, , ,

Masyarakat Adat Dayak Ngaju: Tolak Sawit, Menjaga Hutan Tetap Lestari (Bagian 2)

Banyak sekali ancaman dalam menjaga kelestarian hutan adat. Tak hanya soal sawit, pembangunan jalan menembus hutan desa menyebabkan keresahan warga. Warga tetap pada pendirian menjadikan hutan desa tak terganggu aktivitas apapun, termasuk jalan.

“Tahun lalu ada pembukaan lahan untuk jalan menuju hutan desa. Tanpa sepengetahuan kami, tiba-tiba sudah ada pembukaan lahan untuk jalan. Panjang 200 meter,”kata Diwie.

Warga di Kelurahan Kelawa, tak mau kecolongan. Pada 3 September 2013, sebuah eskavator masuk ke desa mereka dan membuka lahan untuk pembangunan jalan menuju hutan desa. Namun tak bertahan lama.

“Kami cepat tanggap. Esok hari 11 orang dari LPHD Kelurahan Kelawa langsung beraksi menyegel eskavator itu, saya juga ikut terlibat,” kata Syamsudin.

Alasan lain penolakan pembangunan jalan ini, karena menjadi penghubung jalan besar dengan lokasi kebun sawit yang kini ada di hutan desa. Masyarakat khawatir, jika pembangunan tetap dilanjutkan akan makin melanggengkan kebun sawit ini. Pembangunan jalan itu dianggap aneh karena tak ada plang pengumuman ada proyek pembangunan jalan resmi dari Dinas Pekerjaan Umum.

“Saat kami melakukan penyegelan, eskatavor itu sudah tak beroperasi. Karena pekerja sudah mendengar kami tak setuju dengan pembangunan jalan itu. Pekerja lari sementara eskavator ditinggalkan begitu saja,” ucap Diwie.

“Kami tanya kepada pekerjanya siapa yang menyuruh membangun jalan? Sebab tak ada pemberitahuan kepada pihak desa. Mereka jawab tidak tahu. Itu kan aneh,” kata Syamsudin.

Setelah LPHD Kelurahan Kelawa menyelidiki, ternyata pemilik eskavator tak lain dua orang pengusaha yang merintis bisnis kebun sawit di hutan mereka. Pembangunan jalan baru sekitar 25 meter, langsung disetop.

“Memang belum sampai pada pengaspalan, baru pembukaan lahan. Tapi kami langsung setop kegiatan mereka sebelum hutan kami rusak. Kami menunggu proses hukum. Takut salah. Pokoknya sudah lapor.”

Masyarakat berusaha menjaga hutan desa bersama-sama. Tradisi dan kepercayaan adat pun kuat mendukung kelestarian hutan desa ini. Masyarakat menganggap hutan raya itu sangat kramat. Mereka sadar fungsi hutan sebagai penyangga agar terhindar dari marabahaya.

Nurhadie Karben, aktivis Poker SHK mengatakan, ada ritual adat rutin untuk menghormati roh yang menjaga hutan. Ada sesaji yang dipersembahkan. “Biasa ritual adat itu setiap habis panen raya itu sebagai bentuk ucapan syukur atas panen yang melimpah.”

Ritual adat di hutan dilakukan antara Maret atau April. Ada dua jenis ritual adat masyarakat Dayak Ngaju. Pertama, menyamburuk. Ritual ini setahun sekali. Biasa sesajen dipersembahkan darah ayam atau telur. Ritual kedua manyanggar, waktu pelaksanaan tak tentu.

“Biasa kalau ada yang mengganggu kawasan hutan adat, suka ada yang kesurupan. Jika ada yang kesurupan, kepala adat datang. Roh yang masuk dalam tubuh warga itu biasa minta diadakan ritual manyanggar,”ucap Nurhadie.

Masyarakat adat Dayak Ngaju di perbatasan hutan desa, tak berani mengganggu kelestarian hutan. Bahkan ada kepercayaan jika menebang pohon di hutan desa, bisa berakibat fatal hingga kematian.

Pusat Sarana Informasi Iklim ini menjadi tempat pertemuan warga, dari pelatihan keterampilan sampai pelatihan pelestarian lingkungan. Foto: Indra Nugraha
Pusat Sarana Informasi Iklim ini menjadi tempat pertemuan warga, dari pelatihan keterampilan sampai pelatihan pelestarian lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Pusat Informasi Iklim

Guna menjembatani komunikasi antara pengurus LPHD, dibangun Pusat Sarana Komunikasi Iklim (PSKI) di Desa Buntoi, Kahayan Hilir. Pembangunan fasilitas itu  diprakarsai enam lembaga internasional diantaranya Norwegian Embassy, Unorcid, Unops, Unesco, UNDP dan United Nations Information Centre Jakarta.

“Fasilitas ada internet, komputer, panel solar tenaga surya bertegangan 100 ribu watt.  Asrama, dapur dan aula terbuka juga disiapkan. Desain sangat ramah lingkungan,” kata Tambang, Ketua Desa Buntoi.

Dia mengatakan, di kompleks itu akan ada beberapa kegiatan berkaitan pengelolaan hutan desa. Pelatihan untuk pemberdayaan masyarakat juga dirancang masing-masing LPHD dan berpusat di sini. Fasilitas ini dari tanah hibah masyarakat.

“Ini nanti akan jadi sekretariat bersama agar memudahkan koordinasi. Fungsi sebagai tempat pendidikan, pelatihan kelestarian alam. Keterampilan dan pemberdayaan masyrakat. Potensi sumber daya alam yang belum terangkat, kita maksimalkan. Tentu dengan cara kearifan lokal.”

Mengenai keberadaan kebun sawit di Kelurahan Kelawa, katanya, seluruh pengurus LPHD di tiga desa dan satu kelurahan mendukung penolakan. Masyarakat di tiga desa hidup sehari-hari tergantung dari hasil hutan. Dia khawatir,  kebun sawit mengganggu perkebunan warga dan hutan desa.

“Masa sekarang kami berjuang agar hutan kembali lestari tiba-tiba ada sawit? Bukan antipati terhadap sawit, tapi mereka harus tahu diri. Sawit boleh, asal dikendalikan. Jangan di wilayah kami,” kata Tambang.

Menurut dia, masyarakat sekitar Desa Buntoi sudah tidak menebang pohon sejak 30 tahun terakhir. Dulu, kawasan itu bekas HPH dan program sejuta hektar lahan gambut dengan lahan rusak. Kini berangsur-angsur masyarakat secara swadaya memperbaiki lahan kritis itu.

“Harapan  kami dengan hutan desa ini, kelestarian alam yang sudah hampir hancur bisa dijaga kembali. Fungsi kawasan hutan bisa dikembalikan.”

Nyadap Karet

Pada Rabu 11 September 2013, saya ikut Diwie Ubey Tabat dan Syamsudin, menyadap getah karet. Udara terasa sejuk saat saya ikut bersama mereka menaiki sebuah sampan kecil. Istrinya, Rehana dan Dandi, anak lelakinya menyambut kedatangan saya.

Sekitar 10 menit sampan melaju, kami berbelok menuju aliran sungai kecil. Sepanjang perjalanan terhampar kebun karet milik warga. “Ini namanya aliran handel Mahikeng,” kata Syamsudin. Dalam bahasa Dayak Ngaju, handel berarti aliran sungai buatan.

Luas lahan karet Diwie sekitar satu hektar. Menyadap karet merupakan kegiatan rutin setiap hari. Pekerjaan itu biasa dikerjakan bersama istrinya. Meski kadang-kadang anak paling besar, Dandi, juga ikut. “Kalau pagi getah masih banyak, siang sudah berkurang,” kata Rehana.

Menurut dia, dalam sehari mereka bisa memanen karet sebanyak 15 Kilogram. Satu kilogram karet  dijual Rp8.000. Dengan hasil menyadap karet itu cukup untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga.

Selain dari hasil karet, sesekali mereka mencari rotan tetapi hanya jika ada pesanan dan harga bagus.“Kami memang hidup tergantung dengan hasil karet. Sesekali jika ada pesan, kami cari rotan. Kami juga tanam padi gunung di ladang. Padi yang ditanam tanpa pakai pupuk kimia. Rasanya juga lebih enak,” ucap Syamsudin.

Sekitar 90 persen mata pencaharian warga di sekitar area DAS Kahayan, hidup tergantung pada hasil karet dan rotan. Meski ada juga yang menanam padi gunung. Hutan di wilayah mereka tak pernah diganggu. “Kalau hutan desa rusak, kebun karet kami juga ikut rusak. Karena itu kami berusaha menjaga hutan agar tetap lestari. Salah satu dengan menolak keberadaan kebun sawit,” kata Syamsudin.

Syamsudin dan sadar betul, keberadaan hutan desa di lingkungan mereka membuat ketersediaan air terjamin. Musim hujan atau kemarau, air tetap melimpah. Hal itu membuat kebun karet yang mereka kelola tetap terjaga. “Dari sini ke hutan desa sangat jauh. Kalau musim hujan dan air di handel pasang, bisa dilalui pake sampan 2,5 jam perjalanan. Kalau air surut, harus jalan kaki bisa  sehari semalam baru sampai.” (Habis)

Menyadap getah merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat sekitar DAS Kahayan, selain menjual rotan. Foto: Indra Nugraha
Menyadat karet merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat sekitar DAS Kahayan, selain menjual rotan. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,