, ,

Ancaman Ekosistem di Sulawesi: dari Pengeboman Ikan sampai Deforestasi

Ada babi rusa, anoa, maleo sampai yaki. Mereka ini di antara sebagian kecil satwa endemik di Sulawesi Utara, Gorontalo hingga Sulawesi Tengah, yang terancam. Keterancaman ekosistem di kawasan Wallacea ini, menarik minat Critical Ecosistem Partnership Fund (CEPF).

Pada 2-3 September 2013 di Manado, CEPF mengadakan penyusunan profil ekosistem Wallacea untuk mengumpulkan informasi terkait ancaman di masing-masing key biodiversity area (KBA). Gawe ini dihadiri aktivis lingkungan dan pemerintah daerah dari Sulawesi Utara, Gorontalo hingga Sulawesi Tengah.

Ria Sariyanti, Koordinator Biodiversity CEPF mengatakan, penentuan KBA didasarkan pada sebaran spesies terancam punah di Wallacea, daerah penting burung, kawasan alliance for zero extinction (AZE), kawasan konservasi laut, maupun kawasan dengan kondisi habitat yang masih baik. “Jadi kita ingin mengetahui sejumlah permasalahan di KBA Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo.”

Menurut dia, setelah penyusunan profil ekosistem diperoleh tambahan informasi mengenai aktivitas yang berpotensi mengancam keragaman hayati, terutama kawasan pesisir dan laut.“Kami menemukan sejumlah ancaman terhadap ekosistem, misal, pengeboman dan peracunan ikan, deforestasi, reklamasi hingga pertambangan,” ujar dia.

Sebelumnya, CEPF telah mengidentifikasi 293 calon KBA dengan luas total 13,89 juta hektar. Dari jumlah itu, 230 KBA darat dan 63 KBA laut. Sulawesi memiliki KBA terbanyak yaitu 117 KBA disusul Nusa Tenggara dengan 114 KBA, termasuk Timor-Leste yang memiliki masing-masing satu KBA di darat laut serta Maluku dengan 62 KBA.

Telur maleo. Maleo, salah satu spesies endemik Sulawesi yang terancam punah karena perburuan, sampai habitat mereka yang rusak karena alih fungsi lahan. Foto: Christopel Paino

Sebagian daerah itu telah ditetapkan sebagai kawasan dilindungi terdiri dari taman nasional, cagar alam maupun suaka margasatwa. Namun, 187 KBA atau sekitar 63 persen dari seluruh KBA di Wallacea berada di luar kawasan perlindungan.

Johny Tasirin, Konsultan CEPF mengatakan, penyusunan profil ekosistem ini bertujuan menggali pengetahuan dan membangun jaringan di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah hingga Gorontalo.

Menurut dia, kesadaran stakeholder dalam pengawasan lingkungan itu penting. Dengan kegiatan ini diharapkan muncul integrasi dan sinkronisasi program antara pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat untuk menyelamatkan ekosistem Wallacea.

Masing-masing kelompok, katanya,  memiliki strategi berbeda-beda. Pemerintah memiliki program sendiri, masyarakat berupaya merawat lingkungan dengan cara sendiri. “Terpenting upaya penyelamatan ekosistem bisa dikomunikasikan dengan baik,” ucap Johny.

Matulandi Supit, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara, mengatakan, permasalahan yang dibahas tidak hanya berhubungan dengan flora dan fauna, juga manusia.

Sebagai pegiat budaya di Sulut, Matulandi seringkali menyaksikan ancaman pembangunan terhadap masyarakat adat dan aktivitas tradisional. Penyusunan profil ekosistem ini dirasa penting bagi pelestarian kearifan lokal di sejumlah tempat, terutama Sulut.

“AMAN pasti mendukung program CEPF ini, karena ekosistem Wallacea tidak mungkin lepas dari wilayah adat. Klaim kepemilikian lahan dan hutan adat yang marak terjadi bisa dicarikan jalan keluar.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,