan ini atau ketidakmampuan mengelola sumber daya, atau di situ ada permainan uang.

Plang Antra, yang tertancap kokoh, di samping kiri-kanan plang itu dinding seng menutup akses ke laut karena dalam proses pembangunan. Foto: Sapariah Saturi
Plang Antra, yang tertancap kokoh, di samping kiri-kanan plang itu dinding seng menutup akses ke laut karena dalam proses pembangunan. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,