, ,

Sungai Kafekai Diduga Tercemar Tambang, Warga Podi Gatal-Gatal

Jatam Sulteng, Yayasan Merah Putih dan Walhi Sulteng telah mengirimkan surat ke berbagai lembaga dan kementerian meminta ketegasan pemerintah menindak Arthaindo. Mereka juga berencana mengajukan gugatan class action.

Kehadiran tambang bijih besi PT Arthaindo Jaya Abadi (Arthaindo) di Desa Podi, Kecamatan Tojo, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah (Sulteng), mulai menyengsarakan warga.  Sebab, Sungai Kafekai, di Desa Podi, Dusun II, yang dulu berwarna jernih, telah berubah warna menjadi merah kecoklatan. Air sungai itu diduga tercemar limbah perusahaan Arthaindo yang berjarak hanya 1,6 kilometer dari pemukiman warga Dusun II.

Muhamad Irsan, dari Yayasan Merah Putih, yang mengadvokasi warga Podi mengatakan, Sungai Kafekai merupakan satu-satunya sumber mata air bersih warga Dusun II. Ia sering dipakai untuk keperluan mandi hingga air minum. Sejak kehadiran Arthaindo,  sekitar delapan bulan lalu, warga mulai resah.  Dalam satu bulan ini, sungai warga ini sudah terkena dampak.

Air Sungai Kafekai sudah tercemar limbah perusahaan. Terbukti, warga mulai diserang gatal-gatal ketika menggunakan air dari sungai. Tubuh warga gatal-gatal bintik-bintik merah, bahkan sebagian besar sampai kemaluan mereka. “Badan Nasional Penanggulangan Bencana di Kabupaten Tojo Una-una sudah melansir Sungai Kafekai kini sudah tidak layak digunakan,” katanya, Selasa (17/9/13).

Dia mengatakan, warga yang terdata  terserang gatal-gatal ada 60 orang. Wargapun  mencari sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari ke Dusun III. Untuk air minum, sebagian besar warga beralih membeli air galon atau air kemasan.“Namun warga merasa membeli air galon sangatlah mahal.” Saat ini, kata Irsan, sampel air sungai sudah dikirim ke laboratorium untuk diuji.

Untuk kasus ini, Jatam Sulteng bersama Walhi dan Yayasan Merah Putih Palu berencana melakukan gugatan class action. Namun, masih menunggu respon dari laporan yang dikirimkan kepada Mabes Polri, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Kementrian Kehutanan dan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Surat ini sudah disampaikan Senin lalu (9/913),” kata Syahrudin Ariestal Douw, Direktur Eksekutif Jatam Sulteng.

Surat itu, intinya meminta ketegasan pemerintah menindak Arthaindo dan mencabut izin yang sudah dikeluarkan.  Ahmad Pelor, Direktur Eksekutif Walhi Sulteng mengungkapkan hal yang sama. Saat ini,  mereka menginvestigasi lebih dalam lagi kasus pencemaran sungai di Desa Podi Dusun II.“Sungai telah tercemar oleh limbah perusahaan. Ini akibat akumulasi kerusakan oleh Arthaindo yang makin massif.”

Padahal, sejak 28 Juni 2013, kepolisian telah memasang garis polisi (police line) pada sebagian alat berat perusahaan dan pada tumpukan material yang telah diangkut ke dermaga di Desa Podi. Tanda polisi ini karena Arthaindo diduga melakukan penambangan di kawasan hutan tanpa mengantongi izin dari Kementrian Kehutanan.

Pada 26 Juli 2013, warga Desa Podi melakukan unjuk rasa. Mereka protes dengan memagar jalan masuk tambang.  Mengapa? Karena meskipun ada police line, tetapi perusahaan terus beroperasi.  Aneh binti ajaib, aksi ini dibalas polisi dengan memanggil enam orang warga Podi ke Kepolisian Sektor Tojo, dengan tuduhan penyerobotan tanah di wilayah itu.

Arthaindo,  merupakan anak perusahaan Earthstone Resources, penamanan modal dari India dengan luas konsesi 5.000 hektar, berdasarkan IUP yang dikeluarkan Bupati Tojo Una-una tahun 2012.

Sebelumnya,  PT. Adiguna Usaha Semesta adalah perusahaan pemegang izin eksplorasi, tetapi pemerintah Kabupaten Tojo Una-una, membuat perubahan dan memberikan izin eksplorasi dan ekspolitasi kepada Arthaindo.

Perubahan izin eksplorasi dari PT. Adiguna Usaha Semesta kepada Arthaindo ini berdasarkan surat permohonan Arthaindo tertanggal 26 Maret 2012,  Nomor; 04/AJA/III/2012.  Pada 3 April 2012, Bupati Tojo Una-una, Damsik Ladjalani mengeluarkan surat keputusan Nomor: 188.45/115/ Distamben. Surat ini tentang perubahan Keputusan Bupati Tojo Una-una tentang izin usaha pertambangan eksplorasi biji besi kepada Arthaindo.

Dari luasan 5.000 hektar izin  ini, membentang dari Kecamatan Tojo hingga Kecamatan Ulubongka. Kantor urusan-urusan administrasi dan pelabuhan jeti perusahaan berada di Desa Podi.   Dalam daftar pemegang saham Arthaindo ada tercantum Hadra Binangkari dan I Wayan Sudiana.

Hadra Binangkari, Direktur Arthaindo, kelahiran Desa Podi. Tahun 1960an, sang ayah,  Binangkari adalah tuan tanah yang menguasai tanah dan perkebunan kelapa, di sepanjang Kecamatan Tojo. Hadra Binangkari menikah dengan pejabat polisi bernama I Wayan Sudiana. Kini, salah satu anak mereka, Putu Hendra Binangkari menjadi perwira di Polda Sulteng.

Perusahaan ini, tak hanya mengeruk puncak Gunung Umogi, juga membangun pelabuhan di Dusun IV, Desa Podi. Pelabuhan ini tepat di sisi Jalan Trans Sulawesi yang menghubungkan antara ibukota Kabupaten Tojo Una-una dan Kabupaten Poso.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,