, , ,

Harapan Baru bagi Hutan Mangrove di Kepulauan Tanakeke

Namanya Kepulauan Tanakeke. Ia sebuah gugusan terdiri dari 12 pulau, membentang sepanjang pesisir selatan Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Kawasan ini satu dari sekian daerah yang menjadi sasaran program restoring coastal livelihood (RCL). Ini peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir oleh Oxfam, yang dilaksanakan mitranya, Mangrove Action Project (MAP) Indonesia dan Yayayan Konservasi Laut (YKL) Sulsel.

Kawasan ini tak hanya kaya sumber daya perairan. Ia juga dikenal dengan bentangan sabuk hijau, yaitu ratusan hektar hutan mangrove yang mengelilingi kawasan itu. Mencapai pulau ini, satu-satunya jalur laut dengan speed boat kecil. Transportasi ini bisa ditemui di dermaga Takalar Lama, Kecamatan Mappakasunggu, sekitar lima kilometer dari Kota Takalar. Tiap hari ada jadwal penyeberangan, kecuali ke beberapa pulau kecil, hanya pada hari-hari pasar: Selasa dan Sabtu.

Saya berangkat menuju Pulau Tompotana, salah satu pulau terpadat dan teramai di kepulauan ini dengan populasi 1.118 jiwa dan 313 keluarga. Untuk menempuh Tompotana, perlu waktu sekitar satu jam, biaya sekali jalan Rp15.000. Jadwal keberangkatan perahu biasa berkisar antara pukul 09-11 pagi, setiap hari. Sedangkan jadwal kembali keesokan hari pada pukul 6.00 pagi, menyesuaikan pasang surut air laut.

Di sepanjang perjalanan menuju kawasan ini banyak hutan mangrove. Hutan ini mengelilingi pulau seperti sebuah sabuk hijau. Sayangnya, di beberapa titik terlihat banyak lokasi-lokasi bolong, kemungkinan mangrove telah ditebang. Di balik mangrove itu terlihat bentangan tambak yang terlindungi dari arus laut.

Informasi dari MAP Indonesia, hutan mangrove di kawasan ini berkurang karena penebangan liar untuk keperluan kayu bakar dan bangunan, juga konversi lahan menjadi tambak era 1980-an. Kala tambak tak produktif lagi, ditinggalkan begitu saja.

Abbasiah Nutta, warga Tanekeke mengatakan, pengelolaan hutan mangrove di Tanekeke memiliki sejarah panjang. Contoh, di Pulau Bangkotapampang, hutan mangrove tumbuh sejak ratusan lalu. Dari luar, hutan mangrove masih terlihat rimbun tetapi hanya tersisa 51,55 hektar.

Tajuddin Erang, Kepala Desa Tompotana, yang saya temui di rumahnya, yang berjarak beberapa meter dari garis pantai, membenarkan cerita Bangkotapampang. Kawasan ini sejak dulu dikenal sebagai hutan mangrove, yang penebangan harus seizin pemerintah lokal. Dulu disebut gallarang, atau setingkat pemerintahan kecamatan saat ini. Dulu, penebangan mangrove di tempat ini hanya bisa pada kondisi-kondisi tertentu.

“Dulu ada yang disebut pajak jiwa atau sima, yang wajib dibayarkan setiap orang ke gallarang. Warga miskin yang tidak sanggup membayar sima diberi alternatif mengambil kayu mangrove di Bangkotapampang untuk diserahkan ke gallarang sebagai ganti pembayaran sima,” ucap Tajuddin.

Untuk penebangan mangrove pun dulu memiliki aturan tersendiri, yakni hanya menebang pohon di bagian tengah, dan menyisakan bagian pinggir. Dengan metode ini, bagian tengah yang sudah ditebangi mudah ditumbuhi tunas baru, karena terjaga mangrove yang mengelilingi.

Dalam perkembangan, eksploitasi mangrove di Bangkotapampang menjadi tidak terkendali. Warga yang tidak memiliki lahan kemudian mengambil mangrove di Bangkotapampang ini.

Hutan mangrove juga banyak ditemui di sekitar pesisir pulau dan biasa dimiliki warga. Luasan mencapai ratusan hektar. Jika milik pribadi, sulit melarang warga menebangi pohon-pohon itu.

Berkurangnya hutan mangrove di Tanakeke menyisakan masalah tersendiri. Kawasan pesisir pulau menjadi rentan, apalagi di musim-musim angin kencang. Sumber penghidupan warga sekitar pun berkurang, yang bisa menangkap kepiting dan ikan di sela-sela akar mangrove.  “Mungkin karena kesadaran inilah hingga ketika ada tawaran Oxfam merehabilitasi mangrove langsung mendapat respon positif dari masyarakat,” kata Tajuddin.

Sebagian warga menggantungkan hidup dari penjualan kayu mangrove, yang biasa dijual ke Makassar. Mangrove ini biasa  dari lahan mereka sendiri. Foto: Wahyu Chandra
Sebagian warga menggantungkan hidup dari penjualan kayu mangrove, yang biasa dijual ke Makassar. Mangrove ini biasa dari lahan mereka sendiri. Foto: Wahyu Chandra

Yusran Nurdin Massa, Peneliti senior MAP Indonesia, mengatakan, dengan pendekatan ini efektivitas tumbuh mangrove cukup besar dibandingkan cara konvensional, melalui penanaman langsung. “Pendekatan selama ini lebih banyak gagal karena bibit mangrove ditanam di kawasan yang justru tidak kondusif untuk pertumbuhan mangrove.”

Selain itu, mereka juga menginisiasi pembentukan regulasi pengelolaan mangrove tingkat desa, yaitu dengan melahirkan Peraturan Desa Pengelolaan Mangrove. Pembuatan peraturan desa ini melibatkan partisipasi warga dan pemerintah desa setempat, mulai dari penyusunan draf hingga sosialisasi.

Perdes ini dinilai penting karena persoalan mangrove di kawasan pesisir tidak hanya menyangkut pelestarian lingkungan hidup juga keberlanjutan penghidupan ekonomi masyarakat sekitar. “Yang kita ingin bangun di sini sebenarnya sistem. Jika ingin menebang mangrove, walau di lahan sendiri juga ada aturan. Jadi tidak seenaknya membabat hutan mangrove hanya karena merasa kepunyaan sendiri,” kata Tajuddin.

Pembuatan perdes ini dikerjakan melalui kolaborasi lima desa di Kepulauan Tanakeke, yaitu Desa Tompotana, Bangko Tinggia, Balandatu Pesisir, Mattiro Baji dan Rewatae.

Hingga saat ini, perdes sudah tahap finalisasi dan uji publik, sebelum ditetapkan menjadi aturan resmi. “Kita punya waktu tiga bulan untuk sosialisasi draf Perdes kepada masyarakat, sambil menunggu masukan atau kritikan.”

Menurut Tajuddin, menyatukan seluruh warga untuk menyetujui draf perdes bukanlah perkara mudah. Pertentangan warga selalu ada. “Ada warga yang berpikir kenapa mereka harus diberi sanksi jika mangrove ditebang adalah milik sendiri. Setelah dijelaskan, ada yang bisa mengerti, ada juga yang belum sepenuhnya menerima. Ini memang perlu proses.”

Salah satu poin dalam perdes ini adalah aturan penanaman dan penebangan mangrove beserta sanksi bagi yang melanggar. Dalam perdes ini, diatur pemilik lahan mangrove tebang pilih dan tetap menyisakan beberapa pohon induk ketika menebang. Bagi yang melanggar dikenakan sanksi dengan mengganti pohon yang ditebang dua kali harga jual.

Ada pula sanksi bagi warga yang menebang pohon mangrove warga lain tanpa izin warga dan pemerintah desa setempat didenda Rp100 ribu per pohon.“Keberatan warga kebanyakan terkait sanksi kepada pemilik mangrove yang dianggap tidak adil. Denda dua kali dari nilai jual mangrove. Untuk pencurian, langsung ditetapkan. Sebenarnya kalau dicermati dengan baik justru sebaliknya. Ini hanya masalah ketidakpahaman,” kata Abbasiah.

Oxfam juga berupaya meningkatkan taraf hidup masyarakat Tanakeke, khusus perempuan. Para perempuan, yang sebagian besar tidak bisa baca tulis dan janda, diajari baca tulis. Mereka juga diajari berbagai macam cara pengolahan hasil laut, antara lain pembuatan krupuk ikan, krupuk cumi dan stik rumput laut. Mereka diberi fasilitas untuk peternakan bebek dan penanaman rumput laut.

Sampai saat ini, sudah ada tiga kelompok usaha perempuan terbentuk, yaitu Tamalanrea, Setia Kawan dan Panranuangku, masing-masing beranggotakan 20 orang. Unit usaha ini sudah produksi sejak setahun lalu dan produk dipasarkan hingga ke Kota Takalar, Jeneponto dan Makassar.

Tampak sisa-sisa 'rumah' mangrove yang sudah terkikis. Kehadiran mangrove di Kepulauan Tanakeke, sangat penting, antara lain untuk menjaga pulau dari hantaman ombak. Foto: Wahyu Chandra
Tampak sisa-sisa ‘rumah’ mangrove yang sudah terkikis. Kehadiran mangrove di Kepulauan Tanakeke, sangat penting, antara lain untuk menjaga pulau dari hantaman ombak. Foto: Wahyu Chandra
Narasia Dg Senge, Ketua Kelompok Usaha Perempuan Panrangungangku yang memproduksi stick rumput laut. Usaha ini sudah berjalan sejak setahun lalu dan sudah dijual di berbagai daerah sekitar Takalar, Jeneponto dan Makassar. Foto: Wahyu Chandra
Narasia Dg Senge, Ketua Kelompok Usaha Perempuan Panrangungangku yang memproduksi stick rumput laut. Usaha ini sudah berjalan sejak setahun lalu dan sudah dijual di berbagai daerah sekitar Takalar, Jeneponto dan Makassar. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,