, , ,

Belajar Mencintai Alam dari Rumah Hijau Denassa

Kala orang berlomba-lomba membabat hutan untuk menguras hasil dari dalamnya, Dermawan Denassa, berlaku sebaliknya. Denassa, begitu biasa dia dipanggil,  menyulap halaman belakang rumah seluas satu hektar menjadi hutan mini. Di sana, dia membiakkan ratusan spesies tanaman unik dan langka, dari berbagai daerah.

Saking cinta kepada alam, Denassa melakukan konservasi swadaya. Dalam enam tahun ini, dia mengoleksi 300 spesies tanaman, mayoritas dari daerah berbeda. Sebagian besar benih ditanam, ada juga dikoleksi dalam wadah khusus, terutama biji-bijian.

Saya mengunjungi rumah yang dinamai Rumah Hijau Denassa di Jalan Borongtala, Kelurahan Tamalayyang, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel). Denassa mengajak saya berkeliling memperlihatkan koleksi tenamannya.“Ini disebut paria belut, berbeda dengan paria biasa dari ukuran. Paria belut bentuk memanjang seperti belut, rasa manis. Paria biasa pahit,” katanya.

Dia memperlihatkan puluhan mahoni dan jati yang ditanam sejak enam tahun lalu. Beberapa puluh jenis tanaman obat-obatan. Beberapa jenis tanaman hanya dikenali dengan bahasa lokal, misal, buah coppeng– mirip anggur biasa juga disebut jamblang (Syzygium cumini). Ada juga buah bunne atau buni (Antidesma bunius (L.) Spreng.). Tanaman lain lobe-lobe, sappang, biraeng atau Ara, gonrong-gonrong (Chromolaena odorata), kalumpang, baji (Markisa besar), gamasi (Sukun berbiji), bambu kolasa. “Khusus bambu kami mengoleksi lima jenis dari berbagai daerah.”

Kepedulian Denassa pada alam dan hutan sejak mahasiswa, tahun 1999. “Dulu, di belakang rumah ada dua pohon asam. Karena dianggap menganggu, pohon ini ditebang bapak saya. Saya protes tapi tetap saja dipotong.” Pohon asam itu ditebang karena berada di sekitar tungku pembakaran bata milik keluarga.

Denassa merasa kehilangan. Kedua pohon itu menjadi tempat bermain sejak kecil. Keadaan sama ditemui di sepanjang jalan, dimana banyak pohon-pohon ditebang. Kenyataan ini berbeda dengan konsep yang dia pahami. Menurut dia, pohon memiliki arti tersendiri bagi kehidupan. “Ketika pohon ditebang, suara-suara burung pun takkan lagi terdengar. Belum lagi sejumlah hewan-hewan kecil yang hidup dan terkait di dalamnya,” ucap Denassa.

Pelahan, dia menanami halaman pekarangan rumah. Tak hanya itu, Denassa menjadikan hutan mini sebagai tepat hidup satwa kecil tergolong langka, seperti cicak terbang, katak coklat, kutilang, dan belasan jenis burung dan satwa lain. Beberapa jenis pohon sengaja ditanam untuk tempat hidup satwa-satwa ini. “Cicak terbang dulu sangat banyak di kampung sini, namun mulai berkurang.”

Cekibar adalah sejenis reptil termasuk keluarga Agamidae, dikenal dengan nama ilmiah Draco volans linnaeus. Untuk mempertahankan spesies ini, Denassa awalnya menangkar empat pasang. Dia memperkiraan, kini sudah mencapai ratusan.

Dia mulai total terjun ke bidang lingkungan tahun 2006. Asisten dosen di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin pun ditinggalkan. Dia mulai membersihkan pekarangan belakang rumah. Pohon pertama yang ditanam jati, sebagai investasi masa depan. “Sejak 2007, saya rajin keliling kampung mencari jenis tanaman langka atau mulai berkurang. Saya masuk hutan di daerah lain. Semua jenis tanaman yang dinilai unik atau jarang ditemui saya kumpulkan.”

Hutan mini inipun sekaligus apotik hidup, dengan menanam berbagai tanaman obat, khusus yang tidak tersedia lagi di sekitar situ. “Kalau ada tetangga sakit dan perlu obat herbal, biasa kesini. Ada banyak tanaman obat sengaja saya tanam untuk warga sekitar.”

Sebagai mantan aktivis kampus, dia membentuk komunitas Rumah Hijau Denassa (RHD) tahun 2007. Dia mulai mengajak rekan dan sejumlah warga terlibat. Melalui RHD ini, Denassa menyelenggarakan berbagai kegiatan.

Sebuah rumah panggung dibangun sebagai tempat belajar dan diskusi. Di bagian belakang rumah, tempat hutan mini, sebagian lahan dibiarkan ditumbuhi rumput. Ini sebagai tempat berkemah, diskusi dan belajar bagi pengunjung.

Melalui RHD ini, Denassa  menyelenggarakan berbagai kegiatan. Di bagian belakang rumah, tempat hutan mini berada, sebagian lahan dibiarkan ditumbuhi rumput,  sebagai tempat berkemah, diskusi dan belajar bagi pengunjung. Foto: Denassa
Melalui RHD ini, Denassa menyelenggarakan berbagai kegiatan. Di bagian belakang rumah, tempat hutan mini berada, sebagian lahan dibiarkan ditumbuhi rumput, sebagai tempat berkemah, diskusi dan belajar bagi pengunjung. Foto: Denassa

Sejak 2008, dia rutin diskusi, tidak hanya isu lingkungan, tapi juga isu pelayanan publik. RHD dalam waktu singkat mulai dikenal warga sekitar maupun daerah lain. RHD bahkan mengembangkan komunitas belajar, khusus murid SD dan SMP.“Sudah banyak anak-anak kemari untuk belajar. Kami biasa mengajari mereka bagaimana mencintai alam, mengenali berbagai tanaman dan hewan, serta pendidikan moral, seperti nilai kejujuran dan berbuat baik pada sesama.”

Melalui kelas komunitas, Denassa mengajak murid sekolah dari berbagai desa sekitar. Ada lima sekolah rutin datang ke sana, yakni, SD Kulase’rena, SD Rappokelleng, SD Bontorikong, SD Bontonompo dan SMP Bontonompo.

Sejak 2011, Denassa mengembangkan outing class, atau belajar di luar sekolah. Dia mengajak para murid keliling kampung mengenali berbagai jenis tanaman di alam. Para murid antusias mengikuti karena metode pembelajaran banyak permainan.“Metode pembelajaran banyak permainan dan interaksi disenangi anak-anak. Mereka bisa lebih mudah mencerna. Kami juga mencoba membangun interaksi dan saling mengenal antara mereka, terutama ketika dari sekolah berbeda,” katanya.

Untuk menjaga hutan mini dari tangan-tangan jahil, Denassa menerapkan aturan ketat kepada pengunjung dengan tak mencabut tanaman ataupun membunuh satwa yang mereka temui. “Tanaman boleh dicabut atau diambil karena dua hal, sebagai obat atau mau ditanam kembali dan penelitian.”

Denassa berencana menambah luasan hutan mini menjadi dua atau tiga hektar dengan memanfaatkan lahan saudara yang berada di sekitar. Dia berupaya lebih menghidupkan kelas komunitas, dengan menyediakan wifi di sekitar halaman rumah, dan ruang baca lebih luas.

Dalam membiayai semua aktivitas ini, sebagian besar dari dana pribadi. “Semua dari kantong sendiri. Kadang ada dari sisa kegiatan Gowa Center yang saya pimpin.” Denassa juga berencana membangun green school. Dia terinspirasi dari green school di Bali yang pernah dikunjungi.

Cicak terbang atau cekibar, sejenis reptil  termasuk ke dalam suku Agamidae, dikenal dengan nama ilmiah Draco volans Linnaeus. Untuk mempertahankan  spesies ini, Denassa  menangkar empat pasang. Kini jumlah satwa ini diperkirakan mencapai ratusan ekor.Foto: Denassa.
Cicak terbang atau cekibar, sejenis reptil termasuk ke dalam suku Agamidae, dikenal dengan nama ilmiah Draco volans Linnaeus. Untuk mempertahankan spesies ini, Denassa menangkar empat pasang. Kini jumlah satwa ini diperkirakan mencapai ratusan ekor.Foto: Denassa.
Koleksi benih Denassa dari bermacam-macam tanaman, khusus yang sudah jarang  ditemui di daerahnya. Terdapat 300 koleksi tanaman yang  dimiliki Denassa, baik  ditanam langsung maupun benih yang disimpan di wadah khusus. Foto: Wahyu Chandra
Koleksi benih Denassa dari bermacam-macam tanaman, khusus yang sudah jarang ditemui di daerahnya. Terdapat 300 koleksi tanaman yang dimiliki Denassa, baik ditanam langsung maupun benih yang disimpan di wadah khusus. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,