Pertobatan Pembalak Liar Hutan Desa Segamai (Bagian III): Jalan Panjang Menikmati Manisnya Hutan Desa

Hutan desa yang akan dikelola masyarakat Desa Segamai dan Desa Serapung, Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan Riau berada di lansekap hutan gambut Semenanjung Kampar. Secara administratif, lansekap ini berada di dua kabupaten, Pelalawan dan Siak dengan jumlah 28 desa yang tersebar di sekitarnya.

Menurut data Jaringan kerja penyelamat hutan riau (Jikalahari), kekayaan keanekaragaman hayati hutan gambut ini sangat tinggi. Dengan luas 682,511 sementara yang masih cukup bagus tutupan hutannya sekitar 300 ribu hektar. Di dalamnya terdapat kawasan lindung yakni Suaka Margasatwa (SM) Danau Pulau Besar, Tasik Belat, Tasik Metas dan Tasik Serkap. Sementara di bagian pesisir timur terdapat ekosistem hutan mangrove.

Riset itu juga mengungkapkan potensi kayu yang tinggi yakni 280 meter kubik per hektar dengan 58 jenis flora yang 10 jenis di antaranya dilindungi seperti pohon Ramin (Gonystylus bancanus) dan meranti lilin (Shorea teysmaniana) yang tidak boleh diperdagangkan secara internasional berdasarkan CITES karena terancam punah. Selain itu juga ada 25 jenis fauna yang 7 jenis di antaranya juga dilindungi seperti harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae).

Laporan penilaian teknis “Setting Priorities for the Conservation and Recovery of Wild Tigers: 2005-2015” yang diterbitkan oleh WCS, WWF, Smithsonian dan NFWF-STF mengidentifikasikan Kuala (Semenanjung) Kampar sebagai satu lansekap konservasi harimau kelas II yang berarti kawasan yang memiliki habitat memadai untuk 50 harimau, tingkat ancaman yang sedang, dan basis untuk konservasi yang perlu perbaikan.

Khusus di daerah hutan desa Serapung, terdapat tasik Sungai Sangar atau danau gambut seluas 150 hektar. Di tasik ini ada potensi ikan arwana perak yang jika dimanfaatkan secara ekonomis bisa mendapatkan tambahan pendapatan bagi masyarakat.

Herbert, pengurus Yayasan Mitra Insani, LSM yang mendampingi masyarakat Segamai dan Serapung mengatakan, di wilayah hutan desa Serapung terdapat Tasik Sangar atau danau gambut seluas lebih kurang 150 hektar.

Seorang warga Desa Segamai di Serapung di hutan adat mereka seluas 4000 hektar. Foto: Greenpeace
Seorang warga Desa Segamai di Serapung di hutan adat mereka seluas 4000 hektar. Foto: Greenpeace

“Kita memang belum mengadakan riset khusus soal tasik Sangar ini. Tapi dari tutur masyarakat ada ikan arwana perak. Ini yang akan menjadi pekerjaan rumah kita untuk melakukan inventarisasi kekayaan hayatinya. Selain itu juga ada beruang madu, rusa dan jejak harimau di dalam hutan desa itu,” kata Herbert.

Skema pengelolaan hutan desa merupakan kebijakan populis pemerintah untuk memberikan akses sah masyarakat terhadap hutan negara. Sebab selama ini diakui pemerintah, hampir seluruh izin kehutanan diberikan kepada perusahaan dan mengenyampingkan hak masyarakat.

“Dahulu kita banyak memberikan izin ke perusahaan, terus rakyatnya dimana. Rakyatnya tidak kebagian. Karena itu kebijakan ini kita koreksi. Saya sudah cadangkan 600 ribu hektar untuk hutan tanaman rakyat. Jadi kalau ada kawasan hutan, kita bagi kepada rakyat untuk dikelola untuk tanam karet, sehingga masyarakat kita memiliki pendapatan dan penghasilan yang lebih sehingga anak-anaknya bisa sekolah,” demikian kata Zulkifli Hasan di Segamai, 29 Juli 20013.

Melalui SK Menhut No.154/Menhut-II/2013 tentang hutan desa, seluas 2.270 hektare akan dikelola oleh lembaga pengelolaan yang dibentuk dan disahkan pemerintah desa Segamai. Sementara untuk Desa Serapung diberikan seluas 1.956 hektar yang ditetapkan melalui SK  Menhut No.155/Menhut-II/2013.

Berdasarkan Permenhut nomor 49 tahun 2008 tentang Hutan Desa, masyarakat bisa memanfaatkan hutan sebagai sumber ekonomi alternatif selain nilai kayunya itu sendiri. Alternatif pendapatan itu menitik beratkan pada produk non kayu seperti rotan, madu, buah, budidaya tanaman atau perikanan, pemanfaatan jasa lingkungan seperti wisata alam.

“Ada banyak yang bisa dimanfaatkan selain kayu. Sekarang ini ada yang namanya perdagangan karbon. Ini juga bisa dimanfaatkan sebagai jasa lingkungan. Ini akan memberikan peningkatan pendapatan masyarakat,” kata Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan dalam sambutannya di hadapan masyarakat saat penyerahan dua izin pencadangan hutan Desa, 29 Juli 2013 lalu.

Meski izin pencadangan sudah diperoleh, bukan berarti hutan desa itu dapat segera dimanfaatkan. Berdasarkan ketentuannya, hutan desa itu harus memperoleh izin hak pengelolaan hutan desa yang diterbitkan Gubernur berdasarkan rekomendasi bupati sebagai tindak lanjut dari izin pencadangan yang telah diberikan Menhut.

“Setelah mendapat hak pengelolaan hutan desa, masyarakat juga harus menyusun rencana kerja menengah dan jangka panjang untuk 35 tahun mendatang. Sementara untuk pemanfaatan kayu dibutuhkan izin pemanfaatan dari pemerintah. Tapi saat ini belum ada rencana pemanfaatan kayu. Itu (kayu) sebagai tabungan saja,” kata Herbert dari Mitra Insani.

Apalagi mengingat kondisi tutupan hutan desa di Serapung yang lebih dari 20% telah rusak karena banyak akses terbuka dari operasi perusahaan dan pembalakkan liar masa lalu. Karena itu program pengelola hutan desa lebih kepada memastikan pengayaan, restorasi, rehabilitasi dan pengamanan dan manajemen kawasan untuk 5- 10 tahun mendatang.

“Makanya ada tambal sulam (restorasi). Yang paling kita restorasi ada di wilayah Serapung. Jadi masih panjang untuk dinikmati. Karena itu juga butuh bantuan pemerintah daerah seperti kebutuhan anggaran dan asistensi yang paling penting,” lanjut Herbert.

Apalagi mengingat proses pengajuan izin pencadangan hutan desa ini memakan waktu tiga tahun lebih.

Terkait dengan peran pemerintah, Menhut Zulkifli mengatakan masa depan hutan desa memang mutlak membutuhkan penganggaran karena proses yang masih panjang yang dilalui untuk menikmati manfaat hutan desa. Kementriannya sendiri memberikan bantuan uang senilai 50 juta rupiah kepada lembaga pengelola hutan Desa Segamai.

Ia juga mengklaim bahwa proses penerbitan izin hutan desa lebih ringkas dan tidak birokratif sehingga prosesnya di kementerian hanya butuh waktu seminggu. “Kalau permohonan hutan desa sudah di saya, satu minggu selesai,” kata Menhut.

Namun demikian izin hutan desa Segamai dan Serapung sendiri membutuhkan waktu lebih dari 3 tahun sampai ditandatangani Menhut. Ini belum termasuk proses keluarnya izin hak pengelolaan dari gubernur. Sementara untuk izin hutan adat yang telah mulai diakui negara sebagai milik sah masyarakat bahkan lebih panjang prosesnya karena harus ada peraturan daerah tentang pengakuan hutan adat.

“Ini kekhawatiran kita, apakah prosesnya di sini (gubernur) cepat atau malah lambat. Padahal dalam ketentuannya kalau tidak ada kegiatan apa-apa di hutan desa selama dua tahun, maka izin pencadangannya akan dievaluasi hingga bisa dicabut. Jadi sebenarnya untuk menikmati hasil hutan desa ini masih lama,” kata Herbert.

“Kita berharap masyarakat bisa bersabar dan pemerintah harus serius membantunya mewujudkan harapan masyarakat hingga hutan itu bisa dinikmati mereka. Ini bedanya dengan perusahaan yang punya modal besar,” lanjut Herbert

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,