Penelitian Akan Ungkap Kerusakan dan Emisi Karbon Akibat Kegagalan Proyek Lahan Sejuta Hektar di Kalimantan

Rencana besar Pemerintah Indonesia di tahun 1996 untuk mengubah satu juta hektar lahan gambut menjadi lahan pertanian di Pulau Kalimantan telah menyebabkan Indonesia muncul sebagai negara ketiga terbesar di dunia dalam emisi karbon, menurut keterangan Profesor Mark Cochrane, salah satu peneliti senior di Geospatial Sciences Center for Exellence. Profesor Cochrane akan melakukan penelitian lanjutan terkait emisi karbon sebagai dampak kerusakan hutan dan lahan gambut di Kalimantan akibat gagalnya proyek Lahan Sejuta Hektar ini.

Penelitian ini akan menggunakan citra satelit, penelitian lapangan dan modelling untuk menghitung kerusakan akibat kegagalan proyek ini. dengan dana 2,2 juta dollar dari NASA, peneltian ini diharapkan akan bisa membantu Forest Research and Development Agency (FORDA) Kementerian Kehutanan RI untuk mengatasi kebakaran di lahan gambut di Indonesia.

Proyek bernama Mega Rice Project atau ‘Lahan Sejuta Hektar’ hampir dua dekade lalu ini, rencananya berniat mengubah lahan gambut di Kalimantan menjadi wilayah pertanian demi memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia, namun sayang kondisi tanah yang ada tidak mendukung untuk dijadikan lahan pertanian, ungkap Profesor Cochrane. “Ini berubah menjadi sebuah bencana besar,” ungkap Profesor Cochrane, yang meneliti proyek deforestasi serupa di Brasil dan Australia.

Sementara itu Jack Rieley, Direktur Kalimantan Tropical Peat Swamp Forest Research Project dan Wakil Presiden dari International Peat Society menyebut proyek ini sebagai ‘Penggunaan lahan gambut tropis yang paling salah saat ini.’

Mantan Presiden Suharto saat itu memerintahkan pembuatan selokan-selokan raksasa sepanjang nyaris 5.000 kiloemter untuk mengeringkan lahan gambut dan menebangi pepohonan yang ada di hutan.

Kerusakan pun terjadi sangat parah di lahan gambut di Pulau Kalimantan yang menjadi lokasi proyek ini, akibat hilangnya kandungan organik yang ada di dalam tanah yang telah berusia puluhan ribu tahun di dalam lahan gambut sedalam 10 meter, jelas Cochrane. Dalam kondisi normal, lahan gambut ini tidak membusuk atau terbakar. Saat lahan gambut dikeringkan, kandungan organisme di dalamnya mulai mati dan membusuk serta melepaskan jutaan ton karbon ke udara.

Kondisi gambut yang mengering menjadi mudah terbakar, dan munculnya titik api mempercepat proses oksidasi, terutama di musim kering dimana banyak bermunculan titik api yang tidak bisa dikendalikan akibat keringnya gambut ini. Secara tidak sengaja, Indonesia telah menyalakan bencananya sendiri di Kalimantan dengan mengeringkan lahan gambut untuk penebangan kayu, perburuan, dan pertanian.

Sebuah tim peneliti dari Jerman memperkirakan pada kebakaran hutan dan lahan gambut tahun 1997 telah melepaskan antara 0,87 hingga 2,57 miliar ton karbon ke atmosfer.

Profesor Cochrane
Profesor Cochrane di tengah lahan gambut yang terbakar di Kalimantan. Foto: South Dakota State University

Memantik api di lahan gambut secara perlahan akan membakar lapisan-lapisan organisme di tanah, dan api ini hanya bisa padam jika lahan ini terendam air, jelas Profesor Cochrane lebih lanjut. Api yang sudah menyala di lahan gambut bisa bertahan selama berminggu-minggu bahkan berbulan bulan serta mengeluarkan asap yang sangat tebal yang merusak kesehatan manusia.

Untuk menentukan seberapa besar dampak kerusakan akibat dari kebakaran lahan ini, Profesor Cochrane akan mempelajari data dari tahun 1996 untuk memperoleh angka perkiraan kerusakan di atmosfer akibat kebakaran ini.

“Emisi Karbon dari perubahan tutupan lahan sangat berpengaruh secara signifikan secara global,” jelas Cochrane. Menurut perkiraan sementara kerusakan ini bisa mencapai sekitar 40% dari total emisi karbon akibat dari bahan bakar fosil di dunia selama beberapa tahun.

Terkait pertanyaan apakah lahan gambut ini bisa kembali seperti semula, sang peneliti tidak menjamin, karena hal ini sangat tergantung seberapa serius pihak pemerintah mengembalikan kondisi hodrologi wilayah ini. Terutama menutup saluran air yang kini digunakan sebagai jalan, dan harus menghindari pembakaran lahan lebih lanjut.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,