,

Berharap Orangutan Kembali ke Ketambe

Bagi Suci Utami-Atmoko, hutan Leuser Aceh adalah surga peneliti orangutan. Selama 20 tahun,  Suci meneliti orangutan Sumatera (Pongo  abelii) di Taman Nasional Gunung Leuser. Dia mendapatkan gelar sarjana strata satu hingga doktor dengan meneliti perilaku hingga genetik orangutan Sumatera.

Di Stasiun Penelitian Ketambe, terletak dekat Kutacane, ibu kota Kabupaten Aceh Tenggara, Suci menemukan tempat berlabuh. “Ketambe representasi hutan Leuser sebagai surga dunia. Kondisi hutan masih sangat baik sekali, kaya satwa liar, tumbuhan banyak, masyarakat ramah dan masih mau menjaga hutan,” katanya.

Ketambe merupakan stasiun penelitian orangutan tertua di Indonesia. Berada di sisi Sungai Ketambe, bisa dijangkau dari Desa Bale Lutu, di lintas jalan negara dari Kutacane ke Blangkejeren. Menuju kamp penelitian, harus menyebrang sungai menggunakan perahu kayu diikat tali.

Ketambe juga dikenal sebagai lokasi ekowisata. Turis bisa beraktivitas di Gurah, berseberangan dengan Stasiun Ketambe. Para turis bisa melihat kondisi alam dan satwa yang sama dengan Ketambe, tanpa perlu menyeberang.

Daerah ini pertama kali dibuka pasangan suami istri Herman dan Ans Rikjsen,  asal Belanda,  pada 1971. Awalnya,  disitu pusat penelitian sekaligus pusat rehabilitasi orangutan sitaan sebelum dilepasliarkan ke hutan. Kemudian, fokus kegiatan penelitian tak hanya orangutan, juga primata lain seperti kedih (Presbytis thomasi), kera ekor panjang (Macaca fascicularis),  owa tangan putih (Hylobates lar) serta siamang (Symphalangus syndactilus)

Bertahun-tahun,  Ketambe,  diserbu peneliti asing dari Eropa dan Amerika. Nama pun mendunia sebagai pusat penelitian orangutan terbaik yang pernah ada di Indonesia. Dr. Surgadjito, orang Indonesia pertama yang meneliti orangutan di Leuser. Berikutnya, Tatang Mitra Setia, dosen Suci Utami di Universitas Nasional Jakarta– yang membawa dia ke Ketambe tahun 1990. Kini  Suci dosen di Fakultas Biologi Unas.

Sampai 2010, dia masih mengirim mahasiswa bimbingan meneliti orangutan ke Ketambe.   Hutan di sana campuran tipikal hutan tropis dataran rendah hingga pegunungan.

Sejak awal mula di sana, lebih dari 30 individu orangutan suka bertandang ke kawasan areal penelitian seluas 500 hektar itu. Meski liar, tapi beberapa orangutan sudah terbiasa dengan kehadiran para peneliti. Sebagian besar telah memiliki nama seperti Ans, Yet, Binjei, Boris, Chris, Yossa, Harto, Yeni dan masih banyak nama lain yang kebanyakan diambil dari nama peneliti yang  mengikuti mereka selama bertahun-tahun.

Para peneliti mempunyai data cukup baik untuk tiap individu orangutan di Ketambe. Musim buah adalah masa terbaik bagi pembuat film dokumenteri kehidupan liar  seperti  BBC, Discovery Channel dan lain-lain datang ke sana. Sebab, orangutan akan datang dan tak terlalu sulit mengikuti mereka.

Suci mempunyai kedekatan dengan orangutan betina bernama Yet. Usia Suci dan Yet nyaris sama. Suci sudah meneliti Yet sejak mahasiswa tahun 1990. Saat itu, Yet  punya anak bernama Yop. Ketika Suci kembali  untuk penelitian magister, Yet sudah punya anak bernama Yossa.  Tahun 2010, terakhir Suci berkunjung ke Ketambe, Yet punya anak lain bernama Yeni. Yosa sudah besar dan mandiri. “Waktu ke Ketambe pada 2007, saya bertemu Yossa. Mengharukan sekali, dia masih mengenali saya.”

Menurut Suci, masih banyak rahasia kehidupan orangutan belum terpecahkan. “Amazing, mereka sangat cerdas. Kami menemukan mereka sudah memakai alat, misal daun-daun membantu memegang buah yang berduri atau kulit kayu kapok hutan, bahkan bergerak, jika harus berjalan-memegang cabang di pohon yang berduri.”

Dibanding primata lain yang hidup bersosialisasi, orangutan hidup semi-soliter harus cerdas. Mereka harus mandiri dan beradaptasi tanpa bantuan anggota keluarga lain. Cara mereka membuat sarang pun berganti-ganti setiap hari, yang membuktikan orangutan makhluk yang memperhatikan kebersihan alas tidur.

Orangutan Sumatera, dikenal memiliki kepandaian unik. Penelitian bertahun-tahun di Leuser membuktikan mereka punya perilaku berbeda untuk mensiasati  kondisi lingkungan yang cepat berubah. Perbedaan jenis habitat dan ketinggian tempat bisa membuat mereka memiliki perilaku berbeda pula.

Saat ini,  orangutan Sumatera terancam punah.  Dulu seluruh Pulau Sumatera diyakini pernah memiliki populasi orangutan. Kini mereka hanya didapat di bagian utara Pulau Sumatera dengan populasi terbesar ada di Taman Nasional Gunung Leuser.

Dua kantong habitat besar orangutan di Leuser dipisahkan koridor Lembah Alas.  Jumlah diperkirakan hanya 6.000, dan terus berkurang karena terdesak kehancuran hutan.

Sejak dibuka stasiun penelitian di Ketambe, membawa berkah bagi masyarakat lokal di Desa Bale Lutu. Rahmat, salah satu warga  Bale Lutu yang sejak awal membantu Herman Rikjsen, membuka stasiun penelitian Ketambe.

Rahmat mewariskan ilmu lapangan kepada enam anak lelaki dan empat cucu. Mereka bekerja sebagai  asisten lapangan para peneliti di Ketambe.  “Sejak stasiun penelitian Ketambe dibuka, banyak orang kampung bisa bekerja di sana. Ada yang jadi asisten lapangan hingga tukang masak,” kata Arwin, salah satu cucu Rahmat

Arwin pernah empat tahun membantu penelitian orangutan dan kedih. “Kami membantu para peneliti sekaligus belajar di lapangan. Sekarang beberapa peneliti mempercayai kami mencatat data penelitian mereka di lapangan, meski sudah pulang ke negaranya,”  ucap Arwin.

Selain Ketambe, di Taman Nasional Gunung Leuser juga ada beberapa stasiun penelitian orangutan lain seperti Stasiun Suaq Belimbing di hutan Rawa Gambut Kluet di Kabupaten Aceh Selatan dan Stasiun Agusan di Gayo Lues.  Lalu, di Halaban dan Stasiun Sekundur di Besitang Kabupaten Langkat  Sumatera Utara.

Suci Utami, kala mengamati orangutan di Hutan Ketambe, Aceh
Suci Utami, kala mengamati orangutan di Hutan Ketambe, Aceh

Tantangan terbesar penelitian saat ini adalah menemukan data satu siklus kehidupan orangutan yang diperkirakan mencapai 60 tahun. Data di Ketambe, banyak dipakai sebagai referensi pengetahuan dasar konservasi orangutan, baik skala nasional (strategi dan rencana aksi orangutan Indonesia,  Kementerian Kehutanan 2007-2017), maupun internasional (PHVA 1993, 2004; IUCN,UNESCO, dan lain-lain).

Sebagian besar data orangutan Sumatera tersimpan di Universitas Utrecht di Belanda, Universitas Zurich di Swiss dan Unas di Jakarta. Fakultas Biologi Unas di Jakarta membuat wesite memuat metode dan hasil-hasil penelitian orangutan di www.siOrangutan.org. Forum Orangutan Indonesia (FORINA) ingin menghubungkan website siOrangutan di www.forina.or.id agar Indonesia memiliki data.

Sayangnya, sebagian besar kegiatan penelitian orangutan harus berhenti pasca kamp Ketambe dibakar tahun 2011. Konflik manajemen pengelolaan menyebabkan urusan penelitian berhadapan dengan hal-hal berbau politik.

Penelitian orangutan di Lauser pun ‘mati suri.’ Beberapa stasiun penelitian seperti Agusan dan Sikundur, lebih dulu vakum dari kegiatan penelitian. Sebagian besar karena tidak memiliki biaya operasional karena pengelola kehabisan dana donor.  Hanya stasiun Suaq Belimbing mulai diaktifkan kembali oleh beberapa peneliti.

Bagi para peneliti seperti Suci Utami, kevakuman penelitian ini berdampak besar pada keberlanjutan data pemantauan orangutan yang sudah sejak 40 tahun lalu. Kondisi ini,  pernah terjadi saat Aceh dilanda konflik bersenjata tahun 1999. Karena faktor keamanan, selama tiga tahun penelitian di Leuser berhenti. Kini kejadian terulang lagi.

“Sayang sekali data yang sudah ada tidak bisa dilanjutkan. Kita tidak mungkin memulai dari nol lagi. Kami berharap kegiatan penelitian terutama di Ketambe segera diaktifkan. Ini salah satu rekomendasi kami kepada pemerintah untuk menjadi perhatian.”

Menurut Suci, para peneliti tidak mau terlibat dengan persoalan konflik manajemen pengelolaan stasiun penelitian. “Bagi kami para peneliti, dengan terbakarnya kamp, dan aktivitas penelitian di Ketambe berhenti kita mengalami kerugian sangat besar dari segi data, dan ilmu pengetahuan.”

Menyedihkan lagi, kabarnya orangutan jarang lagi tampak di sekitar stasiun penelitian. Kemana mereka?  “Saya mengkawatirkan Yet dan Yeni. Apa mereka masih hidup?” ucap Suci.

Berhentinya aktivitas penelitian berdampak besar pada orangutan yang tinggal di sekitar hutan Ketambe.  Masyarakat mulai merambah hutan Ketambe untuk kebun kemiri, coklat dan karet.  Hutan yang bertahun-tahun terjaga kini terancam hancur.

Arwin mengatakan, mereka hanya bisa memantau stasiun penelitian Ketambe dari seberang sungai.  Orangutan mulai jarang terlihat. “Saya tidak tahu bagaimana kondisi mereka di dalam sana. Mungkin mereka sudah pergi  jauh mencari tempat lebih aman, mungkin sudah pindah ke hutan  Aceh Selatan melalui lembah Mamas.”  Tahun 2009, kata Arwin,  satu orangutan yang biasa dilihat di stasiun penelitian pergi ke arah kota dan ditangkap warga di Jambur Laklak.

Para turis yang datang ke Ketambe mulai komplain karena orangutan tak gampang ditemui seperti dulu. Sebagai warga Balai Lutu, Arwin ingin stasiun Ketambe hidup lagi seperti dulu. Sejak tidak ada penelitian, mereka hanya mencangkul di kebun.

“Jika ada peneliti, tidak ada yang berani merambah Ketambe. Yet, Yosa, Yeni, Cris dan orangutan lain pasti kembali ke Ketambe jika kami masuk ke sana. Mereka sudah kenal kami dengan baik. Sayang, jika Ketambe tutup. Dulu,  Pak Herman dan kakek saya membangunnya dengan susah,” kata Arwin.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,