, , ,

Terkepung Sawit, 500 an Warga Kuala Seumayam Hanya Miliki 3 Hektar Lahan (Bagian 1)

Abdurrani, nyaris hilang kesabaran. Selama hampir 10 tahun lebih dia dan ratusan warga Desa Kuala Seumayam berjuang untuk sepetak tanah kuburan di tanah desa mereka di Rawa Gambut Tripa, Aceh. Hampir tak ada lahan tersisa di desa mereka. Semua masuk wilayah hak guna usaha (HGU) perusahaan sawit,  PT. Kalista Alam. Sekitar 500 an warga di desa ini tinggal hanya di lahan sekitar tiga hektar!

Bukan itu saja. Sisa hutan rawa gambut yang masih penuh tegakan pohon di dekat pantai, tempat mereka biasa mencari lele, kerang dan madu, pun sudah bukan milik mereka. Negara telah menyerahkan hutan mereka kepada PT. Surya Panen Subur II. Perusahaan-perusahaan itu adalah dua dari lima pemodal besar yang menghabisi hutan rawa gambut Tripa sejak 1990 untuk disulap menjadi kebun sawit.

“Kami kehilangan hak atas tanah desa kami, semua tergadai HGU sawit yang dibagi-bagi di Jakarta. Bahkan tanah kuburan pun tidak disisakan. Setiap ada yang meninggal kami harus bawa jenazah jauh keluar ke Desa Alue Beutong Broek sekitar 15 kilometer,” kata Abdurrani.

Siang terik di pertengahan September lalu, Abdurrani dan beberapa warga desa dipimpin Keuchik (kepala desa) Muhammad menerima kunjungan wartawan yang  kesekian kali datang meliput ke Tripa. Sejak cerita kerusakan hutan gambut di sana mencuat sampai ke Jakarta dan luar Indonesia.

Warga duduk berkumpul di rumah kepala desa, memperlihatkan kegusaran karena sudah bosan dengan orang luar yang sering datang ke desa mereka.   “Kami ditipu tiap hari. Banyak yang datang tanya-tanya. LSM, wartawan, pejabat. Mana hasilnya? Tempat kami tetap seperti ini. Tanah kami tidak bertambah-tambah,” kata Abdurrani. Dia agak emosi.

Warga yang berkumpul memperlihatkan rimbunan batang-batang sawit berusia lebih dari 15 tahun milik PT. Kalista Alam di sekeliling desa. Desa mereka terlihat hanya satu komplek kecil di dalam belantara  pohon sawit dengan tinggi mencapai lebih  10 meter. Di atas tanah seluas tiga hektar itu lebih dari 500 jiwa atau sekitar 83 keluarga Kuala Seumayam tinggal di rumah-rumah kecil bantuan pemerintah. Rumah ini dibangun setelah desa mereka direlokasi tahun 2004. Tidak ada lahan untuk pertanian, semua habis dibagi untuk membangun rumah, gedung sekolah dasar, mesjid kecil dan lapangan bola volly.

Muhammad mengatakan, mereka coba meminta tanah di depan komplek desa kepada PT. Kalista Alam seluas empat hektar untuk pemakaman dan sedikit lahan bagi warga untuk bisa bercocok tanam. Lahan yang mereka harapkan itu tak sebanding dengan 6.000 hektar lebih tanah Desa Kuala Seumayam yang dikuasai perusahaan. “Katanya harus bayar ganti rugi, Rp8 juta per batang. Satu hektar ada 130 batang,” kata Muhammad. Harga tebus yang tak sedikit, padahal harga tanah di situ tak sampai Rp50 ribu per meter.

Bertahun-tahun tanah empat hektar itu tak kunjung didapat. Ia menyisakan persoalan yang membuat kesabaran warga Kuala Seumayam siap meledak. Mereka harus bernegosiasi tanpa dampingan pemerintah hanya untuk mendapat sepetak tanah kuburan dan lahan bertani dari perusahaan yang menguasai desa. “Sekarang kami yang menumpang pada PT. KA,” kata Muhammad.

Komplek pemukiman warga Kuala Seumayam ini terletak di pinggiran perkebunan sawit PT. Kalista Alam bersisian dengan Sungai Krueng Seumayam, di Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya. Ini relokasi dari desa lama yang hancur akibat konflik dan terjangan tsunami. Untuk mencapai desa ini harus menempuh perjalanan satu jam menyusuri jalan tanah dari ibu kota kecamatan di Alue Bilie. Akses jalan satu-satunya ke desa merupakan jalan perusahaan, harus melewati pos penjagaan.

kanal di perkebunan sawit PT. Kalista Alam mengeringkan rawa gambut Tripa. Foto: Chik Rini
kanal di perkebunan sawit PT. Kalista Alam mengeringkan rawa gambut Tripa. Foto: Chik Rini

Tapak Desa Kuala Seumayam lama terletak jauh di pinggir pantai yang menghadap Samudra Hindia, berada di  Muara Sungai Krueng Seumayam. Kuala Seumayam adalah desa paling tua yang sudah ada di hutan Tripa sejak zaman Belanda.

Awal tahun 2000, ketika pecah konflik bersenjata antara tentara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, rumah-rumah dibakar. Ratusan orang terpaksa meninggalkan desa mereka. Mereka kocar-kacir mengungsi mencari tempat aman di luar desa. Sebagian membangun pemukiman baru di kabupaten tetangga Aceh Barat Daya.

Tahun 2004, sebagian  warga memilih pulang ke Kuala Seumayam, membangun tapak pemukiman baru di pinggir HGU PT. Kalista Alam dengan membeli tanah seluas tiga hektar untuk relokasi desa. Di situ mereka mendapat rumah bantuan dari Tentara Indonesia dan sebagian bantuan dari dana perdamaian Aceh.

Orang-orang Kuala Seumayam masih bertahan dengan mata pencaharian tradisional seperti mencari limbek (lele rawa), lokan (kerang) dan madu di hutan. Perlu waktu empat jam menggunakan perahu mesin kecil menjangkau hutan kecil di dekat desa lama Kuala Seumayam. Ada yang masih ke laut mencari ikan. Hanya 20 persen warga bekerja di PT Kalista Alam sebagai buruh dengan upah Rp43.000 per hari. Posisi paling tinggi menjadi satpam.

Tanah Kuala Seumayam mulai dikuasai PT. Kalista Alam sejak 1996. Perusahaan membuka hutan Rawa gambut Tripa secara bertahap. Mereka menebang pohon-pohon, membakar dan tak menyisakan apapun di atas tanah gambut itu. Mereka mengeringkan air rawa dengan membuat saluran lebar agar air yang menggenangi permukaan gambut turun.

Warga Kuala Seumayam menjadi penonton.  Tanah mereka tak hanya dikuasai PT. Kalista Alam dan PT. SPS II, juga diambil warga desa lain yang membuka kebun sawit. Sedang mereka nyaris tak punya lahan bertani. “Kami percaya orang-orang bilang tidak boleh tebang pohon dan buka hutan karena ada gambut. Kenapa orang lain boleh melakukan?” kata Busra, warga Kuala Seumayam.

Lahan seluas 1.605 hektar yang sempat diberikan izin untuk PT. Kalista Alam juga di wilayah administrasi Desa Kuala Seumayam. Proses pemberian izin oleh Gubernur Aceh pada 2011 itu menuai gugatan dari Walhi Aceh. Hingga memaksa perusahaan menghentikan pembukaan hutan Rawa Gambut Tripa.

Gubernur Aceh membatalkan pemberian izin konsesi perluasan kebun sawit atas dasar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Agung. Bersama PT. SPS II, PT. Kalista menghadapi gugatan pidana atas pembakaran lahan gambut oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Warga Kuala Seumayam melihat sendiri bagaimana lahan 1.605 hektar itu dirambah warga kampung lain. “Padahal kalau kami diberi lahan itu, kami bisa pakai untuk berkebun,” ucap Muhammad.

Namun, karena mendengar proses pengadilan sedang berjalan, warga tak berani mengambil tanah itu. Sebagian hutan di dekat areal yang bermasalah itu rusak parah karena ditebang dan dibakar warga desa lain.  “Kami dengar ada masalah karena membakar gambut.”

Setiap ada pembukaan lahan dan membakar gambut warga Kuala Seumayam hanya kebagian asap yang membuat sesak pernafasan. “Kami hidup dalam kurungan asap selama berminggu-minggu jika mereka membakar lahan.”

Orang-orang di Tripa menyaksikan hutan mereka dihancurkan oleh perusahaan. Sejumlah orang kaya di Nagan Raya mulai pejabat pemerintah dan elit politik juga menguasai petak-petak kecil kebun sawit di Tripa. Warga desa lain juga berebut tanah yang belum digarap perusahaan. Semua tergoda menanam sawit di Tripa. (Bersambung)

Seorang warga mencari limbek (lele rawa) di antara kanal kebun sawit. Limbek mulai langka karena hutan gambut Tripa  hancur. Foto: Chik Rini
Seorang warga mencari limbek (lele rawa) di antara kanal kebun sawit. Limbek mulai langka karena hutan gambut Tripa hancur. Foto: Chik Rini
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,