, , ,

Masyarakat Adat Dayak Ngaju: Tolak Sawit, Menjaga Hutan Tetap Lestari (Bagian 1)

Selasa, 10 September 2013. Hari sudah hampir gelap ketika saya dan Hendra Susanto, tiba di rumah ketua Lembaga Pengelola Hutan (LPHD) Kelurahan Kelawa, Diwie U Tabat di Kecamatan Kahayan Hilir, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (Kalteng). Kelurahan ini bersama tiga desa lain berjuang menyelamatkan hutan adat mereka.

Perjalanan dari Kota Palangkaraya menuju kelurahan ini memakan waktu hampir tiga jam. Sepanjang perjalanan, kiri dan kanan disuguhi pemandangan kurang sedap karena kerusakan alam dari kebakaran hutan, illegal logging maupun pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan sawit.

Motor segera di parkir di depan rumah panggung ketua LPHD. Di sana ada Norhadie Karben. Norhadie dan Hendra, adalah aktivis dari Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan (Poker SHK). Keduanya berperan aktif mendampingi warga memperjuangkan hak atas hutan adat. Syamsudin, warga Desa Kelawa ikut mengobrol dengan kami.

“Kami mulai mengusulkan hutan sebagai hutan adat sejak 2005. Namun mendapat banyak kesulitan karena tidak ada peraturan jelas. Akhirnya sejak 2010, kami menginisiasi menjadikan hutan wilayah kami sebagai hutan desa,”  kata Diwie.

Diwie mengatakan, illegal logging di sekitar hutan adat Kelawa tahun 2005 membuat mereka gelisah. Dia mengusulkan hutan dikukuhkan sebagai hutan adat agar tetap terjaga. Komunikasi dengan kepala desa beberapa desa tetangga yang masuk dalam wilayah hutan yaitu Buntoi, Mantaren Satu dan Gohong, terus dilakukan. Hingga tahun itu hutan adat Kelawa, terealisasi.

Dia mengatakan, usulan menjadi hutan desa pada 11 November 2011 dan mendapat SK Menteri Kehutanan 17 Oktober 2012.  “Secara hukum memang hutan desa, tapi untuk pengelolaan menggunakan cara-cara adat Dayak Ngaju.”

Hutan desa di daerah itu terbagi dalam beberapa wilayah. Kelurahan Kelawa 4.230 hektar, Desa Buntoi 7.025 hektar, Mantaren I 1.835 hektar dan Desa Gohong 3.155 hektar, keseluruhan 16. 245 hektar. Jumlah ini jauh lebih kecil dari yang diusulkan 21.187 hektar.

Kekayaan hayati di hutan ini terjaga. Tumbuhan hutan seperti ramin, meranti, panting dan balinggirang tumbuh menjulang tinggi. Begitu juga berbagai jenis anggrek.

“Diameter pohon besar-besar. Kalau tangan tiga orang dewasa dilingkarkan, tak akan cukup memeluk pohon-pohon di sana,” kata Syamsudin.

Tak hanya itu, satwa liar dilindungi juga hidup di hutan desa itu. Orangutan, kawalet, beruang, rusa dan lain-lain. Nilai-nilai spiritual yang dijunjung tinggi masyarakat sekitar menjadikan hutan itu tetap lestari.

“Bahkan trenggiling juga banyak. Beberapa waktu lalu peneliti IPB datang ke sini dan meneliti trenggiling di hutan desa kami. Hasil penelitian itu mengatakan lubang trenggiling di hutan kami lebih dari 50.”

Sejak menjadi hutan desa, hubungan dengan Dirjen Planologi,  BKSDA dan instansi-instansi terkait kehutanan jadi lebih mudah. Laporan-laporan dugaan tindak kejahatan hutan cepat ditanggapi.

“Jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Dulu saya berjuang habis-habisan mendapat status hutan adat, tapi susah. Setelah hutan desa banyak perubahan. Keadaan sudah jauh lebih baik,” ucap Diwie.

Dulu, sebelum jadi hutan desa susah sekali melapor illegal logging. “Sekarang tinggal sms, lima menit langsung dapat tanggapan. Kami saling berbagi info jika ada yang mencurigakan langsung lapor.”

Jarak antara pemukiman warga ke hutan adat sangat jauh. Jika musim penhujan, perjalanan bisa dicapai dua jam menggunakan sampan diesel. Hutan desa tetap terjaga, karena perbatasan antara rumah warga dan hutan, terdapat lebih dari 2.000 hektar kebun karet milik warga yang mengelilingi perbatasan hutan desa. Ini yang membuat kelestarian hutan desa pertama di Kalteng itu tetap terjaga.

Masyarakat sekitar kawasan hutan, jarang masuk dalam hutan. Hanya sekali-sekali mereka masuk hutan untuk patroli pengawasan.“Oktober ini rencananya turun surat izin usaha hak pengelolaan hutan desa,” kata Nurhadie.

Dengan surat izin itu, LPHD bisa mengelola hutan ini tetapi bukan mengeksploitasi kekayaan hutan. Kearifan lokal adat Dayak Ngaju tetap dijunjung tinggi. “Mereka juga bisa membuat proposal ke berbagai instansi untuk mendapatkan dana pengelolaan hutan. Dana itu bisa untuk merehabilitasi lahan kritis. Pengembangan ekowisata juga bisa dilakukan,” ucap Nurhadie.

Menurut Menteri Kehutanan, kayu boleh ditebang 50 meter kubik per tahun. “Tapi kita tak akan pernah melakukan itu. Kami tetap menjaga hutan desa agar tetap lestari tanpa ada lagi penebangan  lagi meskipun cuma satu pohon,” kata Diwie.

Komitmen terus menjaga hutan disebarkan ke masyarakat sekitar. Imbasnya cukup memuaskan. Tanpa diperintah warga sekitar rutin patroli di sekitar hutan desa.

“Kesulitan kami saat ini di pembiayaan. Selama ini paling kami hanya mengandalkan uang swadaya. Saya lebih sering mengeluarkan uang pribadi menjalankan kegiatan penjagaan hutan desa.”

Selama ini, perhatian aparat pemerintah setempat terhadap hutan desa masih kurang. Padahal, jika merujuk pada Permenhut nomor 49 tahun 2008 tentang hutan desa, pemerintah setempat seharusnya andil dalam pembiayaan operasional.

Transportasi air yang biasa digunakan warga sehari-hari, termasuk jika ke hutan adat untuk patroli. Foto: Indra Nugraha
Transportasi air yang biasa digunakan warga sehari-hari, termasuk jika ke hutan adat untuk patroli. Foto: Indra Nugraha

Terancam Sawit

Meskipun begitu, mereka terancam oleh ekspansi kebun sawit. “Sekarang ancaman penjarah dari luar desa kami. Selain illegal logging, juga perkebunan sawit ke wilayah hutan desa. Masyarajat resah. Sawit bisa merusak perkebunan karet warga dan hutan kami,” kata Diwie.

Sawit mulai masuk hutan desa sejak 2012, tak lama sejak SK menteri soal hutan desa disahkan. Luas lahan sawit itu 70 hektar, sudah ditanam 35,58 hektar. Sisa area yang belum ditanam masuk kawasan hutan desa.

LPHD Kelurahan Kelawa telah menyelidiki kebun sawit itu. Saat ini, bibit sawit ditanam 2.060 pohon. “Kami terkejut perkebunan sawit di hutan desa tanpa sepengetahuan anggota. Ini sangat mengganggu. Pokoknya kami menolak keras,” kata Syamsudin.

Ada 12 handel (kanal irigasi) di sekitar hutan desa. Ketua handel semua sepakat menolak sawit. Hanya  seorang Ketua Handel Terusan Begantung, Hamdani. Tanpa sepengetahuan anggota handel, dia menjual lahan kepada dua pengusaha, Roy dan Ramlan. Mereka yang menjadikan kawasan itu kebun sawit.

“Hamdani mengaku itu lahan pribadi, bukan milik perusahaan. Itu tak mungkin. Lahan sangat luas. Orang kita tak mungkin bisa mempunyai sawit seluas itu,” ucap Syamsudin.

Eskavator di kawasan itu sejak 2012. Penanaman bibit sawit sejak Februari tahun ini. Kini, pohon-pohon sawit itu mulai tumbuh.

Kebun sawit di hutan desa sudah dilaporkan kepada beberapa pihak, seperti, bupati, Dinas Kehutanan  Kalteng, hingga Menteri Kehutanan. “Kami menunggu respon Menteri Kehutanan.” Bersambung

Pusat Sarana Komunikasi Iklim, teman warga bertemu, dan berdiskusi. ia memiliki  fasilitas seperti aula terbuka, asrama, dapur dan lain-lain. Foto: Indra Nugraha
Pusat Sarana Komunikasi Iklim, teman warga bertemu, dan berdiskusi. ia memiliki fasilitas seperti aula terbuka, asrama, dapur dan lain-lain. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,