Mengenal Kampung Daur Ulang Sampah Makassar

Jika sebagian orang kesulitan membuang sampah, Ahmad Sesse justru mencari sampah, terutama plastik dan kertas. Mengapa? Ternyata, dua jenis sampah ini bahan baku kerajinan daur ulang yang dia kelola melalui unit kegiatan masyarakat (UKM) Adhytya.

Sebagian besar instansi pemerintah di Makassar, sudah bekerja sama dengan UKM beranggotakan 40 orang ini. Ia bahkan mendapatkan penghargaan dari Pemkot Makassar karena dinilai berkontribusi atas penghargaan Adipura 2013 untuk kota ini beberapa bulan lalu. Kelurahan Karanganyar, lokasi UKM ini berada, dikenal sebagai kampung daur ulang di Makassar.

“Kalau orang bicara tentang kampung daur ulang sampah di Makassar, pasti Kelurahan Karanganyar. Sudah dikenal dimana-mana,” kata Ahmad Sesse Selasa (20/8/13), kala ditemui Mongabay di rumah, sekaligus bengkel kerja UKM Adhitya.

Ahmad mengatakan, kerajinan daur ulang sampah dimulai tahun 2008. Inisiatif awal dari Kementerian Lingkungan Hidup Sulawesi, Maluku, Papua (Sumapapua). Kementerian ini juga yang memberikan bimbingan dan pelatihan awal. Namun, UKM ini tetap eksis dan mandiri meski tidak lagi mendapat dukungan KLH.

Dia menceritakan, usaha daur ulang yang sebagian besar beranggotakan ibu-ibu rumah tangga ini sudah berkembang. Mereka mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik Pemkot Makassar, juga swasta, antara lain Unilever, yang menyediakan limbah plastik. Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga membantu. “Waktu Bu Menteri datang ke sini, beliau membeli beberapa produk kami sebagai souvenir dari Makassar,” ucap Ahmad.

Bahan dasar kerajinan ini plastik dan kertas. Untuk plastik misal, kantong kresek, botol minuman, bungkus mie instan, dan berbagai kemasan berbahan plastik lain. Sedangkan kertas bisa koran bekas dan karton.

Sampah plastik dibentuk menjadi tas ransel, topi, sandal jepit, hingga taplak meja. Ada juga mainan anak-anak, tas hp, tas laptop, bunga plastik, dan lain-lain. Sedang sampah kertas untuk bingkai foto, mainan anak-anak, kotak tissue, kotak pensil dan kotak perhiasan.

Harga pun bervariasi, tergantung bahan dan besaran produk. Harga tas laptop, misal, dijual Rp120 ribu, ransel Rp80 ribu hingga Rp150 ribu, tas hp Rp10.000, tas jinjing Rp50 ribu–Rp150 ribu, dan bingkai foto kertas plintir Rp50 ribu. Dalam sebulan rata-rata omzet penjualan berkisar Rp6 Juta hingga Rp10 juta.

Dalam mengerjakan berbagai produk ini, UKM Adhytya membuat kelompok-kelompok kerja kecil, secara terspesialisasi. Untuk produk botol minuman dikerjakan kelompok sendiri, begitupun kresek atau kertas.

Saat ini, UKM ini memiliki 12 mesin jahit, yang diperoleh dari bantuan maupun menyisihkan keuntungan usaha. Mengenai pembagian gaji,  disesuaikan produksi masing-masing anggota, dan ada kewajiban menyisihkan 10 persen keuntungan buat keperluan kelompok.

Sejak 2008, UKM Adhytya mengolah berbagai macam sampah dari  plastik dan kertas. Ia didaur ulang menjadi berbagai macam kerajinan, antara lain tas, topi, sendal, kotak tisue dan berbagai produk lain. Dalam sebulan omzet penjualan berkisar antara R 6 juta – Rp10 juta. Foto: Wahyu Chandra
Sejak 2008, UKM Adhytya mengolah berbagai macam sampah dari plastik dan kertas. Ia didaur ulang menjadi berbagai macam kerajinan, antara lain tas, topi, sendal, kotak tisue dan berbagai produk lain. Dalam sebulan omzet penjualan berkisar antara R 6 juta – Rp10 juta. Foto: Wahyu Chandra

Bagaimana mendapatkan sampah? “Sampah plastik dan kertas didapat dengan berbagai cara. Ada mengumpulkan dari lingkungan sekitar, juga bekerjasama dengan sejumlah pengelola tempat pembuangan akhir (TPA) di Makassar.” Sedang sampah  dari Unilever, sejak setahun ini terhenti. UKM ini juga menyediakan bank sampah.

Meskipun begitu, Ahmad masih sering mengalami kekurangan stok. Apalagi sampah dari TPA terkadang banyak tak bisa dipakai karena jelek atau sobek.

“Dalam waktu-waktu tertentu, seperti sekarang, stok bahan baku sangat sulit diperoleh, kala permintaan justru meningkat. Terpaksa kami keliling kemana-mana, bahkan datang rumah ke rumah ,” ujar dia.

Mengenai pemasaran produk, dia tak mengalami kesulitan, bahkan terkadang kewalahan memenuhi pesanan, yang mayoritas dari instansi pemerintah dan swasta.

“Kalau ada event-event tertentu, pesanan bisa melonjak dan kadang kami tidak bisa memenuhi. Bukan hanya terkendala bahan baku, tenaga kerja masih terbatas. Apalagi jika pemesanan ditarget harus cepat.”

UKM Adhitya, tak hanya membuat produk daur ulang plastik dan kertas. Dua tahun terakhir, berupaya mengembangkan industri pupuk kompos, dan membantu sekolah-sekolah membuat lubang resapan biopori. “Peminat pupuk kompos ini cukup banyak dan kontinyu. Sekolah-sekolah juga pesan.”

Ternyata UKM Adhytya juga memiliki usaha dampingan tersebar di hampir seluruh kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Sampai saat ini, sudah sekitar 32 UKM menjadi binaan.

UKM ini juga memberikan banyak pelatihan di berbagai daerah. Kebanyakan pelatihan datang dari pemerintah daerah. Biasa, dalam pelatihan UKM mengikutkan enam sampai tujuh pelatih dengan spesialisasi berbeda.

Ahmad Sesse dan anggota kelompok UKM Adhitya lain juga membuat kompos dan pembuatan alat bor untuk lubang resapan biopori, yang banyak digunakan di sekolah-sekolah. Foto: Wahyu Chandra
Ahmad Sesse dan anggota kelompok UKM Adhitya lain juga membuat kompos dan pembuatan alat bor untuk lubang resapan biopori, yang banyak digunakan di sekolah-sekolah. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,