Kisah Besudut, Anak Rimba Pertama di Perguruan Tinggi

Sudah sebulan lebih Besudut masuk kuliah. Sebulan lebih pula dia mulai direpotkan dengan urusan pelajaran. Besudut yang tercatat di akademik sebagai Irman Jalil adalah Orang Rimba pertama yang lulus seleksi sebagai mahasiswa Universitas Jambi pada tahun ini. Dia mulai mengikuti perkuliahan sejak bulan lalu.

Besudut memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang berada di Muarabulian, Kabupaten Batanghari –sekitar 70 kilometer dari jantung Kota Jambi. Dia sengaja memilih jurusan ini karena kelak ingin “mengejar matahari”, mendidik anak-anak rimba belajar baca tulis.

Niat Besudut bersambut. Besudut kuliah banyak mendapat seabrek bantuan. Bupati Tebo, H. Sukandar berjanji membayar uang kos tiap bulan. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI yang selama ini membantu mengadvokasi Orang Rimba juga membantu mengongkosi keperluan kuliah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh juga tak ketinggalan, berjanji memberi Rp 600 ribu per bulan.

Fasilitas itulah yang dianggap masyarakat rimba sebagai gaji dari pemerintah. Setiap pulang kampung Besudut berusaha menyisihkan uang untuk membeli oleh-oleh. Jika Besudut tak membawa apa-apa, warga rimba menggerutu. “Ah, kamu itu bagaimana sekolahnya tak ada bawa hasil.” Sejak kuliah biasanya setiap Jumat sore dia pulang ke rumahnya di kawasan transmigrasi Tanagaro, Kabupaten Tebo dan pulang kembali Minggu sore. Menempuh perjalanan sekitar tiga jam sekali jalan.

Besudut adalah murid angkatan pertama Saur Marlina “Butet” Manurung — aktivis yang mengajar orang rimba pada tahun 2000 silam. Dia belajar membaca dan menulis. selain dia ada dua teman: Temiyang dan Gentar. Setelah tiga tahun belajar, Gentar dan Temiang pulang ke rimba dan menikah. “Tinggal aku sendirian,” katanya.

Besudut berasal dari kelompok orang rimba yang tinggal di Daerah Aliran Sungai Bernai, sisi utara Bukit Duabelas, Jambi.

Besudut si bocah rimba yang kini menuntut ilmu di perguruan tinggi. Foto: Jogi Sirait
Besudut si bocah rimba yang kini menuntut ilmu di perguruan tinggi. Foto: Jogi Sirait

Besudut belum tahu apa cita-citanya saat di SD dan SMP. Baru setelah di SMA, dia mulai paham. Dirinya punya dua pilihan. Yaitu ikut WARSI atau menjadi guru mengajar teman-teman di dalam rimba. “Aku mau bikin tempat belajar di rimba dan melahirkan guru-guru baru,” begitu tekatnya.

Setamat SMA, para guru dan WARSI mendorong agar Besudut melanjutkan ke bangku kuliah. Mereka menyarankan masuk di PGSD, supaya bisa menjadi guru. “Kanti-kanti (teman-teman) mau seperti Besudut, tapi nanti siapa yang bayar biaya hidup mereka,” kata Besudut. Para orang tua membolehkan anak-anak mereka belajar, tetapi tetap harus bertanggung jawab untuk membiayai sendiri keperluan sehari-hari.

Sukmareni, staf Komunikasi KKI WARSI mengatakan, awalnya mereka melihat perlakuan yang tidak adil terhadap Orang Rimba. Kawasan hidup mereka nyaris habis dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Orang Rimba termarjinalkan karena sama sekali tak mengerti budaya orang luar. Tidak ada jalain lain. Orang Rimba mesti mengenal baca tulis.

“Kami memikirkan cara mengajarkan baca-tulis yang cocok pada mereka. Maka muncul ide sekolah alam dari Yusak Hutapea,” kata Sukmareni kepada Mongabay Indonesia. Di sekolah ini tak ada seragam. Jam pelajaran pun tak terikat jadwal. Orang rimba diyakinkan bahwa belajar membaca, menulis, dan berhitung tidak merusak budaya orang rimba. Yusak meninggal pada Maret 1999. Butet Manurung gantian masuk menggantikan posisi mendiang Yusak.

Berapa umur Besudut tak bisa dipastikan. Menurut ibunya, waktu Transmigrasi Swadaya Mandiri (TSM) Tanagaro, Kabupaten Tebo, dibuka, Besudut sudah dalam gendongan. Trans Tanagaro itu dibuka sekitar 1986. Diperkirakan, saat itu Besudut berusia setahun atau terlahir sekitar tahun 1985. Namun dalam secara administrasif tercatat, Besudut lahir 12 September 1992. ”Orang rimba tak pernah mencatat kapan anaknya lahir. Kami hanya menebak umur berdasarkan peristiwa,” kata Reni.

Salah satu sisi kehidupan Orang Rimba di Sumatera. Foto: Lili Rambe
Salah satu sisi kehidupan Orang Rimba di Sumatera. Foto: Lili Rambe

Sempat Putus Sekolah

Besudut tak terlalu lama belajar dari Butet. Saat itu orang rimba banyak yang menolak pendidikan. Setelah tiga tahun, pedagang rotan, Raman Kayak, membawa Besudut keluar rimba. Oleh Raman, Besudut langsung dimasukkan ke kelas empat SD. Tak lama kemudian Besudut dinaikkan ke kelas lima SD hingga tamat. Dia sering diajak melihat dunia luar. “Secara rata-rata anak desa, lumayanlah kemampuan Besudut,” ujar Reni.

Saat di SMP, Besudut mulai tak betah dan pulang ke rimba. Awalnya ia pulang kalau sekolah libur. Namun ia “berlibur” terlalu lama hingga tak masuk sekolah. Saat putus sekolah Besudut tinggal di Bernai, Tebo. Suatu ketika ia bertemu dengan Rahman, seorang fasilitator pendidikan WARSI. Kepada Rahman, ia mengaku masih ingin bersekolah, namun tak ingin jauh dari rimba dan tak ingin masuk sekolah setiap hari. Sekolah yang bisa membuat ia pulang ke rimba setiap hari. ”Ini jelas hal yang mustahil. Mana ada sekolah yang dekat dengan rimba,” Reni.

WARSI bernegoisasi dengan pihak SMP negeri di Tanagaro, Tebo. Hasilnya Besudut diperbolehkan masuk sekolah setiap Selasa. Kebetulan di sekolah itu ada pola SMP Terbuka. Tiap Senin dia ke luar dari rimba dan menginap. Terkadang menginap di pasar atau rumah warga. Selasa masuk sekolah hingga sore, kemudian pulang ke rimba. Sampai akhirnya pada 2010 dia lulus dengan nilai yang lumayan.

Masuk SMA, Besudut tidak bisa bersekolah dengan pola tersebut. Ia diberi tempat tinggal di koperasi milik WARSI di Sungai Jernih, Tanahgaro. Jaraknya sekitar 15 kilometer dari rimba sekitar. Setiap Ahad dia baru bisa pulang ke rimba dengan berjalan kaki.

Orang rimba masih belum melihat hasil dari pendidikan. Hasil bagi Orang Rimba adalah materi atau penghasilan. “Kami juga masih memupuk. Target kami minimal mereka bisa baca-tulis dan berhitung agar tidak dibodohi orang lain lagi,” kata Reni.

Besudut hendak menjadi guru. Dia hanya membayangkan menjadi guru bagi orang rimba pula. Staf pendidikan WARSI paling banyak tiga orang. Bola di tangan Besudut, dia mau jadi apa. Cita-citanya memang jadi guru. WARSI mengarahkan masuk PGSD Universitas Jambi. “Karena dia ingin menjadi guru bagi pendidikan dasar,” Reni menjelaskan.

“Kami itu sebenarnya tidak menargetkan sekolah formal. Tapi, apa yang mereka ingin, kami akan dorong ke situ,” katanya. Namun kuliahnya Besudut, menurut Reni belum bisa dinilai sebagai keberhasilan. Ada 3.800 jiwa orang rimba dan hanya Besudut yang sampai kuliah. “Menurut kami, bisa disebut sebagai keberhasilan, kalau orang rimba sudah mampu menentukan mau jadi apa?” kata Reni.

Rumah Orang Rimba yang dibangun pemerintah setempat di daerah Bungo. Foto: Jogi Sirait
Rumah Orang Rimba yang dibangun pemerintah setempat di daerah Bungo. Foto: Jogi Sirait

Gara-gara Handphone

Kini orang rimba tak lagi alergi terhadap sekolah. Orang rimba yang duduk di bangku SMP saat ini ada tujuh orang. Sedangkan yang di SD sebanyak 50 orang.

Terakhir, tahun 2008 kelompok Terap pimpinan Tumenggung Marituha baru menerima pendidikan, padahal hubungan WARSI dengan kelompok ini sudah sangat akrab sejak 1997. Gara-garanya, ada bantuan handphone pada Tumenggung Marituha.

Marituha tidak tahu menggunakannya. Menantunya mengatakan agar bisa menggunakan handphone harus bisa baca-tulis. Sejak itulah Marituha menerima pendidikan. Sekarang praktis barus sebatas pendidikan baca-tulis, seluruh kelompok orang rimba mau menerima.

Besudut juga sudah diterima kelompoknya. Terbukti, keponakan-keponakannya mau belajar langsung dengannya. Secara perlahan-lahan terjadi perubahan. Fenomena Besudut menjadi sebuah nilai lebih. Paling tidak bisa memotivasi orang rimba bahwa mereka masih memiliki harapan untuk bersaing pada era kehidupan modern. Suatu hari nanti Besudut pun kelak bisa keluar dari sudut. Dari sudut-sudut yang termarjinalkan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,