,

Konflik Reklamasi Pantai Sario Tumpaan, DPRD Segera Tinjau Lapangan

Konflik reklamasi Pantai Sario Tumpaan, di Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut), memanas. Pada 19 Oktober 2013, beberapa nelayan terluka karena bentrok dengan sekuriti PT Kembang Utara. DPRD pun mengadakan dengar pendapat 4 November 2013 dan belum ada titik temu. Dalam waktu dekat, mereka segera meninjau lapangan melihat dugaan pelanggaran kesepakatan reklamasi oleh perusahaan.

Marko Tampi, Sekretaris Komisi A DPRD Kota Manado, usai rapat dengar pendapat di Manado, Senin (4//11/13) mengatakan, batas-batas ruang terbuka pantai dalam dokumen mediasi sebenarnya sudah cukup jelas. Dalam pasal tiga, misal, dijelaskan bagian utara berbatasan dengan PT Kembang Utara, Selatan berbatasan dengan lahan 16 persen pemerintah Kota Manado, Barat berbetasan dengan Teluk Manado dan di Timur dengan Jalan Piere Tendean.

Marko melihat ada kekeliruan dalam dokumen perjanjian kerja sama (PKS) antara pengembang dan pemerintah kota menyangkut luasan reklamasi Kembang Utara. Penilaian ini berdasarkan pada timbunan batu reklamasi yang mengarah ke tambatan perahu nelayan. “Secara kasat mata saya melihat ada kekeliruan. Ruang terbuka seharusnya berbatasan dengan Jalan Piere Tendean,” katanya kepada Mongabay.

Menurut dia, permasalahan ini tak akan pernah terjadi jika pengembang memperhatikan hak-hak nelayan Sario Tumpaan. Nelayan merasa reklamasi Kembang Utara melangkahi kesepakatan mediasi.

Rapat dengar pendapat itu upaya DPRD Manado memfasilitasi permasalahan batas reklamasi pantai di Kelurahan Sario Tumpaan. Marko mendengar kabar sengketa ruang terbuka pantai ketika bentrok antara nelayan dengan sekuriti Manado Town Square, 19 Oktober 2013.

Pasca rapat dengar pendapat, pihaknya berjanji meninjau lokasi ruang terbuka yang menjadi sengketa, agar solusi bisa segera ditemukan. “Saya bagian dari nelayan dan akan memperjuangkan hak-hak mereka.”

Sebelumnya, rapat diwarnai silang pendapat antara nelayan dengan perwakilan Kembang Utara. Marthen Pangoempia, nelayan Sario menganggap, timbunan batu pengambang memasuki ruang terbuka pantai. Sayangnya, permasalahan ini seakan mendapat pembiaran dari pemerintah Manado.

Kapal-kapal nelayan yang sandar di pinggir Pantai Sario, wilayah pertahanan terakhir mereka karena semua sudah direklamasi. Foto: Sapariah Saturi
Kapal-kapal nelayan yang sandar di pinggir Pantai Sario, wilayah pertahanan terakhir mereka karena semua sudah direklamasi. Foto: Sapariah Saturi

Marthen menyebutkan, dalam dokumen perjanjian itu, tertulis hak nelayan mengelola dan memanfaatkan ruang terbuka pantai. Batas geografis terbuka pantai jelas diatur dalam dokumen perjanjian itu.“Ini pelanggaran tidak bisa ditoleransi, karena menyangkut nyawa anak dan cucu kami. Sebab itu, kami meminta anggota dewan terhormat merekomendasikan pemberhentian aktivitas reklamasi Kembang Utara.”

Meiske Makilumau, warga Sario menambahkan, timbunan batu reklamasi seharusnya tidak lari dari denah kesepakatan. Sebelum Komnas HAM menggelar mediasi, ada tahapan pra mediasi membicarakan batas timbun Kembang Utara ini.

“Saat itu nelayan menolak dipindahkan ke lahan 16 persen pemerintah kota. Maka, muncul solusi ruang terbuka pantai berbatasan langsung dengan Jalan Boulevard,” ucap Meiske.

Hengky Wijaya, Pimpinan Kembang Utara, menolak tuduhan itu. Bagi dia, timbunan batu reklamasi tak melangkahi hasil kesepakatan dengan Komnas HAM. Malahan, masih tersisa 60 meter dari 40 meter luasan ruang terbuka yang diatur dalam perjanjian damai.

Dia berharap, pemerintah daerah  bisa melihat permasalahan ini dengan bijak. “Saya ini juga rakyat yang perlu perlindungan. Kalaupun timbunan melewati batas, saya siap mengangkat.”

Senada dengan Hengky Wijaya, Ketua Komisi A, Sultan Udin Musa menilai tak ada pelanggaran pengembang. Dari sisi hukum, dia melihat Kembang Utara memenuhi kewajiban. “Kalau melihat poin-poin kesepakatan terkesan tidak ada masalah. Bahkan, pengembang berbaik hati merelakan sisa lahan yang menjadi haknya,” kata Sultan.

Namun, dia berjanji meninjau lokasi agar memperoleh hasil lebih obyektif karena hasil pengukuran batas oleh nelayan menunjukkan timbunan batu melewati batas yang disepakati. “Nanti kita lihat di lokasi, apakah benar terjadi pelanggaran. Minggu ini, kami segera tinjau lokasi dan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk menyesuaikan waktu.”

Perjanjian Damai Gagal

Afif Kaumbo, Staf Bidang Riset Perkumpulan Kelola menilai, rapat dengar pendapat ini tidak perlu ada apabila pemerintah kota mampu memfasilitasi persoalan ruang terbuka pantai ini. Pemerintah kota adalah bagian dari pihak yang terikat dalam hasil kesepakatan mediasi Komnas HAM.

Dalam Pasal 4 ayat 7 dokumen perdamaian, kata Afif, pemerintah kota pihak ketiga yang berkewajiban menyelesaikan permasalahan hukum. “Jika ada pihak lain menggugat atau mempersoalkan ruang terbuka Pantai Sario Tumpaan.”

Menurut dia, tiga tahun setelah mediasi, belum ada peranan pemerintah dalam memfasilitasi permasalahan ini. Malahan, dalam pemberian izin, pemkot tak menyertakan nelayan dan lebih dekat pada pengembang.

Perkumpulan Kelola memandang, pemerintah kota seringkali membiakan komplain nelayan Sario pada aktivitas penimbunan pantai. Sejumlah laporan dilayangkan pada Badan Lingkungan Hidup, misal, tidak pernah mendapat respon.

Daseng, sebagai sekretariat Antra, yang menjadi tempat berkumpul para nelayan Manado. Foto: Sapariah Saturi
Daseng, sebagai sekretariat Antra, yang menjadi tempat berkumpul para nelayan Manado. Foto: Sapariah Saturi

Intimidasi dan tindak kekerasan terhadap nelayan berlangsung selama proses pengurugan lahan. Terakhir pada 19 Oktober 2013, sedikitnya 20 satpam dan enam preman PT Gerbang Nusa Perkasa atau PT Kembang Utara menyerang masyarakat nelayan di ruang terbuka Pantai Sario Tumpaan, Manado.

Sebanyak enam nelayan dan pemuda mengalami luka-luka di bagian kaki, dada, dan wajah akibat lemparan batu. Aksi kekerasan orang suruhan Kembang Utara ini, saat nelayan hendak mengukur tapal batas ruang terbuka pantai dengan wilayah konsesi reklamasi.

Selamet Daroyni Koordinator Pendidikan dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dalam rilis kepada media mengatakan, intimidasi dan kekerasan dan dampak reklamasi Pantai Manado terhadap lingkungan hidup mengancam kelangsungan hidup nelayan Sario.

Untuk itu, pada 24 Oktober 2013, Kiara mengirim surat protes kepada Walikota Manado dengan tembusan ke berbagai instansi pemerintah di Jakarta dan Manado.

Surat itu berisi desakan kepada Pemerintah Manado ini berisi antara lain, pertama, pemerintah segera menghentikan aktivitas reklamasi pantai dan pemberian izin reklamasi pantai di seluruh wilayah Manado.

Kedua, menghormati, menaati dan menjalankan kesepakatan hasil mediasi pada 4 September 2010 yang difasilitasi Komnas HAM. Ketiga, berkoordinasi dengan aparat kepolisian setempat untuk menghentikan tindakan premanisme dari perusahaan dan memberikan perlindungan kepada nelayan tradisional Manado.

Keempat, meminta pemerintah segera mengevaluasi internal kinerja aparatur pemerintahan Kota Manado. Terutama, unit-unit kerja berkaitan dengan perizinan pengelolaan lahan guna mencegah pelanggaran peraturan perudang-undangan dan merugikan masyarakat. Kelima, memberikan perlindungan dan pengakuan hak bagi keberadaan para nelayan tradisional.

Sejak tahun 2008, Kiara telah mendapatkan pengaduan dari nelayan di sepanjang  Pesisir Manado yang terkena dampak proyek reklamasi pantai. Para nelayan menyatakan, luas lahan hasil reklamasi Pantai Manado mencapai 150 hektar dari 76 hektar mendapat izin awal.

Proyek ini menelantarkan hak hidup ribuan nelayan pantai. Sebanyak 29.500 nelayan di sepanjang Pesisir Malalayang hingga Meras terusir dan kehilangan tempat tinggal dan tempat berusaha.

Anak Nelayan Manado Surati Presiden

Kekhawatiran reklamasi Pantai di Manado, tak hanya muncul dari orangtua, juga para anak-anak dan remaja. Puluhan remaja pesisir di Sario Tumpaan dan Malalayang II, Manado, mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Surat itu dititipkan ketika Abdul Halim, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) kala menyambangi Manado, Jumat (18/10/13). Surat itu,  berisi keresahan para remaja yang tergabung dalam komunitas Pendidikan Anak Pesisir (Pasir) bila akses pantai tak bisa dinikmati. Di Sario Tumpaan, para remaja ini menggunakan pantai sebagai tempat bermain hingga belajar.

Tiap akhir pekan, misal, komunitas Pasir mengadakan kursus bahasa Inggris bagi remaja Sario Tumpaan dan Malalayang II di Daseng Panglima, sekretariat Antra. “Pantai itu tempat belajar dan bermain saya,” kata Santi, siswa SMP.

Ronaldinho Hililo, remaja Malalayang II, menyatakan, pantai ini tempat dia tumbuh dewasa. Sebagai anak nelayan, dia tidak rela lahan hidup ditimbun dengan alasan pembangunan. “Bapak saya nelayan. Kalau pantai digusur, bagaimana bapak saya mau mencari nafkah. Tolong berikan sedikit keadilan buat kami.”

Komunitas Pasir, tengah memberikan pendidikan Bahasa Inggris, di Daseng, wilayah pantai terbuka yang tersisa dan terancam reklamasi. Foto: Komunitas Pasir
Komunitas Pasir, tengah memberikan pendidikan Bahasa Inggris, di Daseng, wilayah pantai terbuka yang tersisa dan terancam reklamasi. Foto: Komunitas Pasir
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,