, , ,

Berbagai Daerah Soroti APEC: Jangan Hanya Demi Kepentingan Bisnis

Pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang dihelat di Bali, sejak awal sampai 8 Oktober 2013, membahas berbagai urusan bisnis, termasuk usulan pemerintah Indonesia, salah satu memasukkan sawit ke dalam environmental goods list (EGL), walau kandas. Meskipun begitu, Indonesia mengusulkan inisiatif baru dalam memperjuangkan CPO tertuang dalam dokumen promoting products with contribute to sustainable and inclusive growth through rural developmnet and poverty alleviation.

Perjanjian-perjanjian kerja sama investasi pun ditandatangani dalam ajang ini. Apalagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut, diri sebagai Kepala Pemasaran Indonesia Inc. Dia mengundang seluruh pengusaha dan pemimpin se-Asia Pasifik meraih investasi di Indonesia. Itu diungkapkan kala Presiden pidato pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi CEO Forum Kerja Sama Asia Pasifik (APEC) 2013 di Nusa Dua, Bali, Minggu, 6 Oktober 2013. Berbagai kalangan pun menyoroti dan mengkritisi pertemuan APEC ini.

Irhash Ahmady, dari eksekutif Walhi Nasional meyakini usaha Indonesia memasukkan sawit dalam EGL ini guna menutupi persoalan konflik lahan di sektor sawit. Indonesia, mendorong sawit karena lebih dari tiga perempat konsumsi bahan bakar nabati Uni Eropa akan dipenuhi biodiesel, dimana 20 persen diproyeksikan dari Indonesia dan Malaysia.

Saat ini, luas perkebunan sawit, baik yang berproduksi maupun land bank perusahaan seluas 11 juta hektar atau dua kali luas negara Kroasia.  Pada 2020, alokasi perkebunan sawit bakal mencapai 28 juta hektar atau sekitar tiga kali luas negara Portugal!

Dari Sulawesi Selatan, Sardi Razak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, menyatakan, korban perkebunan sawit massif lagi-lagi masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan. “Dapat dipastikan wilayah-wilayah adat akan menjadi sasaran utama perluasan. Belum lagi kawasan hutan, khusus hutan lindung.”

Tak hanya sawit. Jika keran investasi dibuka lebar, Sardi menolak tegas segala bentuk pemberian izin tambang, dan eksploitasi hasil hutan berlebihan.“Apa yang terjadi saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Bukan mensejahterahkan rakyat, industri perkebunan dan tambang justru memiskinkan dan meminggirkan masyarakat.”

Sardi mencontohkan, konflik lahan di Sulsel, baik dengan PTPN IX maupun perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan. Salah satu kawasan adat yang masih bermasalah karena sawit di Uraso, Kabupaten Luwu Utara.

Dia khawatir, investasi sawit justru membuka ruang korupsi baru. “Dengan kondisi saat ini, saya menilai upaya pemerintah hanyak akan membuka ruang korupsi baru, khusus pengelolaan sumber daya alam,” ujar dia.

Senada disampaikan Anwar Lasappa dari Forum Studi Lingkungan Hidup (Fosil). Anwar menilai,  langkah pemerintah sarat kepentingan bisnis dan kemungkinan memawadahi kepentingan perusahaan-perusahaan sawit, seperti Wilmar dan Sinar Mas.

“Saya tidak melihat ada unsur hijau di dalamnya. Saya khawatir isu hijau hanya dijadikan alasan pembenaran untuk eksploitasi SDA Indonesia besar-besaran, khusus untuk kepentingan perkebunan sawit dan kayu hutan.”  Anwar berharap, pemerintah tak terjebak dalam wacana politisasi hijau global, yang justru sarat kepentingan bisnis.

Hutan lindung Bukti Suligi di Rokan, Riau, yang nyaris gundul dan dijadikan perluasan perkebunan. Foto: dari Facebook Hutan Riau.

Asmar Exwar, Aktivis dari Konsorsium Pembaruan Agraria, tegas menolak apa yang akan dilakukan pemerintah di forum APEC. Dia tegas menolak forum ini di Indonesia.“Dari awal kita menolak APEC ini, karena bakal menjadi ajang jual beli konsesi perkebunan, kehutanan, pertambangan maupun investasi lain seperti pembangunan infrastuktur yang justru berujung pada kerusakan lingkungan dan memiskinkan rakyat.”

APEC ini, sebenarnya hanya ajang deal pengurasan SDA oleh pengusaha,  investor luar negeri dan petinggi negara-negara anggota. Perkebunan sawit yang ada saja menimbulkan banyak masalah. Dari kerusakan lingkungan akibat pembukaan hutan, pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat sekitar perkebunan.

Dari Kalimantan Tengah (Kalteng) juga bersuara. Nordin, Direktur Eksekutif Save Our Borneo, menduga, seiring peningkatan kebutuhan dunia akan green product, kongsi APEC akan melakukan berbagai cara seolah-olah minyak sawit dan industri ekstraktif Indonesia itu green.

Mereka, para konsumen negara industri merupakan sumber dan partisipan aktif dalam perusakan alam, hutan dan lingkungan Indonesia. “Indonesia tak boleh disalahkan sendiri. Mereka harus turut bertanggungjawab sebagai konsumen.”

Kussaritano, Direktur Eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalteng, mengatakan usulan memasukan produk sawit dan kayu sebagai green product ada baik dan buruknya. Hanya, yang perlu ditekankan, sejauh mana pemerintah mampu mememastikan cara-cara industri di Indonesia,  ramah lingkkungan.“Jika ada perusahaan sawit merusak lingkungan,  apa punishment dari pemerintah? Selama ini kan pemerintah identik dengan pembiaran dan lalai memperhatikan aspek sosial dan lingkungan,” kata pria yang akrab disapa Itan ini.

Itan berharap, pemerintah fokus pada penghentian kegiatan berkaitan pembukaan lahan. “Pemerintah juga harus berani menolak utang dari rentenir dunia. Kita tidak bisa berharap banyak di dalam kongres APEC ini. Karena ini semua berjalan sisitemtis dan terorganisir. Hanya menguntungkan kalangan tertentu dan berlaku pasar bebas. Yang perlu diperkuat posisi tawar masyarakat.”

Tanggapan serupa dari Arie Rompas, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng. Dia mengatakan, sampai saat ini belum mendapatkan gambaran perkebunan sawit skala besar yang green product. “Ini soal sistem perkebunan skala besar, sudah dipastikan akan membuka bentang alam, merusak rantai ekosistem dan merampas tanah-tanah masyarakat adat dan petani.”

Dari Gorontalo Women Institute Research and Empowerment of Gorontalo (Wire-G), lembaga non pemerintah yang konsern terhadap isu-isu perempuan menilai, pertemuan APEC di, tidak memihak masyarakat, terutama perempuan.

Kusmawaty Matara, Sekretaris Eksekutif Wire-G menyatakan, selama ini pembangunan sawit di Gorontalo menghalangi masyarakat mengakses SDA. Hutan, selama ini menjadi mata pencaharian kaum perempuan, dari membuat seseh atau semacam kayu membuat atap sampai mencari kayu bakar.

Dia menambahkan, salah satu bahasan APEC itu tentang perdagangan kopra. “Wire-G punya sikap menolak perdagangan kopra, karena akan banyak alih fungsi hutan menjadi lahan kopra. Efeknya emisi meningkat, kesuburan tanah turun karena pupuk kimia dan pestisida.”

Warga Desa Mantangai, yang kehilangan tanah karena lahan mereka dicaplok perusahaan sawit. Parah lagi, ternyata perusahaan sawit sudah beroperasi walau izin belum lengkap. Apakah investor seperti ini yang akan diundang untuk ‘mengembangkan’ ekonomi Indonesia? Foto: Walhi Kalteng

Dari Kalimantan Barat (Kalbar) pun angkat berbicara. Lorens, Focal Point Kalimantan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), menilai,  upaya pemerintah memasukkan sawit, karet, dan kayu sebagai produk green dalam APEC cenderung mendorong pasar semata.

Padahal,  persoalan sawit masih sangat kompleks. Fakta memperlihatkan, pembangunan sawit dalam skala besar masih menimbulkan masalah lingkungan dan belum menguntungkan petani kecil.  Padahal, komoditas strategis seharusnya memiliki nilai keberlanjutan. “Baik dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan.” Menurut dia, harus ada jaminan komoditas harus sesuai standar legalitas, berkelanjutan, dan terpenting mensejahterakan rakyat.

Lorens menyebutkan, fakta indeks prestasi manusia (IPM) di Kalbar masih rendah dan angka kemiskinan di wilayah yang memiliki investasi sawit masih tinggi. “Ini salah satu indikator peran investasi dalam kemajuan wilayah belum terasa hingga saat ini,” katanya.

Hermayani Putera, Manajer Program Kalbar WWF-Indonesia, menggarisbawahi,  bagaimana roda perekonomian tetap tumbuh, tetapi emisi karbon bisa ditekan. Menurut dia, langkah penting harus dilakukan dengan merumuskan aktor-aktor pelaku bisnis saat ini. “Di sektor sawit, angka terakhir itu 40 persen dari petani swadaya. Tapi apa imbal jasa balik ke petani? Nyaris nol. Ini dipicu supervisi yang minim, dan pemerintah tak bisa kontrol.”

Dari Sumatera Utara (Sumut), Timbas Ginting, Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Sumatera Utara (Gapki Sumut), mengatakan, niat Indonesia, memperjuangkan sawit masuk lis APEC sudah terlambat. Jika sebagai tuan rumah APEC 2013, usaha Indonesia berhasil, bukan kebanggaan. Sebab, sampai saat ini, UU dan aturan tumpang tindih, belum diperbaiki.

Selama ini, katanya, sering terjadi konflik lahan, penyerobotan lahan milik masyarakat back up oknum aparat, ada pengusaha nakal bermain dalam isu perkebunan Indonesia yang tidak ramah lingkungan dan kualitas sawit rendah.

Berbagai isu ini, katanya, dari analisis Gapki hanya dimainkan oknum tertentu yang berlindung di balik UU dan peraturan daerah yang mengatur soal lingkungan dan hutan. “Jadi jikapun sawit masuk EGL, jika UU dan peraturan daerah masih tumpang tindih seperti saat ini, takkan maksimal. Tak akan mengubah apapun soal perkebunan di dalam negeri.”

Aturan tumpang tindih ini, katanya, sering dimanfaatkan sekelompok orang bermain isu lingkungan dan perkebunan. Salah satu soal UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Tata Ruang, dan perda soal kehutanan. UU Kehutanan menyebutkan, ada kawasan hutan lindung dan budidaya. Di dalam UU Tata Ruang, ada kawasan hutan budidaya, ada hutan produksi terbatas, hutan produksi, dan kawasan hutan konservasi. Semua menjadi tak jelas karena tumpang tindih.

“Kalau hutan lindung ya harus dilindungi. Jangan sekali kali perkebunan masuk disitu, jika terjadi harus ditindak tegas. Kami mendukung itu.”  “Selama ini kan tidak, jika ada masyarakat menggarap, langsung dibabat habis, jika oknum pengusaha nakal bermain, malah dilindungi. Jadilah kita dilaga satu sama lain. Ini tidak adil.” (Laporan dari kontributor Mongabay di berbagai daerah)

Bekas galian batubara yang menganga bak danau ini menghancurkan hutan dan lingkungan di Kalteng. Foto: Walhi Kalteng
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,