,

Awas! Berburu Yaki Berpotensi Tertular Penyakit dari Polio hingga Hepatitis

Populasi monyet hitam Sulawesi biasa disebut yaki (Macaca nigra) dalam 30 tahun terakhir mengalami penurunan drastis, tersisa kurang dari 5.000 ekor. Salah satu faktor keterancaman karena pemburuan satwa endemik Sulawesi ini baik keperluan konsumsi maupun dipelihara. Padahal, para pemburu memiliki risiko tinggi tertular penyakit yang diidap monyet hitam ini saat kontak langsung.

Saroyo Sumarto, pakar Primatologi Universitas Sam Ratulangi Manado mengatakan, dari sisi evolusi, manusia memiliki kedekatan dengan spesies monyet, termasuk yaki. Dalam kadar tertentu, kontak fisik antara manusia dan satwa liar dilindungi ini berisiko menularkan penyakit seperti polio, hepatitis hingga simian retrovirus.

Dia mengatakan, simian retrovirus merupakan virus kelompok monyet. Virus ini diyakini mungkin ditularkan yaki pada manusia. Lewat kajian beberapa peneliti, kata Saroyo, human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus dari monyet dan marak diidap manusia.

“Terkadang virus yang ditularkan tidak langsung terasa. Tahun-tahun berikutnya, manusia  bisa mulai merasakan penyakit yang ditularkan yaki,” katanya kepada Mongabay di Manado, Kamis (12/9/13).

Menurut dia, dampak yang bisa ditimbulkan kontak fisik antara manusia dan yaki itu, bisa menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah untuk sosialisasi kepada masyakat. Jadi, orang yang kerap memburu yaki dapat memahami dampak dari kebiasaan itu.

Dia berharap, upaya menyelamatkan yaki tak lagi terputar pada dampak hukum. Namun, dampak risiko penyakit dirasa penting diketahui masyarakat sekitar.

Para aktivis pecinta satwa menyesalkan tindakan masyarakat yang kerap memburu monyet hitam berjambul ini. Mereka menilai, penurunan populasi yaki berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem.

Yaki merupakan satwa liar dilindungi. Mereka mendesak pemerintah serius mengawasi sejumlah titik yang kerap menjadi arena perburuan satwa liar. Pemerintah dituntut gencar patroli dan menindak tegas para pemburu yang bebas beraksi.

Yayasan Selamatkan Yaki, misal, kerap menerima laporan terkait perburuan yaki. Kepada Mongabay (7/9/13), Harry Hilser, Field Project Manager Yayasan Selamatkan Yaki mengatakan, fenomena ini menempatkan yaki pada kategori hampir punah. Padahal, sebaran Macaca di seluruh dunia hanya 23 jenis, tujuh di Sulawesi. “Yaki hanya bisa ditemui di Sulut. Artinya, Yaki harus jadi kebanggaan masyarakat Sulut.”

Satu kelompok yaki di Cagar Alam Tangkoko, Sulut. Foto: Sapariah Saturi

Senada diutarakan Victoria Sendy, Unit Informasi dan Edukasi Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST). Indikasi konsumsi satwa liar tinggi bisa dilihat dari aktivitas perdagangan di sejumlah pasar tradisional, tak hanya terkonsentrasi di satu titik. Setidaknya, PPST melihat itu di Pasar Tomohon, Pasar Langowan dan Pasar Kema.

“Kami kerap mendapat kiriman foto terkait perdagangan ular piton dan yaki. Di jejaring sosial facebook beberapa orang sempat mengiklankan makanan khas Sulut dari daging satwa liar.”

Dia berharap, perilaku masyarakat memangsa satwa liar bisa diubah. Menurut Victoria, masyarakat perlu prihatin pada populasi yaki yang makin berkurang, bahkan terancam punah.

Novita Tandi, Staff Humas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut, membenarkan keterancaman yaki. Sayangnya, hingga saat ini BKSDA belum mampu membekuk satupun pemburu satwa dilindungi ini. Meski begitu, BKSDA kerap patroli dan menghancurkan perangkap untuk memburu yaki.

“Tak ada data pasti tentang pemburu yaki. Kami sering menemukan binatang ini dalam bentuk rangka ataupun menerima informasi  yaki menjadi hidangan tiap kegiatan pengucapan (tradisi perayaan hasil panen).”

Penurunan populasi yaki juga karena perubahan habitat mereka menjadi perkebunan dan perumahan, serta pemanfaatan hasil hutan yang menurunkan daya dukung habitat.

Yaki merupakan satwa yang memiliki kedekatan tingkah-laku dengan manusia. Aktivitas harian makhluk ini, menunjukkan beberapa kemiripan dengan manusia. Yaki memanfaatkan habitat untuk berbagai kegiatan, semisal makan (feeding), mencari makan (foraging), berpindah (moving), istirahat (resting) hingga bersosialisasi.

Populasi yaki pada 1978, densitas di Cagar Alam Tangkoko, 300 ekor per kilometer. Pada 1987-1988, populasi yaki menurun drastis tersisa 76,2 ekor per km. Tahun 1999, tinggal 58,0 ekor per km.

Kini, sebaran yaki ada di sejumlah titik mulai Cagar Alam Tangkoko Batuangus (3.196 hektar), Cagar Alam DuaSudara (4.299 hektar), Taman Wisata Alam Batuputih (615 hektar) hingga Taman Wisata Alam Batuangus (630 hektar).

Daging yaki siap dimasak untuk konsusmi. Foto dari Facebook PPST
Daging yaki siap dimasak untuk konsusmi. Foto dari Facebook PPST
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,