,

Petani Protes BPN Keluarkan Sertifikat di Lahan Sengketa

Sekitar 200-an petani dari enam kelompok di Sumatera Utara (Sumut), Selasa (29/10/13), mendatangi Kanwil BPN Sumut di Medan. Mereka protes BPN yang mengeluarkan sertifikat kepemilikan lahan eks HGU PTPN II seluas 102 hektar di Sei Bekala, Desa Durin Tonggal, Kabupaten Deli Serdang, kepada dua perusahaan besar. Kedua perusahaan itu, PT Anugrah Multi Sumatera, disebut-sebut milik pejabat Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang, dan PT Indo Palapa, milik pengusaha properti Sumut.

Ratusan petani ini menyatakan, lahan yang dikuasai dua perusahaan itu, tanah milik 141 petani, berdasarkan surat kepemilikan yang mereka miliki. Sayangnya, karena campur tangan oknum pejabat Badan Pertanahan (BP) Deli Serdang, ratusan hektar lahan perkebunan palawija petani yang sudah turun temurun itu, dicaplok. Perusahaan memegang surat sakti dari BPN.

Sebelumnya, petani mencoba bertahan, namun dua perusahaan itu, mengusir mereka menggunakan aparat kepolisian dan preman. Mereka diserbu, dianiaya hingga puluhan orang luka parah.

Lembah Keliat, Koordinator Petani mengatakan, BP Deli Serdang, diduga disuap dua perusahaan itu, untuk mengeluarkan sertifikat hak milik. “Tanah itu,  saat ini menjadi sengketa, tetapi BP Deli Serdang, malah mengeluarkan sertifikat kepemilikan. Dimana keadilan itu? Kami juga memiliki surat kepemilikan. Itu sudah ada sejak 20 tahun lalu saat ayah dan kakek kami tinggal disini dan berkebun.”

Ratusan petani ini mendapat pengawalan ratusan aparat dari Polresta Medan. Para petani datang membawa anak cucu. Bahkan peralatan dapur dan selimut dan tikar sudah disiapkan untuk menginap, jika Kanwil BPN Sumut, tidak mau evaluasi dan mencabut sertifikat tanah yang sudah dikeluarkan.

Lembah mengatakan, beberapa waktu lalu, BPN dan Pemprov Sumut, serta Pangdam I/BB sudah menandatangani pengakuan tanah itu.

Perebutan lahan seluas 102 hektar ini berlangsung sejak 2008. Saat mediasi antara petani dan pihak bersengketa, BP Deli Serdang, kata Lembah, mengakui perusahaan itu hanya menguasai 48 hektar. “Ada 24 sertifikat ditutup-tutupi apakah hak pakai atau hak milik. BPN pernah menunjukkan sertifikat, dan hanya ada 21 sertifikat hak milik. Kami orang kecil ini, hanya ingin menuntut keadilan.”

Aksi para petani di BPN Sumut, menuntut pengembalian lahan eks PT PN II yang kini dikeluarkan sertifikat kepada perusahaan. Foto: Ayat S Karokaro
Aksi para petani di BPN Sumut, menuntut pengembalian lahan eks PT PN II yang kini dikeluarkan sertifikat kepada perusahaan. Foto: Ayat S Karokaro

Tigor Sembiring, salah satu petani mengatakan, tanah itu mereka miliki berdasarkan surat keterangan kepala desa. Namun, BPN malah memberikat sertifikat kepada dua perusahaan itu, di lahan eks HGU PTPN II–yang harusnya kembali ke pemerintah, bukan malah dijual.

Pada 23 Desember 2008, katanya, BP Deli Serdang mengeluarkan sertifikat di lahan sengketa eks HGU PTPN II. Selama ini, petani menanam jagung dan palawija di wilayah itu.

Damargali Widihasta, Kepala Bidang V Pengkajian dan Penanganan Sengketa, Kanwil BPN Sumut, mengatakan, BPN akan inventarisasi ulang bersama dan memanggil BP Deli Serdang. BPN sudah pernah memanggil dua perusahaan, namun tak mau hadir.

Kanwil BPN Sumut, katanya, pernah mediasi tetapi gagal. BPN pun akan mengambil alih kasus ini, termasuk mencari bukti tuduhan petani soal dugaan keterlibatan oknum pejabat BP Deli Serdang.

Dalam waktu tujuh hari, Kanwil BPN Sumut akan membetuk tim khusus menelaah kasus ini, termasuk penelitian mengenai sikap BP Deli Serdang, yang mengeluarkan sertifikat kepada kedua perusahaan ini. “Berkas-berkas ada di Deli Serdang. Ini untuk meneliti dan analisis data yuridis dan bukti yang ada. Termasuk melibatkan data dan bukti petani. Jika alas hak petani kuat, akan pengukuran ulang, dan meneliti lebih dalam apakah akan mencabut sertifikat atau tidak.”

Menurut dia, BPN Sumut juga akan uji formal tetapi fakta yuridis tetap peradilan yang menentukan. Sebab, jika sertifikat dibatalkan harus ada aspek yuridis dan tidak bisa hanya berdasarkan tekanan dari pihak manapun. “Ada tahapan-tahapan, salah satu mengumpulkan barang bukti dan mengukur ulang lahan sengketa, serta penelitian mendalam melibatkan berbagai pihak,” kata Damargali.

Sebenarnya, sengketa lahan ini berlangsung lebih dari 10 tahun. Sejak 1992, tanah petani dicaplok menggunakan kekuatan militer. Mereka tak dapat berbuat apa-apa. Setelah reformasi, petani kembali berjuang berusaha mengembalikan hak mereka.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,