,

GPS Monitoring Gajah di Sekitar TN Bukit Tigapuluh, Cegah Pembunuhan Satwa

Pada bulan Agustus lalu Frankfurt Zoological Society (FZS) mendapat laporan dari warga Desa Tanjung Simalidu, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi bahwa mereka menemukan bangkai gajah di ladangnya. Setelah menerima laporan tersebut FZS kemudian mengirimkan Unit Mitigasi Konflik Gajah ke lokasi yang dimaksud dan mendapati bangkai seekor gajah sumatra tanpa kepala, kaki dan beberapa bagian tulang rusuk. Alber, koordinator Unit Mitigasi Konflik Gajah FZS menduga bahwa gajah ini telah mati kurang lebih sejak satu bulan yang lalu.

“Kami kesulitan mengidentifikasi jenis kelamin gajah ini karena tubuhnya telah rusak dan kepalanya sudah hilang” ujar Alber. Ia memperkirakan gajah ini berusia sekitar 15 tahun dan penyebab kematian adalah diracun karena tidak jauh dari lokasi bangkai gajah ditemukan 6 botol racun pembasmi rumput yang telah kosong. Lokasi tempat ditemukannya bangkai gajah ini berbatasan dengan kawasan konsesi PT. Tebo Multi Agro (TMA) sebuah perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang merupakan perusahaan mitra Sinar Mas.

Berdasarkan keterangan warga disekitar lokasi bangkai gajah ditemukan ada warga desa yang membawa kepala gajah tersebut dengan menggunakan sepeda motor. FZS dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi segera melayangkan surat panggilan kepada warga desa yang diduga membawa kepala gajah tersebut. “Hingga saat ini kami (FZS) dan BKSDA masih terus melakukan penyelidikan untuk mengungkap pelaku” kata Alber.

Kawanan gajah yang terdesak perkebunan monokultur. Foto: FZS
Kawanan gajah yang terdesak perkebunan monokultur. Foto: FZS

Kabupaten Tebo khususnya kawasan di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) adalah sebuah kawasan dari sedikit kawasan yang tersisa di provinsi Jambi yang masih memiliki populasi gajah sumatra. “Sekitar 70 hingga 100 persen hutan habitat gajah di beberapa lokasi telah berubah menjadi perkebunan. Gajah kini bernaung di hutan-hutan sempit penuh semak belukar. Gajah akhirnya merusak tanaman perkebunan seperti sawit, karet, dan akasia karena sumber makanan di hutan telah habis ” ujar Alber. Alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan, pertambangan dan jalan mengakibatkan habitat gajah sumatra di kawasan ini menyusut tajam dalam kurun waktu satu tahun terakhir.

Pada tahun 2012 lalu FZS bersama dengan BKSDA Jambi telah mulai memonitor pergerakan kawanan gajah di kawasan Bukit Tigapuluh dengan memasang  Global Positioning System (GPS) collar pada lima ekor gajah yang mewakili empat kelompok gajah yang hidup di kawasan ini. Tahun ini FZS melakukan penggantian tiga GPS collar yang dipasang pada tiga ekor gajah yang bernama Bella, Dadang dan Anna. Penggantian ini dilakukan karena ketiga alat yang dikalungkan pada leher gajah – gajah tersebut telah rusak. Penggantian GPS collar Anna dan Dadang berjalan lancar namun ketika hendak mengganti GPS collar Bella Unit Mitigasi Konflik Gajah FZS tidak berhasil menemukannya. Mereka menduga Bella telah memisahkan diri dari kelompoknya dan masuk ke daerah Riau sehingga akhirnya mereka memasang GPS collar pada gajah betina dewasa lain yang diberi nama Freda.

Semua gajah yang dipasang GPS collar ini hidup di luar kawasan TNBT. Anna dan Dadang berada di area perkebunan karet yang dikelola masyarakat HTR SP2 dan PT Lestari Asri Jaya (LAJ) di Kecamatan Serai Serumpun. Bella, dulu berada di kawasan perkebunan akasia konsesi PT Tebo Multi Agro (TMA). Cinta dan Elena, dua gajah betina dewasa yang juga dipasangi GPS collar pada tahun lalu berada di kawasan hutan produksi eks HPH Dalek Hutani Esa. Sedangkan Freda dan kelompoknya ditemukan ketika sedang mencari makan di kebun akasia milik PT. TMA.

Pemasangan GPS akan membantu memantau pergerakan gajah dan menekan resiko kematian satwa besar ini akibat konflik wilayah dengan manusia. Foto: FZS
Pemasangan GPS akan membantu memantau pergerakan gajah dan menekan resiko kematian satwa besar ini akibat konflik wilayah dengan manusia. Foto: FZS

Kawasan hutan habitat gajah yang masih cukup terjaga berada di eks HPH Dalek tempat dimana Cinta, Elena dan kelompoknya sering ditemukan. Hutan sekunder ini dalam kondisi 80 persen tertutup dan diperkirakan ada 30 ekor gajah berada di kawasan tersebut. Namun, kawasan hutan ini rentan terkonversi karena statusnya masih sebagai hutan produksi.

Bila habitat gajah terus berkurang maka potensi konflik dengan manusia dipastikan meningkat. Gajah akan mencari makan di kebun masyarakat atau perusahaan karena tidak ada lagi sumber makanan dalam hutan. Korban  jiwa akan timbul pada kedua belah pihak dan pada akhirnya gajah sumatra akan punah.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh FZS saat ini populasi gajah sumatra khususnya di Jambi diperkirakan hanya tinggal 150 ekor dan beberapa pecahan kelompok telah memasuki wilayah Riau. Sedangkan di Sumatra populasi gajah diperkirakan hanya kurang dari 2000 ekor. Oleh karena itu International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan spesies ini kedalam kategori sangat terancam punah (critically endangered).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,