Jaringan Masyarakat Gambut Riau: Investasi Bisnis di Lahan Gambut Dorong Munculnya Konflik

Riau memiliki total lahan gambut 4,04 juta hektar atau sektiar 48% dari total wilayah Riau. Bahkan hamparan gambut di Riau  itu merupakan 56% dari total gambut di Sumatra. Dari 4,04 juta hektar itu sekitar 60% sudah rusak. Kerusakan itu paling besar dipicu oleh praktik buruk investasi di sektor kehutanan yakni hutan tanaman industri dan perkebunan sawit.

Pada 25-26 September 2013 lalu, Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) menyelenggarakan kongres ke-2 dan memilih Isnadi Esman (31), warga Desa Bagan Melibur, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau sebagai Sekretaris jendral baru periode 2013-2017. Isnadi adalah aktor aktif dari peralawan masyarakat Pulau Padang atas kehadiran perusahaan pulp dan kertas, Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di desanya. Dulunya, Isnadi hanya seorang pekerja lapangan dari perusahaan minyak swasta dan kontraktor kecil lalu memutar haluan menjadi aktivis.

Jumat (27/9/2013) silam, Mongabay-Indonesia mewawancarai Isnadi tentang gambut dan peran organisasinya terhadap tren investasi berbasis lahan luas yang telah merambah hingga ke lahan bergambut setelah ketersediaan lahan di tanah mineral (tidak gambut), semakin sempit.

Bagaimana kelapa sawit mengeringkan lahan gambut? ini dia gambaran jelasnya. Sumber: RAN
Bagaimana kelapa sawit mengeringkan lahan gambut? ini dia gambaran jelasnya. Sumber: RAN

Mongabay-Indonesia : Selamat atas terpilihnya Anda sebagai Sekretaris Jenderal JMGR untuk empat tahun ke depan. Apa fokus program yang akan Anda lakuka?

Isnadi: Sebagai gambaran JMGR, kongres ini adalah kongres JMGR yang ke-2, yang dihadiri oleh lima orang setiap perwakilan kabupaten. Anggota kita sejak kongres pertama tahun 2010 ada di lima kabupaten, yakni Siak, Pelalawan, Indragiri Hulu, Rokan Hilir dan Kepulauan Meranti. Dan pada kongres ke-2 ini sudah bergabung perwakilan masyarakat dari Kabupaten Indgragiri Hilir yang juga ada hamparan gambutnya. Jadi ada enam kabupaten yang kini menjadi anggota JMGR.

Kalau bicara mau dibawa kemana empat tahun ke depan, kita harus balik ke history kenapa JMGR ada di Riau. Tren ekspansi  investasi di tanah mineral tidak begitu begitu besar lagi barangkali ketersediaan tanah tak ada lagi, dan sekarang ekspansinya sudah sampai di areal gambut. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Gambut, mengatur secara khusus pemanfaatannya dan tidak disarankan untuk ekspansi sawit dan HTI. Gambut dengan kedalaman tiga meter diperuntukkan untuk konservasi bukan perkebunan. Ekpansi (ke lahan gambut) itu memicu konflik antara masyarakat dengan perusahaan.

Sesuai dengan mandat dan rekomendasi pada kongres pertama itu, salah satunya adalah, advokasi persoalan masyarakat secara konsisten menolak ekspansi di wilayah gambut. Selain advokasi, JMGR juga konsisten membangun pemahaman masyarakat yagn lebih baik terhadap pentingnya menjaga dan melestarikan hutan dan wilayah gambut tersebut. Dan juga fokus membangun model perekonomian alternatif bagi masyarkat.

Mongabay-Indonesia : Kenapa harus ada jaringan masyarakat Gambut?

Isnadi: Gambut itu punya keistimewaan dibandingkan lahan mineral. Sehingga perlu pengelolaan yang berbeda. Gambut merupakan endapan organik fosil-fosil tumbuhan selama beratus tahun. Gambut seperti busa yang mengandung banyak air dan berfungsi menyerap karbon. Kerusakan pada sebagian gambut menyebabkan kerusakan seluruh hamparan gambut itu. Jika rusak, maka apa pun di atasnya seperti hutan, tumbuh-tumbuhan dan satwa juga terancam termasuk masyarakat.

Masyarakat yang hidup di sekitar wilayah hutan gambut itu banyak dan mereka menggantungkan hidup generasi ke generasinya di dalam hutan itu. Dan tren investasi sawit dan HTI yang merambah ke wilayah gambut, mereka membuat kanal-kanal untuk mengeringkan kawasan agar bisa ditanam sawit atau HTI. Paling besar itu HTI. Kanal yang dibangun di gambut itu ditembuskan ke sungai dan inilah yang membuat kandungan air di gambut berkurang dan akhirnya rusak. Praktik buruk inilah yang mengancam habitat satwa dan fauna di atasnya termasuk masyarakat dan ekologinya. Memang benar masyarakat juga membuat kanal untuk kebun mereka. Tapi kerusakan paling besar itu didorong perusahaan yang memiliki banyak modal.

Karena itu, JMGR menjalankan program pelatihan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap gambut. Tapi masih belum cukup. Karena kebiasaan masyarakat yang berladang di gambut dengan bikin kanal masih ada satu-satu orang. Kedua pemahaman tentang fungsi penyerapan karbon dari gambut yang jika rusak akan mendorong pemanasan global. Yang terakhir ini adalah pengetahuan baru bagi kami dan masyarakat.

Tak tersisa tegakan pohon yang bisa menyerap karbon, apalagi spesies endemik lokal yang berlarian akibat hancurnya habitat mereka. Foto: Zamzami
Tak tersisa tegakan pohon yang bisa menyerap karbon, apalagi spesies endemik lokal yang berlarian akibat hancurnya habitat mereka. Foto: Zamzami

Mongabay-Indonesia :Bisa berikan contoh kerusakan gambut yang ditakutkan JMGR itu?

Ishadi: Misalnya, perkebunan sagu di Pulau Padang, di kampung saja dan di Tebing Tinggi, Kepulauan Meranti. Jika kanalisasi dibiarkan terus dibangun oleh perusahaan seperti RAPP saat ini dan juga sudah dilakukan oleh sejumlah perusahaan sebelum RAPP datang, produksi sagu di kabupaten ini mengalami penurunan drastis. Dalam 10 tahun terakhir produksi sagu semakin berkurang drastis.

Kerusakan gambut dalam sepuluh tahun terakhir telah menyebabkan intrusi air laut ke daratan semakin buruk dah jauh masuk ke areal perkampungan melalui kanal-kanal perusahaan, seperti di Pulau Rangsang. Bahkan juga ancaman abrasi yang setiap tahun bisa sampai 10 meter mengurangi daratan. Kalau setiap tahun terjadi begini dan dibiarkan, jadi pulau itu tinggal menghitung hari saja. Belum lagi dampaknya terhadap hilangnya sumber ekonomi mereka.

Mongabay-Indonesia: Bagaimana dengan konflik yang terjadi di lahan tanah mineral? Karena konflik juga banyak terjadi di sini, apakah JMGR juga peduli?

Isnadi: Dalam pelaksanaanya kami juga menampung aspirasi konflik dari tanah mineral. Dari sisi anggota saja, bukan hanya mereka yang berasal dari wilayah gambut, tapi juga dari bukan gambut. Kita di sini membentuk solidaritas dalam perjuangan. JMGR adalah organisasi masyarakat, jadi siapa saja kita bisa buat solidaritas.

Bicara soal konflik di gambut, kita juga tidak hanya bicara soal petani, di sana juga ada buruh dan nelayan. Dan ke depan kita akan memperluas cakupan keanggotaan di Riau seperti  di Bengkalis dan Dumai. Karena mereka sudah ada yang mengontak kita.

Gambut yang hancur di Pelalawan, Propinsi Riau. Foto: Zamzami
Gambut yang hancur di Pelalawan, Propinsi Riau. Foto: Zamzami

Mongabay-Indonesia : Seburuk apa konflik agraria ini di lahan bergambut?

Ishadi: Pada tahun 2011, JMGR mencatat terdapat 62 desa di Riau yang berkonflik dengan perusahaan. Data ini berdasarkan pengaduan yang masuk yang kita rangkum dalam catatan akhir tahun JMGR 2011. Konflik umumnya adalah perampasan lahan, akses masyarakat ke dalam hutan yang biasa mereka manfaatkan untuk kehidupan mereka, dan soal tapal batas.

Pemetaan kita, ada 22 titik di wilayah gambut yang konflik di 62 desa itu yang mencakup luas lahannya 272.063 hektar.  Penyebabnya itu banyak. Ada karena tumpang tindih hak-hak penguasaan sumberdaya lahan, tidak adanya sosialisasi tentang rencana perusahaan atau dikenal dengan prinsip persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi awal (Free Prior Informed Consent – FPIC). Selain itu juga karena pengabaian hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, perebutan lahan antar masyarakat, hilangnya mata pencaharian ekonomi dan ganti-rugi lahan yang tidak sesuai dengan harapan, termasuk kesepakatan yang tidak direalisasikan perusahaan.

Dan konflik ini dari tahun ke tahun meningkat. Kita memang belum ada data konflik yang rapi untuk tahun 2012 tapi kita yakini dari pelaporan, konflik ini bertambah. Kenapa? Karena konflik yang lama tidak selesai, konflik yang baru justru muncul di wilayah lain.

Tingginya konflik ini juga karena gaya perusahaan saat meminta persetujuan masyarakat. Mereka menjanjikan ganti rugi. Ganti rugi ini sebenarnya menimbulkan konflik di internal masyarakt, karena itu mendorong lahirnya mafia-mafia tanah. Mereka membuat kelompok-kelompok tani, namun fiktif, lalu memblok-blok lahan dan menjualnya ke perusahaan. Perusahaan melakukan pendekatan kepada tokoh yang tidak representatif bagi seluruh  masyarakat, termasuk hanya kepala desa saja, perangkat desa lainnya, tokoh dan preman. Seharusnya perusahaan melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat.

Mongabay-Indonesia : Sejak pertama dibentuk tahun 2010, apakah JMGR cukup memberikan pengaruh terhadap penyelesaian konflik?

Ishadi: Seperti kasus di Teluk Meranti, RAPP cukup risau atas eksistensi JMGR. Di Kepulauan Meranti, pemerintah dah mengajak JMGR untuk berbicara soal penanganan konflik. JMGR juga dilibatkan dalam pengelolaan KPHP (kesatuan pengeloaan hutan produksi). JMGR juga bagian dari Forum Multipihak Semenanjung Kampar.

Makanya besarnya pengaruh JMGR ini, ke depan sebagaimana rekomendasi kongres, kami akan memperkuat peran dan posisi JMGR di seluruh wilayah yang ada gambutnya di Riau. Mendorong kebijakan pemerintah yang pro terhadap pengolaan gambut yang adil, mendesak persuahaan untuk menerapkan FPIC. Juga penting bagi kami terus melakukan pelatihan mengenai pengelolaan gambut dengan mendatangkan ahli gambut, pelatihan di bidang hukum dan keorganisian atau pengkaderan.

orangutan
Salah satu kasus akibat perusakan lahan gambut di Aceh, hilangnya habitat untuk orangutan. Foto: SOCP

Nah sekarang konflik gambut ini bukan saja terjadi di Riau, tetapi juga ada di Jambi yang kemudian membentuk Jaringan Masyarakat Gambut Jambi – JMGJ dan di Sumatra Selatan yang membentuk Serikat Petani Sriwijaya yang membentuk departemen gambut. Itu kita gagas bersama, tujuannya nanti membangun jaringan masyarakat gambut se Sumatra yang akan mengajak kawan-kawan di Aceh dan provinsi lainnya karena mereka juga punya wilayah gambut. Kemarin deklarasi awalnya sudah dilakukan di Sumsel.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,