((Auman)) Band: Raung Kegelisahan Alam dari Tepian Sungai Musi

Isu lingkungan, kini menjadi agenda yang semakin krusial di Indonesia. Berbagai jenis kerusakan alam dengan berbagai alasan ekonomi dan bisnis kini dinilai semakin tidak seimbang dengan sumber daya yang disediakan oleh Bumi itu sendiri. Hilangnya hutan, demi alasan pembangunan lewat ekspansi perkebunan dan pertambangan, tidak hanya membawa dampak langsung bencana bagi manusia. Hilangnya hutan, salah satunya di Pulau Sumatera, juga musnahnya rumah bagi berbagai satwa endemik yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah harimau Sumatera.

Satwa yang kharismatis dan (dahulu) sangat dihormati oleh adat setempat ini kini nasibnya semakin di ujung tanduk. Dengan kondisi tersisa antara 400 hingga 500 individu di alam bebas, alarm bahaya kini berbunyi semakin keras mengingatkan manusia yang hidup bersamanya.

Band ((Aumann)) lahir sebagai penghormatan terhadap Sang Raja Hutan Sumatera ini, sekaligus sebagai sebuah pengingat identitas khas bahwa banda ini berasal dari tanah Sumatera, yang kini terus bertarung menyelamatkan kondisi lingkungannya dari kehancuran yang semakin parah.

12

Digawangi oleh Zarbin Sulaiman (bass), Farid Amriansyah (vokal), Aulia Effendy (drums), Erwin Wijaya (gitar) & Ahmad Ruliansyah (gitar) sebagai kolaborator, energi liar kasar musik punk yang bercampur dengan heavy rock menjadi saluran bagi mereka untuk megungkapkan berbagai kegelisahan terhadap kondisi sosial dan lingkungan yang ada di Sumatera saat ini.

Selain tampil dalam berbagai hajatan musik nasional seperti Festival Bandung Berisik bulan April 2013 silam, ((Auman)) adalah sebuah kelompok musik yang seringkali tampil di berbagai negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Singapura.

Berikut cuplikan wawancara dengan beberapa anggota band ((Aumann)) yang diwakili oleh Rian (vokalis), Aulia Effendy (drum) dan Erwin Wijaya (gitar):

Mongabay-Indonesia: Bagaimana Auman melihat musik sebagai agen perubahan dalam konteks kornservasi alam?

Rian ((Auman)): Kalau kita konkritnya, ya kita salah satunya punya lagu, Viva Rimau-Rimau, musik itu kita bikin ketika jamming bareng di studio. Dampak dari sering kita ngobrol soal harimau, tentang ini itu, jujur salah satu inspirasi nama dari band ini juga diambil dari novelnya Mochtar Lubis berjudul Harimau, Harimau. Tiap orang Sumatera itu punya tradisi khusus terkair harimau karena dianggap sebagai hewan sakral. Seperti misalnya disebut Nenek, disebut Datuk dan ini ada karena untuk menjaga keberadaan harimau agar dihormati, dan ini adalah bentuk konservasi dari kearifan lokal. Dibuat untuk menciptakan tatanan sosial dan dianggap sebagai sebuah konvensi, seperti misalnya: jangan melangkahi jejak harimau, nah ini kan sekedar pemahaman bahwa harimau adalah mahluk teritorial. Ketika kita masuk ke wilayah edarnya maka kita masuk ke teritorialnya. Dan dalam masyarakat modern, hal ini tidak sepenuhnya dipahami. Mereka tidak memahami bagaimana sesuatu itu terjadi. Seperti misalnya darimana sih minyak goreng yang kita gunakan itu berasal.

Nah dalam konteks itulah musik bisa masuk sebagai sebuah media. KIta tidak membuat musik seperti layaknya orang orasi, dan orang sekarang tidak sepenuhnya suka membaca, tetapi semua orang pasti mendengarkan musik. Salah satu lagu kita, dimana kita mencuri keindahan satwa endemik di Sumatra berjudul Viva Rimau-Rimau yang rancak, sebuah simbol ketika harimau mengejar teritorinya mengejar mangsa. Dan hal itu indah serta mudah dicerna tanpa harus bersifat menggurui dan berbicara dari segi keilmuan yang terlalu rumit. Mendengar lagu itu, orang jadi sadar bahwa harimau itu hidup dan ada, serta habitatnya mulai tersingkirkan dan membuka horison baru bagi pendengarnya secara personal.

Farid Amriansyah alias Rian Pelor, menyuarakan berbagai kegelisahan yang terjadi di Sumatera saat ini. Foto: Aumanrimau.wordpress.com
Farid Amriansyah alias Rian Pelor, menyuarakan berbagai kegelisahan yang terjadi di Sumatera saat ini. Foto: Aumanrimau.wordpress.com

Mongabay-Indonesia: Selain fokus di harimau, apa ide lain yang akan muncul terkait kondisi yang ada di Sumatera ini?

Rian ((Auman)): Banyak ya sebenarnya, tidak cuma kondisi lingkungan tetapi juga ide-ide dari budaya dan tradisi yang ada di Sumatera Selatan, seperti dalam lagu kami Wong Kito Gilo Galo. Ada juga lagu yang sedang kami persiapkan liriknya yaitu Manusenyawa yang bercerita bahwa ketika manusia dilahirkan untuk jadi bagian dari harmoni bumi ini, tetapi ketika kehilangan senyawanya dengan alam. Lalu juga ada lagu Rimba Mistika, yang bercerita tentang rimba-rimba larangan yang sekarang kehilangan kesakralannnya akibat kerakusan manusia. Nah dalam masayarakat modern lebih tertarik, dan yang namanya kultur tradisional disini pelan-pelan sudah terkikis.

Nah apa yang kita lihat dan rasakan di Sumatera, dan kita lihat konteksnya apa nah kita akan sampaikan hal itu dengan musik. Meski Sumatera masih menjadi sumber musik kelas dua, kita tidak peduli soal itu. Lewat musik kita coba bercerita tentang apa yang kita punya di Sumatera, orang akan menoleh. Kita tidak memikirkan apakah kami akan jadi besar, kita hanya berharap orang akan tahu selain sekedar pempek. Ooh di Sumatera ada harimau, ooh di Sumatera ada hutan, ooh di Sumatera ada musik yang bagus seperti itu. Kita tidak bermimpi muluk-muluk, dengan banyak orang melihat Sumatera maka hal itu akan membangun awareness orang tentang kondisi di Sumatera. Nah baru kalau bicara soal advokasi, baru yang garis keras yang bergerak. Maka kita tidak mau terperangkap dalam aktivisme. Jika semua orang bisa melakukan sesuatu dengan apa yang mereka miliki maka akan terbangun kesadaran umum b. Revolusi tidak akan muncul tanpa revolusi sosial, dan revolui sosial tidak akan muncul tanpa revolusi personal.

Mongabay-Indonesia: Selain lewat lagu, apa dukungan yang dilakukan oleh ((Auman)) untuk gerakan lingkungan di Indonesia?

Rian ((Auman)): Dengan mau merelakan keuntungan kami yang sudah sedemikian kecil untuk porsi yang cukup besar untuk apa yang kami support. Dalam album kami mendukung gerakan yang dilakukan oleh Greenpeace, WWF dan juga Walhi. Tetapi kami tidak mau menjadi underbouw mereka, kita support mereka tetapi kita tetap independen. Jadi kita bisa mengoreksi, jika mereka melakukan hal tidak sesuai. Misalnya kita juga berempati dengan aktivitas penanggulangan bencana di sini.

Kita menyisihkan dari penjualan album, merchandising, uang manggung sebanyak 25% dari keuntungan yang kami peroleh. Meski menurut hitung-hitungannya akan membuat kami lebih repot. Kita menyebutnya Aumanomics, kita menghitungnya untuk menyisihkan donasi dan lain sebagainya. Personil band ini hitungan terakhir, kadang seringkali kami justru tidak dapat. Karena kami juga harus menabung untuk kas kami, demi bisa melakukan proses rekaman selanjutnya.

Kalau kita menerima bayaran, nah bayaran bersih itulah yang kami potong 25% untuk support gerakan lingkungan. jadi bukan 25% setelah dipotong pajak dan lain sebagainya, tetapi 25% nilai total dari penghasilan panggung yang kita terima.

Dari penjualan CD juga seperti itu, yaitu 25% dari harga bersih kita potong untuk dukungan terhadap gerakan lingkungan. Untuk bandnya sendiri, bahkan jauh lebih kecil dari jumlah itu bahkan.

Salah satu penampilan ((Auman)). Foto: Aumanrimau.wordpress.com
Meski dibayar seadanya, ((Auman)) selalu menyisihkan seperempat dari penghasilan mereka dari panggung untuk mendukung gerakan lingkungan. Foto: Aumanrimau.wordpress.com

Mongabay-Indonesia: Tanpa harus berpamrih, dengan melakukan apa yang dijalani saat ini, sejauh apa Anda optimis melihat perubahan lingkungan yang akan terjadi di Sumatera?

Aulia Effendy: Hal yang kita lakukan ini adalah yang paling mudah dan paling konkrit yang bisa kita lakukan, karena kalau bicara isu satwa seperti sirkus lumba-lumba dan lain sebagainya, kami sudah benci hal itu sejak dulu, tetapi kita tidak mungkin membubarkan pasar atau hal sejenisnya. Kita memikirkan yang konkrit apa, dan mudah kita lakukan apa dan menyisihkan uang untuk mereka. Untuk masalah optimis atau pesimis atau tidak, kita tidak ambil pusing. Kita hanya melakukan apa yang kita bisa saat ini.

Rian ((Auman)): Kalau bicara soal harapan, negeri ini tidak memberikan ruang untuk harapan. Kita harus menyelamatkan negeri ini dari negara ini, kita bukan orang-orang nasionalis, tetapi kita cinta Indonesia. Waduh ngeri kalau membicarakan harapan di negeri ini. Sesuatu yang bersifat strategis seperti blok-blok minyak saja dikontrakkan kepada orang asing, apalagi jika kita bicara sesuatu yang bersifat konservasi, lingkungan hidup karena itu akan menjadi sesuatu yang menjadi bulan-bulanan sesuatu yang bersifat korporat. Nah kesadaran itu kita bangun ketika ada yang membeli merchandise kami, setidaknya mereka sudah berkontribusi untuk kelestarian alam. Atau ketika mendengar nama ((Auman)), maka mereka tahu di Sumatera ada harimau. Oh iya harimau di Indonesia itu cuma ada di Sumatera ya, di Jawa dan Bali sudah punah. Nah seperti itu.

Mongabay-Indonesia: Tetapi dalam konteks pembangunan kan alasannya selalu devisa, ekonomi nasional dan sejenisnya. Bagaimana seharusnya kesetaraan antara ekonomi dan ekologi ini menurut ((Auman))?

Rian ((Auman)): Memulai dari diri sendiri. Misalnya si Aulia, di rumahnya banyak kucing tetapi tidak satupun diantaranya dari pet shop. Lalu soal penggunaan listrik, kita tahu penggunaan listrik itu menggunakan batubara, nah kita berhematlah dalam menggunakan listrik agar penggunaan batubara berkurang. Lalu juga minyak goreng, kita tahu minyak goreng itu kan dari sawit, nah jangan pakai minyak goreng dari kelapa sawit. Lalu juga menekan penggunaan plastik untuk mengurangi sampah plastik.

Nah kalau bisa soal menyelaraskan bagaimana ekonomi dan ekologi, nah pemerintah saja tidak tahu bagaimana caranya menyelaraskan kedua hal ini, kita setidaknya bisa memulai dari level personal. Nah jika kesadaran personal ini sudah mencapai angka 80% maka sisanya tinggal menunggu yang 20% karena ini akan ditentukan oleh level pembuat kebijakan. Disitu kekuatan yang akan mengubahnya, karena kekuatan masyarakat sipil di negeri ini kan masih belum diakui. Ya jadi caranya dengan menggunakan apa yang kita butuhkan seperlunya. Seperti kata Gandhi, Bumi ini cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan manusia yang ada, kecuali kerakusan.

Auman Photo1

Mongabay-Indonesia: Trend dunia saat ini bergerak ke arah ramah lingkungan. Namun produk-produk lingkungan seperti misalnya lagu yang bertema lingkungan, masih belum dinilai sebagai sesuatu yang cukup ‘menjual’ untuk saat ini. Gimana menurut Anda?

Aulia Effendy: Kalau kita sih dari awal memang tujuannya bukan untuk berjualan sih ya.

Rian ((Aumann)): Iya, dari awal tujuan kita memang bukan untuk jualan sih ya. Tujuannya adalah bikin musik yang kita suka. Kalau orang mau mengecam atau mengkritik ataupun berbicara apapun, ya bodo amat. Sama seperti ketika kami membuat lagu berjudul Unholy Terror, ada organisasi agama yang tersinggung dengan kami. Nah itu kurangnya negeri ini, tidak ada ruang untuk membangun dialog.

Nah jika ada orang bertanya, ngapain sih teriak-teriak soal lingkungan, soal masalah sosial, kita cuma bisa bilang kita tidak teriak-teriak. Kita gelisah. Nah daripada kita hanya sibuk bicara nyinyir, dan sibuk bicara tidak jelas, maka lebih baik kami menjadikan kegelisahan kami sebagai karya. Kira-kira seperti itu.

Mongabay-Indonesia: Apakah suatu saat ((Aumann)) akan terlibat langsung dalam suatu isu untuk mengubah kondisi lingkungan di Sumatera Selatan?

Rian ((Aumann)): Kami tidak suka untuk menjadi idola, atau dianggap sebagai idola yang harus meleading ke arah isu tertentu. Kalau kata Nietsche, itu senjakala berhala. Yang pasti untuk terlibat secara langsung dalam suatu isu itu, level awareness itu harus merata dulu. Sementara kesadaran orang-orang yang terlibat dalam sebuah isu saat ini, belum merata. Masalah terlibat atau tidak, hanya tinggal waktu yang menunggu. Jangan ulangi kesalahan bangsa ini, yaitu jangan lupakan pendidikan politik saat kita bicara soal demokrasi. Jadi yang terpenting, kita harus membangun pendidikan dan kesadaran dulu masyarakatnya, untuk bisa bergerak ke arah tindakan yang nyata.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,